Sukses

FimelaHood

Sambut Hari Ibu, Komunitas PERTIWI Buat Diskusi dalam Menangkal Intoleransi

Fimela.com, Jakarta Dilandasi oleh keprihatinan PERTIWI atas meningkatnya sikap intoleransi, terutama menjelang Pilpres 2019, PERTIWI Perempuan Tangguh Pilih Jokowi, koalisi yang beranggotakan para perempuan baragam profesi dan latar belakang, mengadakan diskusi bertema 'Peran Perempuan dalam menjaga Toleransi' di Goodrich Hotel, Jakarta.

Diskusi yang dibuat dalam rangka menjelang Hari Ibu ini turut menghadirkan Prof. Sumantho Al Qurtuby Ph.D, (pemerhati masalah intoleransi dan pluralisme) dan Dr. Livia Istania Dea Flavia Iskandar, M.Sc., (psikolog) sebagai narasumber.

Menurut Putri K. Wardani, ketua umum PERTIWI berharap adanya diskusi ini dapat menularkan dan memperkuat sikap toleransi melalui keluarga. Mengingat, para anggota PERTIWI adalah perempuan, yang juga seorang ibu. Selain itu, Putri juga berharap diskusi ini dapat membuka perspektif anggotanya untuk dapat mengenali potensi diri dan memperluas wawasan sehingga dapat bersikap lebih toleran dan menjauhi radikalisme.

"Dengan anggota lebih dari 600 sel ini, PERTIWI dapat dikatakan sebagai agen perubahan dan perdamaian yang dapat menyebarkan nilai-nilai toleransi dan pluralisme dalam keluarga misalnya melalui diplomasi meja makan,” kata Putri.

Kekhawatiran PERTIWI tak semata-mata sebuah kecemasan tak berdasar. Data yang didapat dari hasil survey Wahid Foundation, menunjukkan telah terjadi peningkatan potensi intoleransi terhadap kelompok yang tidak disukai. Di tahun 20016, ada 51% responden yang intoleran, dan pada tahun 2017 meningkat menjadi 57,1%.

Dalam survery tersebut, sisi demografi terlihat faktor umur mempengaruhi sikap intoleransi, yakni semakin muda usia seseorang semakin cenderung intoleran. "Hal ini menunjukkan peran orang tua, atau ibu sangat penting untuk menekan sikap intoleransi sejak anak-anak,” kata Putri.

Begitu juga peranan perempuan sebagai aktor strategis dalam upaya penekanan intoleransi dan agen perdamaian. Berdasarkan data dari sumber yang sama, 80,7% perempuan mendukung hak kebebasan menjalankan ajaran agama dan atau keyakinan. Disamping itu, perempuan (80,8%) lebih tidak bersedia radikal dibanding laki-laki (76,7%) dan perempuan yang intoleran (55%) lebih sedikit dibanding laki-laki (59,2%). Perempuan (53,3%) juga memiliki lebih sedikit kelompok yang tidak disukai dibanding laki-laki (60,3%).

Prof. Sumantho menjelaskan bahwa intoleransi memicu berbagai benturan antar budaya dan agama bukan saja di Indonesia, tetapi juga di dunia. “Para pengusung agama-agama impor, khususnya Islam dan Kristen, sering kali bukan hanya memperkenalkan kepada orang lain ajaran-ajaran normatif keagamaan, melainkan juga memboyong tradisi-kebudayaan asal-muasal agama (atau sekte/aliran agama) itu kepada masyarakat dimana mereka tinggal,” papar dosen Antropologi Budaya dan Kepala Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi ini.

Lebih lanjut, Dr. Livia Istania Dea Flavia Iskandar, M.Sc mengatakan benturan bahkan kekerasan yang disebabkan oleh sikap intoleransi, akibatnya banyak dirasakan oleh perempuan dan anak-anak. Kerusuhan Mei 1998 adalah salah satunya. "Tanggal 22 Desember adalah Hari Pergerakan Perempuan yang seringkali disalahartikan lebih sempit. Menjadi pejuang bangsa pada saat ini adalah untuk perempuan yang bergerak melawan intoleransi yang berkembang di masyarakat," ujar salah satu pendiri Yayasan PULIH - Lembaga nirlaba berbasis masyarakat untuk memberikan layanan psikologis ini.

“Perempuan merupakan garda terdepan untuk dapat menjaga toleransi yang dimulai dari keluarga, lingkungan tempat tinggal, kantor, komunitas sosial dan masyarakat secara umum,” imbuh Livia, yang merujuk data-data dari Wahid Foundation.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading