Sukses

Lifestyle

Dipaksa Gonta-Ganti Pengobatan, Tak Kusangka Dampaknya Separah Ini

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Sejak November 2013, saya memiliki sebuah benjolan di leher kanan saya. Awalnya sangat kecil. Bahkan orang-orang pun tak sadar bahwa saya memiliki benjolan ini. Yang pertama kali menyadari bahwa leher kanan saya ini ukurannya tidak normal adalah ibu saya. Saat itu, ibu saya mengira bahwa saya terkena gondok. Beberapa minggu berlalu, benjolan ini tetap ada dan semakin membesar. Kedua orangtua saya tetap berkata bahwa itu tidak berbahaya, hanya kecapekan saja. Ya, saat itu memang saya harus bolak-balik naik motor hampir setiap hari untuk bimbel masuk PTN dan les bahasa Inggris.

Kemudian, saya bercerita pada nenek saya mengenai kondisi saya. Nenek saya langsung khawatir dan ingin mengajak saya ke orang yang pintar jampi-jampi. Saat itu, benjolannya sudah sangat terlihat. Namun, lagi-lagi, kedua orangtua saya melarang. Bahkan ibu saya bertengkar dengan nenek saya masalah ini. Nenek saya ingin mencari solusi, ibu saya tetap pada pendiriannya bahwa ini hanya gondok biasa.

Suatu hari, sepulang bimbel, saya memberanikan diri untuk periksa ke rumah sakit yang terletak di dekat tempat bimbel saya. Awalnya, saya kira hanya butuh periksa luar saja. Ternyata, butuh periksa darah juga. Saya langsung telepon bapak saya. Bapak saya heran, mengapa saya pergi ke rumah sakit tanpa izin terlebih dahulu. Saya tidak menjawab, saya hanya berkata bahwa saat itu saya butuh sejumlah uang untuk melakukan periksa laboratorium. Bapak saya langsung transfer uang tersebut ke rekening saya. Untuk mengambil hasilnya, dibutuhkan waktu 3-5 hari kerja. Oleh karena itu, saya langsung pulang dari rumah sakit saat itu juga.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Jam menunjukkan pukul 16.30 WIB, sementara les bahasa Inggris saya mulai pukul 18.30 WIB. Akhirnya saya menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah uwa (kakak sepupu ibu) saya yang letaknya cukup dekat dengan tempat les bahasa Inggris. Kebetulan, uwa saya ini sering berhubungan dengan hal-hal gaib. Ketika melihat benjolan saya, uwa saya langsung membacakan ajian-ajian yang saya tidak mengerti dan menyuruh saya untuk mengusap-usap benjolan tersebut. Ajaibnya, benjolannya langsung hilang. Saya pun terkejut. Akan tetapi, ketika uwa saya berhenti membacakan ajiannya, benjolannya balik lagi seperti semula. Uwa saya langsung menyimpulkan bahwa itu adalah santet. Sebetulnya saya agak tidak percaya dengan santet, namun uwa saya berhasil membuktikan bahwa benjolan ini bisa hilang dengan ajian miliknya. Saya lalu memutuskan untuk menunggu hasilnya saja daripada langsung mendiagnosis sendiri.

Sampai di rumah, saya dimarahi habis-habisan oleh ibu saya. Katanya, saya menghabiskan duit untuk ke rumah sakit. Di situ, saya sedih sekali. Saya memang waktu itu baru 17 tahun dan belum memiliki penghasilan apapun. Untuk biaya rumah sakit saja, saya masih meminta orangtua. Jadi, saya putuskan untuk tidak melanjutkan pengobatan di rumah sakit karena saya belum punya biaya sendiri. Padahal, dokternya sudah mewanti-wanti agar saya datang kembali setelah hasil laboratorium keluar.

Februari 2014, saya mulai sering mengeluh kelelahan dan sakit pada bagian kepala kanan. Akhirnya orangtua saya membawa saya ke rumah sakit dan memeriksakan benjolan saya. Ternyata itu tumor tiroid. Harus segera dioperasi. Jika tidak, akan menutup saluran pernafasan saya. Saat itu, diameter benjolannya sekitar 3,5 cm. Dokter bedahnya menyalahkan orangtua saya, mengapa tidak segera ditangani. Orangtua saya justru menyalahkan saya di depan dokter, sebab tidak melanjutkan pengobatan tahun lalu. Saya hanya bisa diam. Masih jelas dalam ingatan saya, saya ditentang habis-habisan untuk berobat saat itu. Akan tetapi, saya hanya diam saja, tidak berani membantah.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Akhirnya, orang tua saya mulai gencar mencari pengobatan alternative untuk saya. Mulai dari yang terapi air putih, meminum rebusan daun, pil-pil herbal, sampai kemoterapi herbal. Itu saya lakukan demi orangtua saya. Saya melakukan pengobatan tradisional tersebut dari Agustus 2014 sampai Agustus 2017. Jangka waktunya berbeda-beda. Agustus 2014-Februari 2015, saya menjalani pengobatan dengan meminum obat herbal yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Obatnya sangat pahit dan bau. Saya bahkan menangis tiap kali meminumnya. Benar-benar menyiksa. Lalu saya berhenti karena tidak ada perubahan.

Kemudian orangtua saya mencari alternatif dari daun-daunan yang direbus dan airnya diminum. Tidak mempan juga. Kemudian saya dibawa ke seorang pemuka agama yang katanya bisa membedah penyakit saya. Pertemuan pertama, katanya benjolannya sudah melekat dengan pita suara, jadi harus dilepas dahulu dengan terapi air putih. Begitu terus sampai pertemuan ketiga. Akhirnya saya berhenti karena tidak masuk akal. Orangtua saya masih mengajak saya ke pengobatan alternatif berupa pembedahan yang mirip dengan metode bekam. Di situ memang leher saya dibedah, saya mendengar dengan jelas suara darah yang keluar dari leher saya. Dua kali seperti itu, yang ada hanya sakit pada leher saya. Leher saya tidak bisa digerakkan sama sekali. Saya berhenti karena sakit dan takut terjadi hal yang lebih buruk lagi.

Agustus 2016, saya dibawa ke seseorang yang biasa mengobati segala macam penyakit, katanya. Kaki dan punggung saya dialiri sinar inframerah. Lalu pulangnya, saya diberi berbagai macam obat. Obatnya cocok. Akan tetapi, baru dua kali ke sana, ternyata yang mengobati saya ini kabur karena terlilit utang. Akhirnya pengobatannya berhenti. Awal 2017, saya dibawa oleh saudara saya ke seorang tabib di daerah yang cukup jauh dari rumah saya. Perjalanan menempuh waktu sekitar 8-10 jam. Ternyata saya dibohongi. Saya diberi pil berisi steroid. Memang, saat itu saya jarang mengeluh sakit pada kepala kanan saya, tetapi nafsu makan saya meningkat. Berat badan saya sampai naik 20 kg dalam jangka waktu 4 bulan. Saya benar-benar tidak mengenali diri saya. Untungnya, ada seorang teman yang berbaik hati memberi tahu saya bahwa sepertinya obat ‘herbal’ yang saya konsumsi ini tidak benar. Akhirnya, Mei 2017 saya hentikan konsumsi obat tersebut.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Agustus 2017, tiba-tiba bapak saya mengajak saya untuk melakukan kemoterapi herbal yang ia lihat di internet. Saya dibawa ke sebuah rumah dan menginap di sana selama seminggu. Leher saya diberi semacam obat oles yang baunya sangat menyengat. Setelah dioles, leher saya dipanasi oleh sebuah alat, satu hari 80 menit. Kadang, uap air dari alat tersebut jatuh ke kulit leher saya yang tidak ada perlindungannya. Penyiksaan yang luar biasa. Bapak saya sampai membeli alat tersebut agar pengobatannya bisa dilakukan di rumah. Namun, setelah dua minggu, leher saya gatal dan melepuh. Saya bahkan sering terbangun tengah malam karena tidak sadar menggaruk leher saya yang sangat gatal. Keesokan paginya, leher saya sudah berdarah-darah akibat saya garuk. Leher saya pun sering mengeluarkan cairan bening berbau amis. Ketika dikonsultasikan ke ‘dokter’ kemoterapinya, katanya itu proses pengeluaran cairan dari benjolan saya. Benjolannya? Masih seperti dulu, tidak berkurang. Bahkan, setelah lama tidak diperiksakan ke dokter, benjolannya makin membesar meskipun saya rajin mencari obat alternatif ke sana kemari.

Bahkan, suatu hari, ketika saya meraba leher kiri saya, terdapat benjolan kecil baru. Saya pun panik. Karena leher saya yang kondisinya mengenaskan tersebut, saya memutuskan untuk pergi ke RSCM sendiri dan berkonsultasi. Dokter RSCM prihatin melihat kondisi leher saya saat itu. Saya pun dilarang menggunakan alat pemanas tersebut. Obat oles dan alat pemanasnya membuat leher saya iritasi dan cairan putih itu sel darah putih yang terus-terusan keluar. Benjolan yang baru tumbuh tersebut merupakan kelenjar getah bening yang timbul ketika ada infeksi. Dari situ, saya benar-benar sudah kapok. Mungkin memang penyakit saya saja yang tidak cocok ditangani oleh ahli pengobatan alternatif.

Namun, kemudian, saya dihadapkan oleh pilihan sulit. Kalau operasi, saya harus kehilangan kedua tiroid saya. Saya harus meminum obat seumur hidup sebagai pengganti hormon tiroid yang hilang. Saya tidak mau. Sebab, mitos yang beredar, minum obat seumur hidup akan berakibat buruk pada ginjal. Namun, jika saya tidak operasi, kapan saya sembuhnya? Itupun saya sudah sulit bernapas karena benjolannya sudah sangat besar. Diameternya lebih dari 10 cm dan sudah menggeser tulang tenggorokan saya dan juga menutupi saluran pernapasan saya.

Orangtua saya menyuruh saya untuk bersabar, mereka tidak mau saya minum obat seumur hidup. Mereka menawarkan agar saya minum ramuan yang terdiri dari bawang putih dan madu setiap hari. Saya sudah tidak tahan dengan semuanya. Saya pun berkata, saya hanya ingin operasi. Saya ingin sembuh. Saya ingin seperti orang-orang normal yang bisa pakai kalung di lehernya tanpa terlihat mengerikan karena ada benjolan.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Akhirnya, orangtua saya mengalah. Saya pun dioperasi. Saya bersyukur, ternyata yang diambil hanya tiroid kanan saya. Tiroid kiri saya masih baik kondisinya. Jadi, saya tidak harus minum obat seumur hidup. Ternyata, setelah operasi tersebut, hasilnya adalah tiroid kanan saya bukan tumor lagi, tetapi sudah pada tahap kanker tiroid stadium 1A. Dokternya bersyukur saya menyegerakan operasi. Sebab, jika menunggu lama, mungkin stadiumnya bertambah. Saya juga bersyukur saat itu tidak mendengarkan omongan orangtua saya yang menyuruh saya menunggu lebih lama untuk menjalani pengobatan herbal sekali lagi.

Sebab ini hidup saya. Yang merasakan sakitnya saya, bukan orang tua saya. Benjolan ini yang menghambat aliran darah ke kepala saya sehingga saya sering sakit kepala kanan. Benjolan ini juga yang membuat saya sesak napas karena hampir menutupi saluran pernafasan saya. Benjolan ini juga yang mengajarkan saya agar memercayakan sesuatu pada ahlinya.  Sekarang, saya sudah bisa memakai kalung yang biasanya saya simpan di laci meja belajar saya. Saya juga sudah bisa bernapas lega, tidak sesak napas seperti dulu. Saya sudah bisa tidur tengkurap. Saya jadi jarang sakit kepala. Saya sembuh. Saya sehat seperti sebelum ada benjolan itu. Ini hidup saya. Saya harus berani mengambil pilihan, sesulit apapun pilihan itu, agar saya bisa berjalan ke depan.




(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading