Sukses

Lifestyle

Basket, Jilbab, Cinta, dan Proses Hijrahku

Assalamualaykum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Saya panjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang selalu memberikan kesehatan, kebaikan dan kemudahan hingga saya masih bisa semangat dalam menjalani hijrah. Alhamdulillah, saya ucapkan terimakasih juga kepada Vemale yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat berbagi pengalaman.

Nama saya Annisa Nurhidayah, atau biasa dipanggil Ica. Bercerita tentang pengalaman hidup pasti takkan pernah ada ujungnya. Namun, di antara semua itu ada beberapa hal yang tak bisa dilupakan, ada beberapa hal yang terkenang hingga sampai saat ini, termasuk mengenai cerita bagaimana saya menempuh jalan menuju hijrah.

Sejak kecil, orangtua saya selalu mendorong saya untuk belajar mengenai ilmu agama. Sekolah di sebuah madrasah selama kurang lebih 3 tahun saya tempuh karena dorongan dari kedua orangtua saya. Hal itu saya lakukan semata-mata hanya karena perintah dari kedua orangtua saya, khususnya ibu.

Ibu saya berpesan, “Rajinlah menuntut ilmu, apalagi ilmu agama. Ilmu tidak akan terputus meskipun kamu sudah tidak ada lagi di dunia." Itulah kata-kata yang ibu ucapkan padaku. Kenyataannya, pada saat itu sekolah terasa hanya formalitas bagi saya. Saya belajar dengan benar, bahkan saya selalu mendapat rangking 1 di kelas. Sayangnya, ilmu yang saya dapat hanya terhenti dalam tulisan. Tertutup rapi dalam buku. Saya belum bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan, dan malah bersantai-santai.
Tidak ada ibu yang tidak membanggakan anaknya. Begitupun ibu saya. Tetapi saya malu, apa yang selalu ibu katakan pada orang lain tidak sama dengan keadaan saya yang sebenarnya. Bukan ibu yang menutupi, tetapi saya yang tidak sepenuhnya melakukan semuanya dengan benar.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Beranjak remaja, saya mulai membuka diri dengan bergaul bersama teman-teman di sekolah. Memahami setiap karakter dari mereka memang terasa sangat sulit bagi saya. Namun, lambat laun saya pun dapat mulai beradaptasi. Ketika itu pula saya mencoba mengikuti berbagai kegiatan, mulai dari organisasi, bimbel, dan ekstrakulikuler.

Salah satu kegiatan yang begitu menarik perhatian saya yaitu ekstrakulikuler basket. Entah mengapa ketika pertama kali melihat demonstrasi ekstrakulikuler di sekolah, mata saya benar-benar tertuju pada hal itu. Apalagi saat melihat wanita ketika memasukkan bola basket itu ke dalam keranjang, itu sungguh luar biasa! Padahal, saya tidak sama sekali memiliki basic atau kemampuan dalam berolahraga.
Setelah memasuki masa-masa SMP, cerita saat berada di madrasah mulai terlupakan. Kini saya membuka peluang hobi baru dengan bermain basket tanpa mengingat apa saja yang saya pelajari ketika saya sekolah madrasah. Terdengar miris. Ilmu yang saya dapat hanya jadi kenangan.

Bergabung di cabang olahraga basket membuat saya merasa nyaman, merasa bebas mengekspresikan diri. Bertanding sana-sini untuk eksistensi. Jujur ketika saya mengingatnya, saya sangat merasa malu. Apalagi saat bertanding, saya butuh banyak waktu untuk beradaptasi dengan kostumnya. Ketika dulu di madrasah saya terbiasa menggunakan jilbab, saat itu tanpa rasa malu saya buka begitu saja. Miris. Bukan taat malah buka aurat. Astagfirullahaladziim, semoga Allah SWT mengampuni dosa saya.

Mengenang hal itu, saya berpikir bahwa apa yang saya dapatkan saat saya sekolah agama itu terbuang sia-sia. Namun, berat hati saya meninggalkan basket yang sudah membesarkan nama saya saat itu. Saya mencoba untuk mulai mengurangi porsi latihan, namun pelatih saya selalu membujuk saya dengan berbagai alasan. Ini, itu, hingga akhirnya saya terus berjuang dalam keraguan. Keraguan untuk melanjutkan atau berhenti sebelum pelatih saya menyimpan harapan terlalu besar dari permainan saya di lapangan yang dia katakan, “Kamu berpotensial untuk jadi juara."

Belum lagi, soulmate saya dalam bermain basket merupakan teman terdekat saya saat di lapangan. Sebab itu, sulit bagi saya untuk meninggalkan basket. Selama hampir 3 tahun berlatih bersama, kami merasa nyaman dan akhirnya menjalin hubungan persahabatan.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Bermain di lapangan sungguh sangat berbeda dengan saat kami bermain di luar. Di dalam lapangan, kami dituntut untuk bermain secara total dan profesional. Sedangkan di luar lapangan, kami merasa seperti keluarga, seperti adik dan kakak. Sudah tidak malu lagi ketika saling bercerita tentang kekurangan masing-masing.

Ketika semakin dekat dengannya dan bermain basket hingga lupa waktu, saya tiba di rumah di saat waktu magrib/isya. Permainan basket di lapangan menjadikan saya lalai dalam ibadah. Ditambah lagi, teman saya terkadang mengajak saya untuk berjalan-jalan sepulang latihan sebelum diantarkan pulang dengan alasan ingin curhat. Semakin sini, saya semakin lalai. Terbukti saat saya pulang tepat pukul setengah 12 malam karena saat itu ada pertandingan dan pembagian hadiah. Berlagak seperti tidak terjadi apa-apa, saya masuk rumah dan mengetuk pintu. Dibukalah pintu itu oleh paman saya ditambah dengan beberapa ocehan yang akhirnya berlarut-larut.

Kecaman keras dari paman saya membuat saya tersadar bahwa apa yang saya lakukan kemarin itu bukanlah hal yang benar. Dari sanalah saya mulai membatasi untuk tidak sering keluar malam setelah latihan basket selesai.

Walaupun dimarahi habis-habisan, saya tidak merasa jera. Berulang kali saya melakukan kesalahan yang sama hingga paman saya merasa “angkat tangan” dalam menghadapi sikap saya. Waktu itu saya berpikir bahwa yang saya lakukan itu hanya olahraga dan bermain dengan teman-teman saya, bukan nongkrong di pinggir jalan ataupun berbuat hal yang sangat buruk.

Tantangan nyata ketika saya mulai benar-benar memutuskan untuk melanjutkan bermain basket yaitu ketika saya dihadapkan dengan orang-orang yang agamis, dalam artian mereka terlihat rajin beribadah, jilbabnya yang terjulur panjang, serta pendiam dan tak banya bicara. Malu. Itulah ekspresi yang terpancar di wajahku. Ketika mereka membahas mengenai Islam, saya terdiam karena takut terpojokkan sebab mereka sepertinya yang lebih mengetahui. Sedangkan saya hanya paham mengenai double, travelling, dan jumping. Miris.

Terbiasa bergaul dengan teman-teman muslimah, membuat hati saya tiba-tiba tergerak. Entah memang karena malu, atau mungkin karena Allah SWT memberitahu bahwa ini saatnya bagi saya untuk mulai memperbaiki diri.

Saya masih ingat, salah satu guru saya berkata seperti ini, “Jika kamu ingin taat, hancurkan tembok penghalang yang ada di hadapanmu. Lawan rasa takutmu karena sejatinya kamu belum benar-benar berjuang. Ini masih awal dan cobalah untuk memperbaiki dari hal-hal kecil." Kata-kata itu hingga saat ini selalu terngiang di pikiran saya. Apa sebenarnya yang beliau maksud? Dan harus dari mana saya memulainya?

Ilustrasi./Copyright pexels.com/samuel silitonga

Pertanyaan demi pertanyaan mulai bermunculan, hingga akhirnya saya memberanikan diri untuk sedikit mempertimbangkan dan menanyakan berbagai hal mengenai itu kepada guru ataupun teman-teman saya.

Di waktu yang bersamaan dengan kebingungan yang ada dalam pikiran saya, senior saya di basket ternyata mulai memakai jilbab saat bermain di lapangan. Namanya Kak Indah. Saat saya melihat penampilannya yang berjilbab, dia terlihat sangat cantik. Indah pula seperti namanya. Subhanallah, itu keberaniannya yang sangat luar biasa. Sebab, saat itu saya berpikir bahwa berolahraga dengan memakai jilbab itu terasa panas dan gerah.

Saat pertama kali saya bertemu dengannya, saya duduk di kelas 3 SMP sedangkan dia di kelas 3 SMA. Jika kalian bertanya mengapa kami bisa bertemu, alasannya karena pelatih basket kami melatih 2 sekolah sekaligus yaitu sekolah saya dan sekolah Kak Indah. Kebetulan saya dan dia juga cukup dekat. Terkadang kami selalu berbagi cerita dan bercanda bersama. Dari sejak itulah dia selalu memberikan petuah. Saya merasa "didoktrin" oleh kata-kata yang dia ucapkan, apalagi ketika dia sudah membahas mengenai kisahnya saat mulai berjilbab. Terdengar seperti kata bermakna yang tujuannya untuk mendorong saya memakai jilbab juga.

Tak lama kemudian, senior saya yang lain yaitu Kak Destafany juga menyusul Kak Indah. Dia pun mulai menggunakan hijab. “Sepertinya tidak lama lagi kamu juga menyusul," ucap Kak Indah. Saya tersenyum. Sebenarnya saya juga berharap begitu, namun... lagi-lagi saya beralasan.

Waktu demi waktu terus berjalan. Ketika melakukan rutinitas berolahraga, saya merasa kejenuhan yang luar biasa. Basket memang menyenangkan, tetapi saya merasa tidak ada manfaat lain yang saya dapat selain untuk kepuasan diri. Semakin umur bertambah rasanya saya harus mulai memikirkan untuk berbenah diri walaupun di usia saya kini yang masih terbilang remaja. Ada hal yang benar-benar salah. Untuk itu saya kembali merenungkan apa langkah selanjutnya yang harus saya tempuh.

Libur telah tiba. Ujian Nasional sudah terlaksana. Saya tinggal menunggu hasil. Sebenarnya bukan hari libur secara resmi, tetapi biasanya siswa suka bolos karena sudah tidak ada lagi materi yang harus disampaikan oleh guru, begitu juga saya hehe.

Lagi-lagi libur kali saya gunakan untuk latihan karena saya harus membimbing adik kelas, dan sebentar lagi pun ada pertandingan basket. Sepulang latihan saya terngiang-ngiang perkataan Kak Indah. Niat saya kini sedikit muncul. Namun, saya butuh kekuatan untuk membuat saya semakin yakin. Saya bermunajat kepada-Nya dan juga meminta nasihat dari paman.

Setelah saya berpikir panjang, akhirnya saya memutuskan untuk berjilbab seperti yang dinasihatkan Kak Indah. Jilbab yang sebenarnya dari awal hukumnya wajib dan malah saya tunda-tunda. Saya ingin mencobanya sedikit demi sedikit.

Itulah saat di mana saya menempuh jalan hijrah. Sulit, namun saya percaya Allah SWT selalu mengiringinya dengan kemudahan. Insya Allah.

Allah Maha Pengampun, Allah mengampuni hamba-Nya yang ingin bertaubat. Memberikan kesempatan kepada setiap manusia untuk berubah menjadi lebih baik, meninggalkan keburukan, serta memperbayak amalan dan kebaikan.

Sebelum saya menuju lapangan, ada ketakutan yang luar biasa. Gugup dan resah seolah berbuat salah. Padahal, saya sedang mencoba menjadi lebih baik. Semakin dipikirkan semakin saya merasa gelisah. Dengan sekuat hati saya melawan ketakutan itu dan memberanikan diri untuk datang ke lapangan.
Esoknya, saya datang ke lapangan. Tiba di sana, saya merasakan hal aneh. Ada yang merasa kaget, tersenyum, dan bahkan memperlihatkan ekspresi sinis ketika melihat saya menggunakan hijab. Mungkin semua ini yang juga dirasakan oleh Kak Indah dan Kak Destafany. Kini saya juga merasakannya. Benar, di hari pertama semuanya terasa berat. Saya mencoba menguatkan hati.

Ekspresi sinis yang terpancar diw ajahnya membuat saya merasa terpuruk. Bukan teman dekat ataupun orang lain yang tidak saya kenal, melainkan pelatih basket saya sendiri. Entah perasaan saya saja atau memang dia merasa tidak suka melihat penampilan saya saat ini. Seketika sikapnya di lapangan juga menjadi berubah. Banyak sindiran yang terlontar dari mulutnya. Bercanda namun menusuk. Sempat terpikir oleh saya untuk kembali membuka jilbab yang saya pakai. Namun akhirnya Kak Indah dan Kak Destafany memberikan semangat agar saya mampu melewati hal ini. Mereka percaya bahwa saya mampu menjalaninya karena mereka pun dulu merasakannya.

Lambat laun saya merasa terbiasa dengan sikap orang lain yang memandang sinis. Terpikir sepintas, ketika niat hati ingin memperbaiki, saya harus total. Menghadapi hal ini memang tidaklah mudah bagi saya. Apalagi, ini pertama kalinya saya benar-benar ingin menjadi pribadi yang taat. Alasan mengapa saya ingin merubah diri tidak lain karena Allah SWT yang menggerakkan hati saya. Allah SWT tunjukkan dengan jelas, mana jalan yang baik dan mana jalan yang buruk.

Beberapa minggu ketika saya memakai jilbab, teman-teman muslimah saya mengajak saya untuk mengikuti kegiatan mentoring yang akan membahas tentang Islam. Mungkin saja ini jalan kebaikan lain yang Allah SWT berikan kepada saya agar saya dapat meneguhkan hati dan istiqamah dalam kebaikan. Beliau yang menjadi mentor saya, menyambut saya dengan baik. Mengajak, mendukung, dan memberi saran kepada saya, itulah yang selalu beliau lakukan. Katanya, saya harus kuat! Allah SWT akan selalu ada bersama kita. Mendengar hal itu membuat saya termotivasi untuk terus bangkit. Walaupun dil uar sana banyak yang bersikap buruk, saya percaya bahwa Allah SWT itu adil, karena lebih banyak juga mendekatkan saya dengan orang-orang shalih dan orang-orang yang taat.

Seperti yang orang lain katakan bahwa hal yang sulit dilakukan oleh seseorang yaitu meminta maaf dan berterimakasih. Bukan membela, namun kenyataannya memang benar. Saya merasakannya secara langsung. Memaafkan kesalahan orang lain itu tidak mudah, apalagi memaafkan orang-orang yang benar-benar telah menyakiti hati kita, baik dengan ucapannya ataupun sikapnya. Juga berterimakasih atas kebaikan orang lain kepada kita dengan mengucapkan terimakasih, itupun sangat sulit diucapkan oleh kita.

Ilustrasi./Copyright pexels.com/destiawan nur agustra

Banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan saat mengikuti kegiatan mentoring dengan teman-teman. Mulai dari tata cara ibadah yang wajib dan sunnah, hingga belajar bagaimana berakhlaq dan muamalah. Sejak saat itu, saya mulai menerapkannya sedikit demi sedikit dalam kehidupan saya. Hingga suatu hari, mentor saya membahas materi mengenai “Indahnya memaafkan orang lain”. Dari sana saya belajar bahwa memang benar, memaafkan itu bisa dilakukan dengan ikhlas karena Allah SWT.

Beberapa hari ketika saya datang lagi ke lapangan, pelatih saya masih bersikap sama. Melihat sikapnya itu membuat saya teringat akan kata-kata mentor saya bahwa saya harus bisa memaafkan kesalahan orang lain, begitupun kepadanya. Bismillahirrahmannirrahim. Saya mencoba memaafkannya. Semoga Allah senantiasa membukakan pintu hatinya juga agar dia bisa toleransi terhadap orang lain. Sesaat setelah saya mengikhlaskan hal itu, entah mengapa hati saya begitu merasa tenang dan tentram. Mungkin memang benar ini yang dimaksud, “Indahnya memaafkan orang lain”. Alhamdulillah. Allah beri kekuatan kepada saya sehingga saya mampu melewatinya.

Hari demi hari, saya merasakan hal-hal yang luar biasa setelah berhijrah. Saya merasa terjaga oleh jilbab, saya merasa dekat dengan-Nya lewat ibadah. Sungguh tak mampu menggambarkan bagaimana kebahagiaan yang saya rasakan saat ini.

Pendaftaran siswa baru dibuka. Saat itu saya mendaftar di salah satu SMA favorit juga. Dan itu adalah sekolah Kak Indah dan Kak Destafany. Lagi-lagi saya bertemu mereka, tapi saya senang bisa lebih banyak menghabiskan waktu dengan mereka.

Saat di SMA, saya kembali mengikuti ekstrakulikuler basket. Kini saya tidak malu jika harus memakai jilbab di lapangan karena saya pun sudah mulai terbiasa menggunakannya. Sudah tidak panas lagi, sudah tidah gerah lagi. Kini semuanya terasa nyaman. Sulit bagi saya untuk meninggalkan basket walaupun di dalamnya ada yang membuat saya tidak nyaman. Tapi bagaimana lagi, ini sudah menjadi hobi. Hehehe
Saat SMA, saya mulai mengikuti kegiatan lain selain basket. Niat hati, saya ingin mengikuti organisasi agar bisa mengembangkan kemampuan diri. Tidak hanya di olahraga, saya juga ingin berkembang dalam hal akademi. Untuk itu saya mengikuti beberapa organisasi tersebut.

Beberapa bulan setelah saya mencoba istiqamah untuk memperbaiki diri, saya diuji dengan banyak hal diantaranya ketika menghadapi permasalahan dalam organisasi, dan juga diuji dengan lawan jenis. Maksudnya, ketika saya mencoba menghindari pacaran, malah banyak sekali pria yang mencoba mendekati saya karena waktu itu istilahnya saya sedang naik daun.

Astagfirullahaladzim. Saya takut iman saya tergoyahkan. Bukan murahan, niat hati saya hanya terbuka untuk sebatas menjadi teman. Namun kenyataannya banyak dari mereka ingin mengajak pacaran. Hubungan tanpa status (HTS) menjadi alasan bagi mereka untuk mendekati saya. Bodohnya saya selalu merespon dengan alasan merasa tidak enak hati. Hingga akhirnya ada salah satu diantara mereka yang membuat saya merasa nyaman, membuat saya suka. Inisialnya J. Katanya dia suka sama saya. Dia mengatakannya walaupun dia tahu saya tidak mau berpacaran. Bodohnya saya terus menerus merespon hingga perasaanya menjadi semakin dalam. Bukan malah menjauh, saya malah semakin menyukainya. Saya tahu bahwa hal ini salah. Saya merasa bodoh karena terus membiarkannya. Akhirnya, diri ini hanya terkontrol oleh perasaan, bukan iman.

Selama hampir 1 tahun saya dekat dengannya. Banyak hal yang saya lakukan dengannya seperti berolahraga bersama, makan bersama, dan bahkan diajak bertamu ke rumahnya untuk bertemu ibu dan bapaknya secara langsung. Bukan malu, tapi malah mau. Ya Allah maafkan hamba-Mu ini.
Di akhir tahun mendekati kelulusan, hubungan saya dan dia mulai renggang karena sebelumnya kami berselisih. Panjang ceritanya. Tak lama setelah itu kami benar-benar tidak pernah lagi saling menghubungi, entah karena gengsi atau karena benci.

Kembali lagi Allah SWT timpakan kesedihan kepada saya karena perpisahan itu. Mungkin itu azab. Allah SWT cemburu jika melihat hamba-Nya mengutamakan yang lain. Oleh karena itu kami dipisahkan dengan ending yang kurang baik. Saya kembali merenungkan hal itu.

Beberapa bulan setelah kelulusan SMA, saya kembali mendaftar kuliah di salah satu Politeknik di Bandung dengan mengambil D3 jurusan Akuntansi. Belajar dari kisah saya dulu, detik ini juga saya harus benar-benar bersungguh-sungguh dalam belajar. Saya tidak ingin kembali mengecewakan kedua orangtua saya. Tidak lupa juga, di sini saya mengikuti berbagai kajian islam untuk memperdalam ilmu agama.

Sebelum saya mendaftar di kampus ini, saya menyimpan harapan agar bisa kuliah di salah satu universitas negeri. Bukan karena gengsi, tetapi saya ingin membantu meringankan biayanya. Dalam bayangan saya, kampus swasta itu bayarnya sangat mahal. Untuk itu saya mencoba untuk mengikuti berbagai ujian masuk (SBMPTN dan UM) karena saat itu saya tidak diterima di jalur SNMPTN. Saya belajar bersungguh-sungguh. Meminjam buku sana-sini untuk berlatih soal, mendownload file-file yang ada di internet, dan mengikuti bimbingan dengan kakak kelas/guru di sekolah. Saya juga tidak lupa untuk beribadah dan berdoa secara rutin agar Allah SWT memudahkan jalan saya untuk masuk di universitas negeri.

Hari saat ujian tiba. SBMPTN terlewati, UM di universitas yang berbeda juga terlewati. Semua hasilnya nol. Saya tidak diterima di semua universitas yang saya pilih. Saya kembali diuji oleh Allah SWT. Down. Saya benar-benar merasa terpuruk, sedih, bahkan menangis berhari-hari. Jujur, saya sudah mengeluarkan seluruh kemampuan saya, namun nyatanya Allah SWT tidak mengizinkan saya untuk bergabung disana. Saya nangis tak henti setiap malam. Sejenak berpikir apa dosa besar yang saya lakukan sehingga Allah SWT timpakan ujian seberat ini. Astagfirullahaladzim… Saya sungguh merasa berdosa saat itu.

Beberapa hari kemudian, ibu saya memberikan harapan kepada saya agar saya bisa melanjutkan sekolah. Saya senang sekaligus terharu sebab ibu saya memaksakan diri untuk menyekolahkan saya walaupun biaya di universitas swasta itu sangat mahal. Bapak tidak bisa membantu karena beliau hanya seorang buruh harian lepas yang gajinya tidak seberapa. Sedangkan ibu juga seorang buruh pabrik. Tetapi alhamdulillah kami masih bisa menghidupi kebutuhan kami hingga saat ini meskipun harus makan seadanya.

Menjalani kehidupan perkuliahan sangatlah berbeda dengan saat masih di SMA. Sekarang saya lebih diuji dengan keadaan finansial, sedangkan dulu saat di SMA, tidak jauh hanya masalah mengenai organisasi dan lawan jenis.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Berbicara mengenai keadaan finansial, saya merasa benar-benar diuji oleh Allah SWT. Kampus saya saat ini sangat jauh dari rumah yang kami tempati sehingga butuh ongkos untuk bolak-balik, ditambah lagi jadwal yang padat yang mengharuskan saya setiap hari pergi ke kampus. Dengan keadaan seperti ini, saya terpaksa untuk menahan segala keinginan saya karena sudah untung saya bisa sekolah juga.

Setiap berangkat ke kampus, saya tidak meminta uang saku. Untuk berhemat, saya membawa bekal nasi dan lauknya dari rumah. Saya tidak ingin memberatkan lagi beban kedua orangtua saya karena saya paham betul, mereka juga kesusahan untuk mencari nafkah. Subhanallah. Semoga keringat bapak dan ibu menjadi penggugur dosa dan penambah amalan. Aamiin. Itulah doa yang selalu saya panjatkan setiap saya salat.

Walaupun diuji dengan hal itu, kami tidak merasa miskin hati. Kami justru bahagia bisa berkumpul dan saling menyayangi satu sama lain. Dan itulah kenikmatan yang benar-benar Allah SWT beri, yaitu keluarga. Alhamdulillah.

Beberapa bulan kemudian, di kampus, tiba-tiba ada pria yang mencoba untuk menarik perhatian saya. Saya tidak kenal orangnya, namanya pun saya tidak tahu. Tetapi saya tahu bahwa dia seangkatan dengan saya karena saya melihat dia saat di BPK (di universitas lain disebut dengan ospek). Awalnya saya berhusnudzan, saya pikir itu wajar saja. Mungkin dia memang benar-benar ingin berteman dengan saya.  Keesokan harinya, kami bertemu di ruang sisfo dengan tidak sengaja. Saat itu saya sedang mencari kunci perpustakaan. Dia menyapa dan bertanya. Spontan saya menjawabnya. Tiba-tiba… malamnya ada nomor yang tidak dikenal mengirimi saya pesan lewat whats app. “Siapa ini?” dalam hati bertanya-tanya. Saat saya melihat profil nya, ternyata itu dia. Dia yang tak sengaja bertemu dengan saya kemarin siang. Saya kembali berhusnudzan. Pikir saya mungkin dia hanya ingin berteman.

Seminggu setelah dia mengirim pesan, tiba-tiba dia mengatakan bahwa dia ingin mengkhitbah saat nanti kami lulus. Saya tidak menyangka dia bisa berkata seperti itu. Saya kaget, bingung dan takut. Masalahnya, ini pertama kalinya ada seseorang yang berkata seperti itu. Jujur saat itu saya sudah tidak lagi mempercayai segala ucapan pria. Mereka seringkali berucap tanpa berpikir, seringkali gegabah karena tidak mampu mengontrol perasaan mereka sendiri.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Belajar dari pengalaman, saya tidak ingin kembali berbuat dosa. Sejak saat dia mengatakan hal itu, saya tidak lagi membalas pesannya dan dia pun sudah tidak lagi mengirimi pesan karena mungkin dia sadar bahwa saya tidak ingin berpacaran dan menyadari sikap saya yang mulai menjauh atau menunduk ketika berpapasan dengannya.

Semakin sini saya semakin mengerti. Seiring bertambahnya ilmu, saya tahu bahwa semua yang saya lakukan dulu itu adalah perbuatan dosa. Dulu saya tidak bisa mengontrol perasaan, sulit memaafkan orang lain, dan malah mengumbar aurat. Saya malu. Saya malu pada-Nya. Namun, saya tidak ingin stuck untuk terus diam. Sejak saat itu saya berusaha untuk terus menggali ilmu agama, beribadah yang wajib hingga sunnahnya, dan berbuat baik pada orang lain. Semoga Allah SWT selalu meridhai apa yang saya kerjakan. Aamiin.

Dari semua pengalaman hidup, saya jadikan pelajaran. Kesalahan, saya coba minimalisasi. Kesalahan saya coba rubah menjadi kebaikan. Kebaikan, saya coba untuk dimaksimalkan. Kebaikan jangan sampai menjadi kesalahan karena kesombongan. Insya Allah. Hingga saat ini saya mencoba untuk beristiqamah di jalan-Nya. Terus mencari jati diri dan mempertebal keimanan. Semoga Allah SWT selalu meridhai. Aamiin... Aamiin Yaarobbal Aalaamiin.

Alhamdulillah. Itulah jalan saya menuju hijrah. Hingga kini, yang tadinya hijrah on process menjadi hijrah on progress. Saya harap siapapun yang membacanya dapat mengambil hikmah dari setiap pengalaman yang saya bagikan. Yuk berhijrah! Sebab jika tidak sekarang, kapan lagi? Sebelum Allah SWT mengambil kita, sebaiknya kita menyimpan Allah SWT terlebih dahulu dalam hati kita. Allah SWT tidak akan membebankan sesuatu di luar kemampuan manusia itu sendiri. Insya Allah.

Wassalamualaykum Warahmatullahi Wabarakatuh.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading