Sukses

Lifestyle

6 Tahun Lalu, Kecupan Terakhirku Mengawal Kepergian Ibu

Kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Surat untuk Ibu ini menguras air mata. Tak terbayang betapa pedihnya hati tak bisa menyampaikan rindu pada ibu tercinta.

***

Jari jemariku bergetar menulis ini. Air mataku tak terbendung lagi. Akankah surat ini sampai kepadamu, ibu? Kuingin engkau tahu ibu, aku sangat mencintai dirimu melebihi cinta pada diriku sendiri. Aku memang tak pernah mengungkapkan langsung kata sayang padamu atau kalimat-kalimat indah untukmu. Tapi, yakinlah ibu, sungguh hatiku padamu.

Sejujurnya, kuingin sekali memelukmu dan mengatakan bahwa aku sangat mencintai dan menyayangimu. Tapi, rasa gengsiku ini melebihi keinginanku ingin mengatakan itu.

Di sini aku sangat merindukanmu. Masih teringat sekali di benakku saat 6 tahun lalu, aku melihat tubuhmu yang telah terbujur kaku. Suhu tubuhmu dingin, wajahmu terlihat pucat. Tubuhmu tertutupi balutan putih. Sakit rasanya hati ini melihat semua itu. Pancaran wajah dan senyummu sedikit mengobati luka ini. Kecupan terakhirku mengawal perjalananmu. Wangi melati mengiringi tempat peristirahatan terakhirmu. Aku tak dapat melihatmu lagi saat tanah merah memasuki liang lahatmu.

6 tahun lalu kulihat tubuhmu terbujur kaku./Copyright pexels.com

Kepandaianku menutupi kesedihan memang tak dipungkiri. Orang-orang melihatku sangat tegar menerima kepergianmu. Tapi sebenarnya hatiku sangat hancur. Aku ingin marah, tapi pada siapa? Kuingin berontak? Tapi untuk apa? Hidupku serba salah.


Ibu yang kurindukan, apa kau ingat dengan janjimu?.Kau berjanji akan mengajakku berlibur pada liburan semesterku. Katamu, kau akan mengajakku ke tempat yang kumau. Melihat pemandangan indah yang dapat menghilangkan jenuhku. Tapi, mengapa kau meninggalkanku? Apa kau tak ingin menepati janjimu?

Kini kuhanya bisa mendoakanmu./Copyright pexels.com

Ibu, hari ini kau berbeda sekali. Awan masih terlihat gelap, tapi kau sudah menarik selimutku. Kau menggenggam erat tanganku. Kau membawaku ke kebun teh yang sejuk. Tapi tak ada sedikit pun kata yang terucap dari bibir manismu. Ah, aku tak peduli itu, aku sudah senang kau mengajakku pergi ke sini. Genggamanmu semakin pelan. Kau memelukku, tapi hanya sebentar saja. Saat mataku terpejam, pelukanmu terlepas. Ibu... ternyata ini mimpi.

Di terakhir surat ini, kuhanya ingin kau tahu, ibu. Bahwa aku sangat mencintai dan menyayangimu, sungguh aku juga merindukanmu. Semoga kau tenang dan bahagia di sana, ibu. Doaku selalu menyertaimu.





(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading