Sukses

Lifestyle

Sounds of Bintang, Energi Bermusik Andre Hehanusa untuk Indonesia

Fimela.com, Jakarta Juli mendatang Andre Hehanusa genap berusia 54 tahun. Meski usianya tak lagi muda, penampilan Andre masih tetap gagah dan segar. Mengenakan kemeja putih dibalut jas hitam dengan celana warna senada, Andre tampak penuh semangat berbicara soal musik, seperti untuk edisi spesial Sounds of Bintang.

"Saya start dari Bandung bersama Katara Singers pada 1986. Saya, Rika Laksanawati, Nana Oktaviani, dan Deddy Hassan. Grup kami namanya Katara," kenang lelaki kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, 24 Juli 1964 itu dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Bintang.com, baru-baru ini.

 

Bergenre fussion jazz, personel Katara gandrung dengan The Manhattan Transfer saat itu. Pertemuan mereka dengan Erwin Gutawa menghasilkan album Masa Bodoh. Bagi Andre, lagu tersebut cukup baik dan diminati di radio-radio dan anak-anak muda.

Setelah itu, Andre beranjak ke penciptaan lagu. Ia mengenang, pada 1991 ia mendapat kehormatan untuk mengikuti Lomba Cipta Lagu Populer Indonesia di Prambanan, Yogyakarta.

"Saat itu saya mengirimkan satu lagu. Banyak pencipta lain yang ikut, ada Oddie Agam, Elfa Secioria (almarhum), ada Yopie Widianto, Erens Mangalo, Mayangsari, Bujana. Semuanya punya kualitas yang hebat," nilai Andre.

"Saya berbahagia sekali karena lagu saya masuk nominasi pertama, aransemen Erwin Gutawa. Judulnya, 'Kisah Kehidupan', yang membawakan Utha Likumahuawa (almarhum) dan Trie Utami. Itulah yang membuat saya percaya diri untuk menghidupkan diri saya dalam musik," tutur Andre Hehanusa melanjutkan.

Dengan bahasa yang jelas dan tegas, Andre Hehanusa dengan teliti menjelaskan perbedaan perkembangan musik pada zamannya dengan perkembangan industri musik saat ini, perkembangan karier, hingga rencana ke depan. Berikut petikan wawancaranya.

Kesuksesan Lagu 'Kuta Bali'

Lagu 'Kuta Bali' meraih sukses luar biasa. Awalnya, Andre Hehanusa hanya punya ekspektasi sekitar 50 ribu kaset, tapi yang terjadi justru di luar perkiraannya semula. Lagu tersebut ternyata mampu tembus 1,7 juta copy kaset dan 10 ribu CD.

Apa yang Anda lakukan setelah mengikuti lomba tersebut? Setelah lagu saya mendapat the best, saya mulai bikin lagu. Akhirnya, saya dapat peluang untuk memberikan lagu kepada Titi Dwi Jayanti (Titi DJ), judul lagunya 'Bintang-bintang'. Setelah lagu itu masuk nominasi lagu populer, saya mendapat AMI Awards untuk lagu itu sebagai pencipta lagu. Setelah itu, saya buat lagu sendiri judulnya 'Kuta Bali'. Pada saat 'Kuta Bali' itu, Tantowi Yahya, Adi Adrian KLA adalah partner dalam proses pembuatannya. Tantowi sebagai eksekutif produser, Adi KLA arranger, saya pencipta lagu dan penyanyi.

Saat itu ekspektasi kami hanya 50 ribu kaset. Alhamdulillah, puji Tuhan, kami diberi 1,7 juta copy kaset dan 10 ribu CD. Kita baru mau convert dari kaset ke CD. Perjalanan itulah yang membuat saya punya album kedua, judulnya Melayang, ada hits judulnya 'Terlalu', lalu album ketiga Untukmu. Lagu tersebut juga masuk tangga radio.

 

Setelah itu saya off lama, lalu saya punya album Secret of Love. Saat ini Anda sudah bisa lihat di media sosial dan lainnya, kompilasi lagu saya, Andre Hehanusa of the Best, itu ada di Sony Music.

Apa makna perjalanan dari menyanyi hingga pencipta lagu? Perjalanan itu membuat tangga-tangga yang membuat kita ngerti bahwa kita harus menghidupkan bangsa ini, kita harus menjaga happiness, kebahagiaan, kekuatan bangsa ini untuk bangsa yang baik, sopan, dan bermoral. Dari semua penciptaan itu bagaimana membuat anak negeri ini merasa percaya diri, bermoral. Intinya, itu penciptaan saya.

Bisa Anda ceritakan tentang iklim bermusik saat itu? Tahun 80-an dan 90-an itu sangat fenomenal, termasuk di dunia. Banyak teknologi baru keluar, tetapi kekuatan manusia, human touching itu kuat banget. Di Indonesia saat itu ada 'Badai Pasti Berlalu', itu sangat fenomenal.

Musiknya semua berganti, revolusi industri musik dunia maupun Indonesia ada pada era 80-an dan 90-an. Pada 80-an ada MoTown, David Foster, di Indonesia pun ada. Seperti Eros Djarot, Yockie Suryo Prayogo (almarhum),  Deddy Dhukun, Dian Pramana Putra, Utha Likumahuwa, Addie MS.

 

Saya merasa bersyukur berada dalam generasi 80-an akhir. Masuk 90-an,  masuk paling kuat bahasa musik kepada anak muda. Saat itu, musik dan film sangat bersatu. Semuanya punya reputasi, punya kelas dalam bermusik. Erwin Gutawa, Karimata Band, Indra Lesmana, semua punya kualitas.

Bagaimana jika dibandingkan sekarang? Sekarang ini, saya melihat industri musik dari studio agak berkurang, malah berpindah pada panggung, event, atau pun kafe. Di kafe-kafe bandnya semakin baik, tetapi penjualan CD-nya berkurang. Ini yang harus dicermati anak sekarang. Apa kendalanya, kenapa show di kafenya bisa booming, tapi mereka yang datang ke kafe itu tidak mau membeli CD penyanyi itu.

Lalu, apa yang harus dilakukan? Saat ini harus ada asosiasi, anak kafe dan anak studio. Harus ada perubahan, apakah studio itu harus dipindahkan ke kafe supaya ambition kafenya dapet, warna suasana kafenya dapat, tetapi rekamannya pun jualan.

Membangkitkan Energi Bermusik

Andre Hehanusa suka dengan sejumlah penyanyi yang menjaga kemurnian notasi, seperti penyanyi Tulus, bukan sekadar mengandalkan kekuatan mesin. Penyanyi harus mampu menginterpretasikan lirik dan nada.

Bagaimana penilaian Anda kemampuan penyanyi saat ini? Tulus menurut saya keren, masih menjaga kemurnian notasi. Saya tidak terlalu tertarik kepada mesin, musik yang mengandalkan mesin hanya trend, tapi lama-lama orang boring. Ada baiknya, kita memainkan musik yang bener-bener, memainkan penguasaan manusia dalam menginterpretasikan lirik dan nada. Jadi, memang harus kuat di konsep aransemen, bukan teknologi.

Indonesia harus cepat-cepat bergerak, jangan mengikuti yang di luar, tetapi perkuat aja artis kita dengan kemampuan bermusik. Pop Indonesia tetap kuat, jualan, tapi tetap punya nilai magis. Nilai magis itu kalau orang di studio disebut hook-nya, sesuatu yang menarik (catchy). Saya suka Virgoun, saya juga suka Tulus cerita apa adanya, mirip Ed Sheeran. Saya suka seperti itu. Saya suka beberapa anak muda yang mahir dalam bermain musik, instrumental, bisa main gitar, piano, buat saya itu lebih abadi.

 

Perbedaan musik dulu dengan sekarang? Musik sekarang yang namanya teknologi, kurang dipersiapkan untuk membuat suasana yang abadi. Tidak ada sentuhan manusianya, tidak melibatkan banyak orang, beda dengan Bruno Mars. Bruno Mars tetap manusia yang dikuatkan, beda dengan EDM (Electronic Dance Music). EDM ada satu dua yang saya suka. Bagi saya, mesin itu tidak membuat lagu itu abadi.

Selain musik, apa aktivitas Anda terkini? Anak saya usianya 21 tahun, yang kedua 12 tahun, saya lebih kepada menjaga mereka.

Khusus dalam musik? Saya akan berbuat yang terbaik untuk Indonesia agar kualitas bermusik tetap terjaga di negara ini. Nanti ada Hari Musik Nasional di Ambon, Maluku. Karena Ambon digadang-gadang sebagai ibukota musik Indonesia dan dunia. Kota musik bisa di mana saja. Nah, Ambon mewakili Indonesia sebagai kota musik.

Sebagai insan musik, kita harus mendukung acara tersebut untuk perubahan musik, terutama dari sisi manajemen, transparan, undang-undang, regulasi. Ada  Erwin, Glenn Fredly, Anang, ada banyak yang mendukung acara tersebut. Saya kira insan musik itu sudah mulai bersatu. Saat ini semua sudah bisa hidup dari musik.

 

Bisa cerita rencana ke depan Anda? Pertama, saya 31 tahun berkarier dalam musik, semoga punya satu kali konser. Kemudian saya mau bekerja sama dengan Dipha Barus untuk me-repackage beberapa lagu saya, saya juga pengen bareng Yura (Yura Yunita), adik-adik yang punya power yang kuat eksistensinya. Lagu saya nggak banyak sih, ada kira-kira 80-an, mungkin itu bisa di-recycle ulang dengan komposisi-komposisi yang berbeda dari yang dulu. Membuat suasana retro itu kembali lagi.

Kedua, kami lagi membuat acara musik di Indonesia secara keliling, namanya Retro Land. Retro Land itu bercerita, setiap generasi punya pahlawan, setiap generasi punya gerakan, punya campaign. Pada  1968, musik juga berperan dalam pembangunan Indonesia, masuk pada 1979, ada 'Badai pasti Berlalu', kita punya power, energi, kreativitas.

Nah, sekarang pun kita harus punya energi, kita harus mengingat energi-energi yang pernah terjadi pada 1968, 1979, kemudian 1980-an, ada Deddy Dhukun dan Dian Pramana Putra, Candra Darusman dengan lagu 'Pemuda'. Nah, sekarang kita ingatkan itu dengan Retro Land. Anak muda milenial saat ini punya kekuatan, tapi mereka harus ingat, ada tangga-tangga dari tahun-tahun sebelumnya yang membuat mereka berada di tangga yang sekarang. Musik Indonesia tidak pernah putus, musik Indonesia tetap kuat di negara kita sendiri. Semua komponen harus mendukung musik  dengan persentase lebih dari pada asing.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading