Sukses

Lifestyle

Pernikahan Tak Cuma Menyatukan Dua Insan, Tapi Menerima Perbedaan Keluarga

Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.

***

Pernikahan adalah momen yang dinanti-nanti bagi pasangan yang sudah sepakat mengikat janji suci. Masih terekam jelas senyuman di wajahnya saat aku mantapkan hati menerima lamarannya. Kuakui dua tahun ini perjuangan terberatnya mendapatkan hatiku.

Bungsu adalah panggilan kesayangan yang ditujukan keluargaku kepadaku. Sejak ayahku meninggal, 'perpecahan' saudara pun tak dapat dihindari. Aku hanya tinggal berdua bersama Ibu, sedangkan kakakku ikut bersama suaminya dan abangku yang terkadang jarang pulang, maka menjodohkanku dengan anak temannya merupakan pilihan terbaik yang bisa dilakukan ibu agar dia bisa tenang di usianya yang semakin senja.

Kini aku yang masih berusia 23 tahun harus rela dinikahi pria berkacamata berusia genap 32 tahun ini. Kuakui, niat awalku hanyalah menumpang hidup pada pria yang berlatarkan keluarga kaya ini. Namun, kini aku telah jatuh sepenuhnya dalam ruang hati yang diciptakannya.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Perjuangannya selama dua tahun lebih berpacaran denganku sungguh tak mudah. Tantangan mulai dari selalu mengalah untukku yang bersikap seperti bocah hingga dia harus melakukan diet turun berat badan 20 kg hanya karena aku takut melihat lingkar perutnya yang membesar.

Kini tiba saatnya tiga hari menjelang resepsi pernikahan yang kedua. Setelah mengadakan resepsi di rumahku, kini aku berada di rumah suamiku untuk mengadakan resepsi di rumah pengantin pria. Adat Minang dan Batak menyatu dalam konsep pernikahan kami.  Berbagai suka dan duka menyatu menjelang resepsi pernikahan.

Mungkin sebagian pengantin wanita digrogoti rasa takut akan naik berat badan menjelang hari pernikahan karena gaun pesta yang akan sempit. Sementara aku kini berada di ruang makan, disuguhi susu penambah berat badan, buah-buahan, daging, sayur, ikan, semuanya terlalu banyak. Aku tak terbiasa makan dengan menu sebanyak ini. Aku terbiasa dari keluarga yang kekurangan, ikan asin kecil sudah cukup bagiku. Ini gelas susu ketiga yang membuatku ingin muntah. Selama tiga hari ini pula tenggorokanku terasa ingin meronta memuntahkan susu yang melewatinya.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Keluarga suamiku protes dengan berat badanku yang semakin turun. Pipiku semakin tirus, mataku cekung, dan lingkar pinggangku mengecil drastis. Percayaah, dua centong nasi bisa kuhabiskan dalam sekali makan, aku kuat makan tetapi stresku membuatku turun berat badanku. Bagaimana tidak, selama berpacaran aku tidak mengenal dekat keluarga suamiku karena aku pemalu dan introvert. Imbasnya kuterima saat ini.

Aku syok melihat saudara-saudara suamiku yang bertubuh besar dan tinggi, suka merokok dan makan buah pinang baik pria maupun wanita, nada bicara yang tinggi sehingga aku sulit membedakan mereka sedang marah atau tengah bercanda, dan berbicara kotor sudah menjadi panggilan sayang di antara mereka.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Sebuah persiapan pernikahan, bukan selalu tentang biaya resepsi, cincin, gaun, gedung atau sebagainya. Kini aku malah menghadapi proses penggemukan dengan susu yang kubenci, beradaptasi dengan keluarga suamiku karena aku akan menetap satu atap dengan mereka, serta berlatih menggunakan high heels. Ini bukan pernikahan seperti dongeng seorang gadis miskin yang belajar etika menjadi seorang putri di kerajaan, karena sang putri tidak diwajibkan meneguk susu.

Sedang aku kembali meneguk susu sambil diurut karena kaki yang keseleo belajar menggunakan sepatu menyebalkan itu. Cinderella mungkin mengidamkan sepatu kaca untuk berdansa bersama pangeran, sedangkan aku merindukan sendal jepitku untuk berlarian bebas bersama suamiku di pinggiran pantai. Oh Tuhan.. cepatlah berakhir penderitaan ini.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Drama saat bersanding di pelaminan pun tak bisa dihindari, aku hampir pingsan karena mahkota pengantin adat Minang yang terpasang di atas kepalaku. Beban suntiang yang mencapai 5 kg membuat otot-otot leherku menegang, pusing melanda, aku dibawa ke kamar pengantin untuk minum obat. Musik dan hiburan adat seketika berhenti, semua keluarga cemas dan semua mata menyorotiku yang terkulai lemas.

Mungkin dalam pikiran mereka menertawaiku yang seperti anak kecil yang tak bisa memikul beban berat, atau kekurangan gizi, atau mungkin saja iba, entahlah. Mungkin ini menjadi pendewasaan diri bagiku, di posisi inilah aku berkorban demi mendapatkan hati keluarga suamiku, mungkin setimpal dengan pengorbanan yang dilakukan suamiku saat masa berpacaran dulu.

Semua proses ini mengajarkanku bahwa pernikahan bukan hanya menyatukan pasangan kekasih tetapi juga menyatukan dua keluarga. Bukan memahami pasangan saja, mengenal dan memahami keluarga pasangan juga dilakukan sedari dini agar lebih nyaman dalam membina rumah tangga.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading