Sukses

Lifestyle

Selama Niat Ingin Menikah Itu Ada, Pasti Akan Didatangkan Jodohnya

Apa sih definisi nikah itu? Apa seperti film Disney yang di mana nikah itu pasti happily ever after? Apakah pernikahan adalah tolak ukur seorang perempuan laku? Apakah pernikahan adalah tolak ukur bahwa pria bisa menaklukkan hati wanita dan keluarganya? Atau bahkan nikah itu hanya tren? Nikah hanya sebagai status bahwa “kau milikku dan aku milikmu” menjadi sebuah kepemilikan? Apakah dengan menikah semua permasalahan bisa selesai dan bahagia?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut amat menghantuiku selama setahun lebih belakangan ini. Dari semenjak diriku sedang mengerjakan Tugas Akhir sampai sekarang terus memikirkan hal tersebut. Jujur, aku sudah sangat lelah dengan hidupku yang tidak punya harapan, apalagi gairah atau semangat melakukan sesuatu karena aku tidak bahagia. Aku selalu berdoa kepada Tuhan bahwa aku butuh sekali seorang pria yang sholeh yang dapat membuatku bahagia dunia akhirat.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Sedih jika aku bertanya kepada diri sendiri.
“Apakah mungkin kau akan mendapatkan pria yang sholeh lagi penyayang?”
Jawabannya?
Aku tidak tahu. Aku ragu, khawatir tapi sangat membutuhkan itu.
Karena kehidupanku yang tidak bahagia, maka jodohlah harapanku agar aku bisa terus semangat menjalani hidup ini.

Dari kecil, aku sudah disindir dengan pertanyaan dan pernyataan
“Masih kecil aja udah bandel ya, udah nikahin aja sama si **** (tukang kebun rumah orang yang suka mampir ke rumahku dulu)”
“Kapan mau nikah?”
“Jangan-jangan nggak suka laki-laki yaa? Kok nggak ada pacarnya?”
“Anak kayak gini kalau udah besar mau jadi apa? Udah kawinin aja.”
“Kapan mau punya pasangan? Ibu pengen punya cucu.”
“Usia segini harusnya udah beranak, hal-hal yang kayak gini aja nggak bisa.”
“Udah mak-mak juga.”
“Ngapain itu tidur kayak orang mau ngelahirin aja.”
“Pergi kemana jam segini baru pulang? Pasti sama laki-laki ya.”
Dan masih banyak lagi statement dari orangtua yang membuat diri ini down.
Aku tahu maksud mereka menyuruhku menikah karena sudah tidak suka dengan diriku, atau secara sengaja mengusirku tapi dengan cara yang halus.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Diriku ini tidaklah sama dengan perempuan lain. Aku hidup dengan kebencian keluarga dan harus tetap menjalani hidup karena masih diberi napas. Aku adalah anak yang amat mengutamakan pendidikan dibandingkan pacaran. Mengutamakan pertemanan daripada pacaran. Mengutamakan pengalaman daripada calon suami.

Bagiku, menikah bukanlah suatu perkara yang mudah. Dan bukan pula sebuah solusi dari permasalahan hidup. Jika ingin memiliki pasangan, harus berkaca pada diri sendiri.

“Sudah berbuat apakah diri ini?”
Sedari kecil aku suka belajar, bermain, dan berinteraksi dengan teman-teman. Menurutku itu indah karena aku punya teman. Ketika aku beranjak kelas 5 SD, teman kelasku ada yang mulai pacaran. Dia senang sekali dan perhatian sekali sama pacarnya. Sampai-sampai aku berpikir, “Kenapa harus perhatian sampai kayak gitu sih? Lebay banget, aneh ih."

Tidak lama setelah mereka pacaran lalu terdengar kabar bahwa mereka putus.
Jadilah selama aku sekolah dan teman-temanku pada pacaran. Aku fokus pada diriku untuk mengembangkan bakat atau skill.
Siapapun yang bertanya, “Lo punya pacar nggak?”
“Nggak tuh,” aku menjawab.
“Ah nggak seru. Cobain deh, punya pacar tuh ada yang merhatiin loh,” dia berkata lagi.
“Nggak ah makasih. Buatku lebih menyenangkan punya teman daripada pacar,” jawabku.

Mengapa aku lebih menginginkan sebuah pertemanan daripada pacar? Karena pertemanan tidak ada kata putus. Dan aku tidak harus mengalami drama-drama dalam siklus pacaran.

Aku pernah beberapa dekat dengan laki-laki tapi nasibnya selalu buruk. Aku selalu salah tingkah dan si dia memanfaatkan itu. Jadilah terkena “php”.

Sudah beberapa kali jatuh cinta, namun selalu menyedihkan. Aku seperti terkutuk. Diri ini yang sedih dan menangis hanya menunggu kabar darinya tetapi tak kunjung berkabar.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Ketika melakukan Tugas Akhir pun juga sama, aku mencoba memberanikan diri untuk menyatakan apa yang menjadi rasa di hatiku. Sebaiknya perempuan memendam itu, tapi sudah terlalu lama aku jatuh cinta dengan beberapa orang kudiamkan hatiku. Kali ini aku mencoba untuk mengungkapkannya. Alhasil, dia merespon baik. Lalu mulai atur jadwal untuk ketemu. Ketemu yang pertama berhasil, yang kedua agak-agak mengesalkan. Dia membuatku kesal. Sehingga dari situlah dia tak ada kabar bahkan chat ku pun tidak ia baca sama sekali. Aku memutuskan untuk move on, yang untungnya berhasil.

Sampai sekarang, aku masih betah menyendiri. Aku yakin pernikahan itu bukanlah suatu perkara yang sepele. Dimana bisa mesra-mesraan, mengucapkan kata cinta, saling suap-suapan, mencium kening, berpelukan dan menangis di pundak pasangan.

Tetapi pernikahan lebih dari itu. Pernikahan adalah penyatuan dua insan yang berbeda gender dan dua keluarga yang berbeda latar belakang. Penyatuan tersebut tidaklah mudah, harus dipersiapkan dengan baik dan matang. Menikah harus berbekal kemapanan, ilmu rumah tangga, parenting dan Al-Quran.

Menikah butuh banyak kesiapan. Aku merasa bahwa diriku harus dipantaskan dulu agar “dia” yang suatu saat akan mengambilku dari orangtua ku yakin bahwa akulah yang terbaik. Aku harus membuat diriku menjadi pribadi yang sanggup menerjang badai dunia sehingga bisa kuat saat menjalani rumah tangga kelak. Aku tidak ingin anakku lahir dari rahim seorang ibu yang manja dan malas. Aku tidak ingin anakku lahir dari rahim seorang ibu yang buruk sifatnya.

Menikah bukanlah solusi dari pertanyaan kapan nikah. Tetapi, menikah adalah solusi dari hidup sendiri. Tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri, bagaimanapun karakternya tetap butuh pasangan. Dan memilih pasangan haruslah selektif lagi sabar dan ikhlas. Dia yang datang bisa jadi hanya singgah. Sampai Tuhan mendatangkan seseorang yang akan menetap di hati selamanya.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Apakah dengan menikah hidup bahagia? Ya dan tidak.
Ya, jika memilih pasangan yang tepat di waktu yang tepat.
Tidak, jika salah memilih pasangan dengan tergesa-gesa.

Janganlah ragu dalam setiap langkah yang kau jalani. Pada akhirnya orang-orang yang bertanya tentang di manakah keberadaan pasanganmu hanyalah sebagai daun-daun yang berguguran yang akan dilewati. Hidup ini perjalanan, semua akan indah pada waktunya selama terus berikhtiar, sabar, dan ikhlas. Selama niat ingin menikah itu ada, pasti akan didatangkan jodohnya.

Ingatlah bahwa menikah itu bukan lomba lari. Sehingga kau tergesa-gesa!
Jadi, jika ada yang bertanya, “Kapan nikah?” Jawablah, “Tunggu saja tanggal mainnya ya!”

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading