Sukses

Lifestyle

Kehadiran Anak Berpengaruh Besar Terhadap Kerenggangan Hubungan

Matthew D. Johnson, Binghamton University, State University of New York

Banyak perempuan menantikan saat menjadi ibu: mengenal bayi kecilnya, membesarkannya, dan membangun hubungan dengan anak yang beranjak dewasa. Di seluruh dunia, orang-orang percaya bahwa menjadi orang tua adalah pengalaman hidup yang paling membahagiakan.

Begitu banyak ibu menganggap ikatan dengan anak sebagai anugerah. Ini sesuatu yang bagus karena transisi menjadi orang tua mengakibatkan perubahan sungguh besar terhadap pernikahan dan kebahagiaan perempuan pada umumnya. Dan perubahannya bukan ke arah yang lebih baik.

Keluarga biasanya menyambut kedatangan buah hati dengan harapan yang besar. Tapi sejalan dengan ikatan antara ibu dan anak yang semakin dalam, ada kemungkinan hubungan dia dengan orang lain justru menurun kualitasnya. Saya menelaah banyak kajian tentang efek psikologis dari memiliki anak untuk menulis buku saya Great Myths of Intimate Relationships: Dating, Sex, and Marriage,” (Mitos Besar tentang Hubungan Mesra: Pacaran, Seks, dan Pernikahan) dan berikut adalah apa yang saya dapatkan dari telaah literatur tersebut.

Jatuh cinta dan lalu jatuh terus?

Ketika orang menikah, mereka biasanya diliputi rasa cinta dan kebahagiaan. Tapi sesudahnya, hal-hal berubah. Pada umumnya, tingkat kepuasan pasangan terhadap pernikahan menurun pada tahun-tahun awal pernikahan dan, jika kekecewaannya cukup dalam, maka perceraian mungkin saja terjadi. Cinta sejati terus memudar. Dan itu bahkan terjadi sebelum Anda ada dalam situasi harus mulai membeli popok dan gendongan.

Selama 30 tahun, para peneliti telah mengkaji bagaimana anak memengaruhi pernikahan, dan kesimpulannya: hubungan pasangan menurun begitu mereka punya anak. Peneliti membandingkan pasangan yang memiliki anak dan yang tidak dan mereka menemukan tingkat kepuasan terhadap hubungan menurun dua kali lebih tajam bagi pasangan yang memiliki anak ketimbang yang tidak. Dalam kasus kehamilan yang tidak direncanakan, hubungan pasangan bahkan mengalami dampak negatif yang lebih besar.

Ironisnya, meski kepuasan terhadap pernikahan menurun, kemungkinan cerai juga menurun. Jadi, mempunyai anak mungkin saja membuat Anda tidak bahagia dengan hubungan Anda, tapi Anda merasa tidak berbahagia berdua.

Lebih jauh, kepuasan atas hubungan pernikahan dapat memengaruhi perubahan pada kebahagiaan seseorang secara umum karena faktor yang paling menentukan kepuasan hidup adalah kepuasan seseorang terhadap pasangannya.

Dampak negatif dari menjadi orang tua terhadap pernikahan biasanya sudah diketahui oleh para bapak dan para ibu. Tetapi pengetahuan ini tidak diketahui pasangan muda di awal pernikahan karena banyak dari orang muda percaya bahwa mempunyai anak akan semakin mendekatkan mereka atau minimal tidak akan menyebabkan tekanan dalam pernikahan. Tapi keyakinan ini, bahwa mempunyai anak akan memperindah pernikahan, adalah mitos yang kuat tertanam pada diri orang muda yang sedang jatuh cinta.

Dari kekasih menjadi orang tua

Kehadiran bayi di rumah tangga akan mengubah dinamika keluarga. Dan memang, kehadiran anak-anak mengubah bagaimana pasangan berinteraksi. Orang tua kadang menjadi berjarak dan hanya membahas yang perlu-perlu saja saat mereka memusatkan perhatian pada hal-hal detil pengasuhan. Hal-hal rutin seperti menyuapi anak, memandikannya, memakaikan baju, semua menguras tenaga, waktu, dan ketabahan.

Dalam upaya mengurus keluarga dengan baik, orang tua mendiskusikan siapa yang harus keluar membeli kebutuhan sehari-hari dan antar jemput, alih-alih membincangkan gosip terbaru atau pemikiran mereka tentang pemilihan presiden. Pertanyaan tentang apa kabar kamu hari ini digantikan dengan apakah popok anak sudah perlu diganti.

Perubahan ini bisa mendalam. Identitas fundamental bisa bergeser—dari istri menjadi ibu, atau, pada tingkat yang lebih intim, dari kekasih menjadi orang tua. Bahkan di kalangan pasangan sesama jenis, kehadiran anak bisa menurunkan kepuasan hubungan, termasuk hubungan seks. Selain kemesraan seks, orang tua baru juga akan berhenti mengatakan dan melakukan hal-hal kecil yang membuat pasangannya senang. SMS menggoda digantikan oleh pesan-pesan yang tampak seperti bon belanja dari warung.

Di Amerika Serikat, hampir separuh kelahiran anak terjadi pada pasangan yang belum menikah. Bisa jadi banyak orang tua berpikir mereka berhasil menyiasati sistem dengan melompati proses pernikahan. Ternyata tidak demikian halnya. Beban mengasuh anak tetap ada terlepas dari status pernikahan, orientasi gender, atau jumlah pemasukan. Selain itu, dampak serius dari menjadi orang tua juga ditemukan di negara lain, termasuk negara dengan jumlah orang tua tidak menikah yang besar dan yang memiliki kebijakan pro keluarga yang lebih baik.

Ibu menanggung lebih banyak beban

Tidak mengejutkan, memang ibu, bukan bapak, yang menanggung beban paling berat dari menjadi orang tua. Bahkan pada kasus kedua orang tua kerja di luar rumah atau pada pasangan yang mengaku membagi tugas rumah tangga secara seimbang, kebanyakan keluarga cenderung menggunakan pola asuh yang berdasar stereotip gender. Perempuan lebih mungkin menjadi yang siap siaga ditelepon kalau ada apa-apa, atau menjadi yang lebih sering bangun di malam hari untuk mengurus anaknya, atau yang ditelepon perawat sekolah.

Sebagai bagian dari pola ini, ibu baru cenderung mengurangi jam kerja, yang kadang membuat beban finansial para bapak semakin berat. Pola yang umum terjadi adalah para bapak mulai menghabiskan banyak waktu dan tenaga di luar untuk bekerja, dan para ibu semakin banyak mengasuh dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Anda bisa mengira-ngira sendiri, seberapa perasaan frustrasi, rasa bersalah, dan tekanan bagi kedua orang tua.

Ibu baru kerap menyampaikan perasaan terisolasi secara sosial, terputus hubungan dari teman-teman dan kolega, dan bagaimana dunia mereka tampak mengecil. Semua perubahan ini mengarah ke perubahan mendasar pada lingkaran pergaulan dan dukungan para ibu, termasuk dengan pasangan mereka.

Konsekuensi dari hubungan yang merenggang bisa serius. Stres dalam pernikahan dikaitkan dengan banyak masalah kesehatan fisik serius, juga gejala depresi dan masalah kesehatan lainnya. Tautan antara masalah psikologis dan masalah pernikahan cukup kuat sampai-sampai beberapa peneliti percaya resep paling efektif untuk menangani depresi dan masalah kesehatan mental lainnya adalah terapi pasangan.

Cahaya di ujung terowongan?

Jika kehadiran anak-anak membuat pernikahan tambah sulit, apakah kepergian anak yang sudah mandiri baik bagi pernikahan? Beberapa pernikahan memang menjadi lebih baik saat anak mandiri dan meninggalkan orang tua. Di kasus lain, ketika anak sudah mandiri dan pergi, pasangan malah menemukan mereka tak punya banyak kesamaan dan tak ada lagi alasan mereka untuk bersama.

Persoalan seputar memiliki anak inilah yang mungkin bisa menyumbang penjelasan mengapa semakin banyak perempuan di Amerika Serikat dan seluruh dunia memilih tidak memiliki anak. Menurut sensus di AS, persentase perempuan usia 15-44 tahun yang tak memiliki anak meningkat banyak dalam dua generasi: dari 35% pada 1976 ke 47% pada 2010.

Meski gambaran menjadi seorang ibu diwarnai suram oleh peneliti seperti saya (mohon maaf, para ibu), kebanyakan ibu (dan bapak) menilai menjadi orang tua adalah kebahagiaan terbesar dalam hidup mereka.

Hampir semua ibu mengatakan rasa sakit dan penderitaan dari melahirkan terbayar lunas oleh kehadiran si buah hati. Demikian pula dengan menyaksikan anak tumbuh; hampir semua ibu mengatakan rasa bahagianya cukup untuk membayar kehilangan hubungan mesra pernikahan mereka.

Matthew D. Johnson, Chair & Professor of Psychology and Director of the Marriage and Family Studies Laboratory, Binghamton University, State University of New York

Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.

(vem/kee)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading