Sukses

Lifestyle

Perempuan Dilahirkan Istimewa dengan Tugas dan Tanggung Jawab Mulia

Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya kekuatan untuk mengatasi setiap hambatan dan tantangan yang ada. Bahkan dalam setiap pilihan yang dibuat, perempuan bisa menjadi sosok yang istimewa. Perempuan memiliki hak menyuarakan keberaniannya memperjuangkan sesuatu yang lebih baik untuk dirinya dan juga bermanfaat bagi orang lain. Seperti tulisan dari Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Voice Matters: Setiap Perempuan adalah Agen Perubahan ini.

***

Oleh: Niny - Sambas

Ibuku, Tokoh Perempuan Idolaku

Perempuaan adalah makhluk yang paling mulia. Betapa tingginya kedudukan perempuan dalam agama Islam, dalam berbangsa maupun bernegara, dalam kehidupan ini tak bisa kita sanggah lagi. Surga saja ada di telapak kaki seorang ibu. Sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah istri yang salihah. Kesuksesan seorang laki-laki saja ada perempuan di sampingnya entah itu ibu, istri, anak perempuan, siapapun itu. Maju mundurnya suatu negara juga ditentukan oleh perempuan.

Suatu pemikiran yang salah besar jika masih ada yang merendahkan, meremehkan seorang perempuan. Apa lagi jika masih ada budaya yang menganggap perempuan itu tempatnya adalah di dapur dan kasur. Perempuan dilahirkan dengan istimewa dengan tugas dan tanggung jawab mulia, dan sudah sewajarnya juga mendapatkan tempat yang mulia. Dibalik kelembutannya, ada ketegasan, keberanian, dan kekuatan yang luar biasa dari perempuan yang bisa diberdayakan untuk mengubah dunia. Oleh karena itu perempuan adalah agen perubahan yang bisa mengubah hidup ini.

Aku sebagai seorang perempuan, yang terlahir dari rahim seorang perempuan yang luar biasa. Jika ditanya tokoh perempuan idolaku, yang menginspirasi setiap langkah hidupku, jawabanku adalah Ibuku.

Sosok perempuan yang setiap saat kupanggil ibu, yang melahirkan dan membesarkanku adalah anugerah terindah. Kisah ibu sangat dramatis namun berkat kesabaran, kegigihan, dia bisa mengubah hidupnya dan memberikan banyak manfaat bagi dirinya, keluarga dan lingkungannya. Itulah yang kukagumi dari ibu.

Ibuku seorang yatim piatu, yang dibesarkan dengan belas kasihan saudara dan keluarganya. Mendengar ceritanya air mataku mengalir sendirinya. Di masa kecilnya, ibu hanya punya dua helai baju yang dipakai bergantian. Saat lebaran saja, teman-temannya pakai baju baru, dia memakai baju yang dijahitkan kakaknya dari sisa-sisa kain perca. Itu pun katanya sudah sangat senang sekali. Di sekolah, dia selalu di-bully oleh teman-temannya. Tapi ibu pantang menyerah. Seberat apapun hidupnya, kadang makan nasi, kadang makan ubi, dia lalui dengan penuh sabar. Lelah mengayuh sampan menyusur sungai demi pendidikan, rela berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk bisa menggapai cita-citanya menjadi seorang guru. Mendidik anak-anak di pedalaman tanpa pamrih, dengan gaji yang tak seberapa. Berbagi dengan saudara-saudara yang membutuhkan bantuannya. Dan saat aku dan adikku ada, kami buah hatinya adalah kekuatannya. Ibu menjalankan perannya dengan sangat baik sebagai seorang perempuan yang berkarier sebagai guru, sebagai istri, ibu, menantu, adik perempuan.

 

Ketika aku beranjak remaja, ibu mengatakan padaku bahwa sebagai seorang perempuan kita harus serba bisa. Tidak hanya pintar di sekolah, punya karier dan prestasi cemerlang, tapi nanti kamu juga akan jadi istri dan ibu dari anak-anakmu, jadi kamu tidak hanya belajar materi pelajaran di sekolah untuk mencapai cita-citamu, tapi urusan di rumah harus juga kamu pelajari mulai saat ini. Ibu selalu membangunkanku ketika azan subuh berkumandang.

Nilai keagamaan adalah pondasi utama yang ia tanamankan padaku. Ibu juga menanamkan kedisiplinan dan tanggung jawab padaku, setiap harinya selesai salat subuh, tugasku adalah menyapu dan mengepel lantai, sementara ibu menyiapkan sarapan. Ibu akan sangat marah jika kami melewatkan sarapan. Waktu sarapan adalah awal kebersamaan keluarga kami mengawali hari.

Sepulang mengajar, ibu langsung ke dapur menyiapkan makan siang, setelah istirahat sebentar, ibu dan ayah langsung ke ladang. Perannya berganti sebagai petani. Malam harinya sambil nonton TV, kami membungkus es lilin dan membuat donat untuk dijual di kantin sekolah. Ibu mengatur rumah tangga dengan baik sekali, termasuk soal keuangan.

Setiap bulan, kami bersama-sama membagi-bagi uang gaji ayah dan ibu. Ada beberapa amplop yang bertuliskan berbagai keperluan, mulai dari amplop tagihan listrik, barang dapur, transportasi, uang jajan anak, arisan, asuransi pendidikan anak, tabungan, keperluan tak terduga, zakat profesi. Jadi kami mengetahui detail setiap pemasukan dan pengeluaran keluarga kami. Dan ibu mengaturnya dengan sangat baik.

Kesabaran ibu diuji lagi ketika ayah menderita gagal ginjal. Berbulan-bulan ibu absen dari tugasnya sebagai guru, dengan setia menjaga ayah. Hingga ayah meninggal. Kondisi keluarga kami berantakan. Hubunganku dengan adikku tak harmonis. Ibu terlihat hilang kekuatannya, tapi ibu orang sangat sabar.

Dan kali ini, aku yang mengambil alih beberapa peran ibu. Aku yang sudah cukup dewasa, harus memutuskan banyak hal baik mengenai keluargaku, karierku, pengabdianku. Apa yang dulu pernah ibu katakan, saat inilah aku melakukannya. Ibu telah mendidikku untuk menjadi perempuan yang serba bisa. Kini aku mewarisi profesi ibu, aku juga menjadi seorang guru. Sebelumnya aku berniat untuk bekerja di Papua, tapi ibu bersisi keras memintaku kembali dan menjadi guru di sekolah yang tak jauh dari rumah kami.

 

Pengalamanku mengajar pertama kalinya di sekolah swasta yang antara ada dan tiada. Sekolah yang serba terbatas. Gedung sekolahnya saja berdindingkan dan berlantaikan papan, kursi dan meja yang sudah banyak tak layak pakai untuk anak SMA. Aktivitas pembelajaran bermula dari pukul 13.00 – 17.00.

Siswanya pada umumnya adalah anak-anak yang pada pagi harinya bekerja, ada yang mengasuh anak, ada yang jaga toko, pencuci motor, penoreh karet. Mereka datang ke sekolah kadang sudah merasa lelah, di jam siang tak jarang ada yang tidur di kelas. Usia mereka ada yang lebih tua dariku pada waktu itu. Karena aku cukup muda, aku lulus kuliah di usiaku 21 tahun. Mereka tak segan denganku, ada yang memanggilku kakak, sayang. Namun aku berusaha, memenangkan hati mereka. Jika mereka suka denganku, mereka akan suka dengan apa yang aku ajarkan.

Supaya mereka suka dan menyenangiku dan pelajaranku, aku membuat model pembelajaran yang tak biasa. Dengan serba keterbatasan, buku pun tak ada, aku membuat pembelajaran yang menyenangkan, dengan mencipta lirik lagu tentang materi pembelajaran dan menyanyikannya di kelas, bermain peran, demonstrasi, mengajak mereka ke lapangan saat sore hari mengamati atau mengobeservasi lingkungan sekitar. Aku membangun kedekatan dengan siswa-siswaku.

Sebagai seorang guru yang telah dibekali psikologi pendidikan dan perkembangan peserta didik, aku menerapkan ilmu itu saat aku juga harus menyelesaikan masalah-masalah siswaku.Mendengar curhatan anak-anak yang hanya beda beberapa tahun denganku, memberikan pengalaman baru bagiku. Ternyata masalah-masalah mereka cukup berat dan aku juga kadang galau dibuatnya. Masalah keluarga, ekonomi, pergaulan sosial, hubungan asmara.

Satu hal yang tak pernah kulupakan, ketika siswaku selalu curhat kehidupan keluarganya. Ibunya sudah meninggal, sebagai anak pertama dia menjaga adiknya. Sementara ayahnya harus bekerja pagi sampai sore baru pulang. Dia memintaku untuk menjadi istri ayahnya, ibu tiri baginya. Hal yang konyol tapi membuatku senyum dan tersentuh mengingat hal itu.

Tanggung jawab besar dalam mengambil keputusaan keluarga setelah ayah tiada diserahkan kepadaku. Aku harus mengurus ibuku yang banyak berdiam diri setelah kehilangan ayah. Sikap adikku yang juga masih belum bisa terbiasa dengan kehidupan kami yang berubah setelah tidak ada ayah.

Di samping tugasku sebagai guru yang harus mengajar dan mendidik di beberapa sekolah, sepulang ke rumah aku harus berperan sebagai kepala rumah tangga. Tapi aku percaya dan yakin aku bisa melewatinya. Ibuku mengatakan padaku aku harus lebih baik daripadanya. Seiring berjalannya waktu, kehidupan keluarga kami kembali normal. Kondisi keuangan kami pun lebih stabil. Aku tak perlu lagi harus banting tulang mengajar di berbagai sekolah, memberikan bimbel, berjualan, menenun kain.

Kerja keras dan kesabaran serta kebersamaan kami berdua, aku dan ibuku, kini membuahkan hasil. Ibuku kini bisa dengan bangga menatapku. Seorang putri yang ia lahirkan, ia besarkan, ia didik, kini menjadi seorang perempuan yang mandiri dan tangguh di lingkungannya. Berkat dedikasiku, aku telah mejadi guru yang profesional.

Aku juga ikut andil dalam membantu UMKM di desa kelahiranku. Aku mengurus properti yang ditinggalkan ayah. Bersama ibu, kami sebagai perempuan yang telah melewati masa-masa sulit kami. Ibu masih tetap berpesan padaku, teruslah jadi perempuan yang tangguh, mandiri, dan sempurnakan dirimu dengan menjadi istri juga ibu yang melahirkan anak-anak yang sholeh dan salihah dan mampu berdayaguna dalam kehidupan.

Baik tidaknya seorang anak, lahir dan tumbuh kembangnya, sangat bergantung pada kualitas perempuan yang menamakan dirinya ibu. Perempuan yang bergelar ibu, dialah yang akan mengubah dunia ini menjadi lebih baik jika dia mampu membuat dirinya menjadi terbaik, dan menularkan pengetahuan dan keterampilannya pada anak-anaknya sehingga menjadi generasi anak bangsa yang terbaik.

 

 

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading