Sukses

Lifestyle

Perempuan Bisa Menjadi Panutan dengan Jalan Pilihannya Sendiri

Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya kekuatan untuk mengatasi setiap hambatan dan tantangan yang ada. Bahkan dalam setiap pilihan yang dibuat, perempuan bisa menjadi sosok yang istimewa. Perempuan memiliki hak menyuarakan keberaniannya memperjuangkan sesuatu yang lebih baik untuk dirinya dan juga bermanfaat bagi orang lain. Seperti tulisan dari Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Voice Matters: Setiap Perempuan adalah Agen Perubahan ini.

***

Oleh: Mariana Malau - Jakarta

Masuk Jurusan Bahasa, Ajang Pembuktianku untuk Berbakti dan Berkarya

Aku terlahir di keluarga terbilang masih konvensional, yang hanya mengenal pelajaran terutama adalah Matematika atau Ilmu Alam, jurusan yang harus ditempuh ketika kuliah hanya di “jurusan tertentu” yakni jurusan seputar eksak (ilmu alam), ilmu kesehatan, atau jurusan-jurusan yang ada di ranah teknik. Sedangkan jurusan di luar itu semua adalah jurusan “remeh-temeh” yang dipertanyakan bagaimana hidupnya di kemudian hari. Apa pekerjaan ketika lulus kuliah bila mengambil jurusan di luar jurusan tertentu itu, dan kemungkinan besar masa depan pasti suram apabila masuk di jurusan yang berada di luar “jurusan-jurusan tertentu tersebut” atau pilihan pastinya: jadi orang susah di masa depan!

Sayangnya, aku adalah salah satu penerus keluarga yang memilih keluar dari garis keras prinsip keluargaku yang telah turun temurun. Sebagai perempuan yang nota bene bukan penerus keturunan, tak membuat tanggung jawabku terasa lebih ringan. Posisiku yang terlahir pertama membuat aku berdiri sebagai sulung harapan keluarga, panutan bagi adik-adikku dalam segala hal, dan salah satu penopang tulang punggung perekonomian keluarga. Begitu banyak harapan yang diemban di pundakku membuatku kadang gamang mengambil keputusan-keputusan besar bagi hidupku.

Salah satu keputusan terbesar yang pernahku ambil yang juga mengubah paradigm keluargaku, keluarga besarku, adalah mengambil jurusan bahasa Indonesia di sebuah universitas negeri di Jakarta. Boom! Seperti bom, keputusanku kala itu membuat “kegaduhan kecil” di pertemuan atau perbiancangan keluarga. Bukannya ucapan selamat yang kuterima, malah pertanyaan-pertanyaan yang rasanya membuat semangatku perlahan layu. Usahaku untuk meminta biaya dari paman, tante, dan lainnya untuk mengambil kursus intensif menuju ujian masuk universitas dan berbuah masuk di jurusan bahasa Indonesia nyatanya membuat beberapa pihak keluarga menjadi kecewa.

Entah apa yang salah dengan masuk jurusan bahasa. Kuakui, sejak SMA, aku mulai menyukai dan “jatuh cinta” pada roman-roman lama besutan sastrawan Indonesia dan luar negeri yang telah sepuh berkarya. Aku menikmati kegiatan pementasan seni entah itu teater, pembacaan puisi, dan lomba penulisan cerpen. Bahkan, ketika kecil, aku telah suka menuliskan rangkaian puisi yang ku tahu itu puisi ketika tulisanku kudapatkan lagi dan kubaca ketika SMA. Ternyata, keputusan ini amat membuat papaku kecewa. Setidaknya, ia menginginkan aku masuk jurusan bahasa Inggris karena menurutnya, jurusan itu akan menuntunkan lebih naik kelas, lebih mudah cari kerja, lebih mudah segalanya. Kekecewaanya memuncak ketika setelah aku daftar ulang di jurusan itu, papa menghukumku dengan diam, tak mengomentari keputusanku! Aku tetap teguh! Jadilah aku kuliah, tetap memantapkan langkah untuk kuliah di jurusan bahasa negeriku sendiri, bahasa Indonesia.

 

 

 

Perjuanganku tak hanya ketika harus memastikan bahwa apa yang ku ambil tak seburuk apa yang dinilai oleh keluargaku. Aku berusaha untuk tetap menjadi yang terbaik bagi adik-adikku. Berhubung aku bukan mahasiswa dari keluarga yang mampu, kulakukan segala hal halal untuk membiayai perkuliahanku dan membuktikan bahwa aku akan jadi “orang” di masa depan dengan ilmu yang kudapatkan.

Berbagai beasiswa kuusahakan untuk meng-cover perkuliahanku. Berbagai seminar kuikuti untuk menunjang ilmu, sampai berdagang kulakukan sebagai usaha. Selain perkuliahan, aku aktif mengikuti kegiatan organisasi dan seni. Satu hal yang terus kutekuni dan kuperjuangankan walau kini aku sudah bekerja sebagai abdi negara adalah giat dalam kegiatan peduli baca atau bahasa kekiniannya kegiatan “giat literasi”.

Betapa suatu anugerah ketika aku berkecimpung dalam dunia literasi ketika hobi membacaku dapat kutularkan kepada anak-anak di derah lain bahkan masuk dalam sendi hidup keluarga kami. Kala itu, kegiatan literasi hanya sebagai syarat untuk aku mengikuti ujian akhir semester di salah satu mata kuliah di jurusan, tak sangka dalam kegiatan studi lapangan tentang minat membaca membuatku melihat kenyataan pahit di lapangan di mana sebagian besar masyarakat kita berada di fase “amat sangat rendah minat bacanya”.

 

Masyarakat kita masih suka mendengar kabar burung atau gosip ketimbang mencari fakta dengan membaca atau berusaha mencari referensi yang pasti walau sudah masuk dalam era modern di mana informasi bisa didapatkan di mana saja. Hatiku tergerak tatkala melihat anak-anak di beberapa daerah tidak bisa membaca padahal sudah di tingkat SD. Hal itu yang membuatku tergerak untuk bekerjasama dengan beberapa relawan di beberapa daerah (lebih tepatnya kawan-kawanku di beberapa daerah) untuk membangun taman baca atau mengirimkan buku-buku yang kami kumpulkan untuk menjadi bahan bacaan di Perpustakaan Kantor Kepala Desa atau Kantor Kelurahan.

Usaha yang kulakukan ini awalnya dianggap “aneh” oleh keluargaku namun berbekal kesabaran dan semangat, adik-adikku ikut menjadi relawan untuk mengumpulkan atau menggalang buku-buku bekas layak baca dari teman, kerabat, tetangga di Jakarta. Berbekal koneksi kami di beberapa daerah yang membutuhkan buku, aku mengirimkan buku-buku tersebut. Bahkan, beberapa mantan siswaku ketika aku mengajar mereka dulu, membangun beberapa perpustakaan/rumah baca di desa-desa dimana mereka Praktik Kerja Lapangan dari universitasnya masing-masing dan kami bekerja sama untuk menggalang buku demi terbentuknya perpustakaan yang dapat dimanfaatkan masyarakat desa.

Mata kuliah yang hanya didapatkan di Jurusan Bahasa Indonesia menjadi jalan untukku berkarya. Keluargaku yang awalnya berstigma negatif dan memandang sebelah mata jurusanku, kini mulai menoleh dan mendukung karyaku. Bahkan, berkat kuliah di jurusan yang mempelajari teknik menjadi pembawa acara, pengisi suara, dan penulis artikel atau karya sastra lainnya membuatku mampu menulis beberapa cerita anak yang terbit di koran nasional, menjadi pembawa acara di beberapa acara besar yang mengundang Menteri bahkan Wakil Presiden sebagai tamu kehormatan di kantor, menjadi pemandu acara di beberapa kegiatan di mall atau pesta yang membuatku dapat menyalurkan ilmu yang pernah kudapatkan ketika kuliah dan kusadari semua ini dapat terjadi karena hasil kerja keras pembuktian.

Aku bukanlah perempuan yang pintar dalam eksak maupun ilmu pasti lainnya. Aku hanyalah perempuan, anak, dan kakak yang hanya ingin membuktikan dan menjadi panutan walau dengan jalan dan cara unik yang berbeda. Aku harus belajar untuk tegar walau berbeda jalur dan menjalani bidang yang tak biasa. Kini, aku menekuni bidang yang sangat kucintai, bidang literasi walau kini hanya mampu membantu anak-anak Indonesia di beberapa daerah dengan menggalang penyumbangan buku-buku untuk bahan bacaan mereka agar generasi Indonesia menjadi generasi milenial yang melek baca dan bijak.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading