Sukses

Lifestyle

Debut Joko Avianto Buat Instalasi Pakai Bambu Eco Faux di Casa Indonesia

Fimela.com, Jakarta Seniman Joko Avianto sudah 13 tahun membuat karya menggunakan bambu. Kali ini ia ditantang untuk membuat instalasi seni dengan material menyerupai bambu yaitu bahan eco faux di ajang CASA Indonesia 2019. 

Pematung yang karya populernya dapat kita lihat di depan Bundaran HI ini pun menyambut baik ajakan kerja sama dari Viro tersebut. Viro merupakan perusahaan penyedia solusi material inovatif untuk desain arsitektural dan interior. 

Joko pun menganalogikan jika debut menggunakan eco faux baginya seperti perpindahan dari kamera analog ke digital. Ia pun terjun langsung ke pabrik Viro dan melihat sendiri bagaimana perusahaan anak negeri ini membuat material yang disebutnya 80% menyerupai bambu asli. 

Ia pun menantang balik Viro untuk merealisasikan modul bambu yang pertama kali dibuatnya 13 tahun lalu. Sebab sejak 13 tahun lalu hingga kini, modul yang sedang menuju proses dipatenkan itu tak pernah berubah bentuknya. 

 
 
 
View this post on Instagram

Late nite weaving @casaindonesia

A post shared by Joko Avianto (@jokoawi) on

Gandeng Desainer dan Seniman

"Saya datang ke pabriknya bawa model bambu yang sudah di-slice berbentuk ruas dan buku. Setelah dicoba bisa dan look-nya berhasil. Awalnya saya sempat ragu bisa switch dari material alam ke material industrial, ternyata bisa," ujar Joko Avianto saat berbincang dengan Fimela di Ritz Carlton Pacific Place, Kamis (2/5).

Viro yang dikenal sebagai pemasok material inovatif yang sudah bergigi di luar negeri memang berambisi menjajaki industri seni instalasi kontemporer. Wujud konkretnya yaitu dengan mengajak seniman dan desainer untuk terlibat dalam proses kreativitasnya.

"Menggandeng desainer dan seniman adalah strategi kami untuk berkompetisi di industri ini. Sebab kreativitas manusia merupakan hal yang tak bisa digantikan oleh teknologi canggih bahkan robot," timpal Executive Vice President PT Polymindo Permata Johan Yang.

Maka lewat kreativitas Joko Avianto, ia membuat instalasi berjudul Cloud. Cloud merupakan bagian dari seri karya “The border between good and evil is terribly frizy” yang sebelumnya dipamerkan di Yokohama Triennale, Jepang pada 2017.

Dalam instalasi berwarna cokelat pekat itu, ia menggambarkan awan berbentuk pari pecut di Shimenawa, Jepang dalam bentuk empat panel yang membingkai ketidakteraturan menjadi keindahan.

 

 
 
 
View this post on Instagram

THE CLOUDS Sebuah kolaborasi Viro dan Joko Avianto. Merupakan bagian dari seri karya “The border between good and evil is terribly frizy” yang sebelumnya dipamerkan di Yokohama Triennale, Jepang pada 2017. Perubahan bentuk awan tidak sekonstan perubahan yang terjadi pada sebuah ide dan bahasa. Bentuk awan berubah sejalan dengan persepsi manusia yang dinaunginya, kadang kita melihat bentuk binatang, bentuk manusia, huruf atau hal lainnya. Awan meneduhi ketika langit sedang terik, menjanjikan kesegaran dengan hujannya saat langit kelam. Bagi gunung Semeru (menurut kepercayaan Shinto–misalnya), awan merupakan batas antara dunia manusia dan dewa-dewa, batas antara kekhilafan dan keabadian. Maka, apakah yang kita cari dalam imaji-imaji awan merupakan suatu kebenaran objektif atau hanya suatu keinginan untuk memenangkan argumen-argumen? Mengapa coklat? coklat merupakan warna natural unsur tanah yang dianalogikan sebagai warna manusia. Awan yang kita lihat sehari-hari menceritakan kegiatan manusia-manusianya, karena apa yang terjadi di langit merupakan hasil dari kegiatan manusia-manusia di bawahnya”. #viroworld #jokoavianto #ecofaux #seniinstalasi #artwork #casaindonesia2019 #seniman #pematung #karyainstalasi @jokoawi

A post shared by Virobuild (@virobuild) on

Kezia Karin

Selain menggandeng Joko Avianto, Viro juga kembali berkolaborasi dengan desainer interior ternama Kezia Karin. Kerja sama kelima kalinya ini menyuguhkan konsep segar dari eksplorasi eco faux yang dijadikan sebuah karya seni yang tak terprediksi.

Bentuk baru yang belum pernah dibuat sebelumnya oleh Karin ataupun Viro. Ia membawa eco faux lebih jauh lagi lewat proses merajut berkonsep makrame atau mengayam.

Ia pun mengejawantahkan arsitektur nusantara lewat pantai, lautan, dan pesisir. Permainan warna kuning yang melambangkan pasir, serta gradasi biru dan hijau yang mewakili air laut menghasilkan instalasi yang cantik dan modern.

"Sebelumnya saya sudah buat 5-6 project bersama Viro dan kebanyakan untuk furniture. Kali ini saya buat instalasi seni tak biasa yang juga terinspirasi dari isu sampah plastik sekali pakai yang berdampak pada mahluk hidup di laut serta masyarakat pesisir," sambung Kezia.

Bertahan Hingga 20 Tahun

Lewat karya seni, Viro dan semua yang berkolaborasi juga ingin membangun kesadaran untuk semakin peduli pada lingkungan. Seperti inovasi produk Viro yang terus meminimalisir dampak buruk pada lingkungan.

Eco faux sendiri misalnya, memiliki masa pakai hingga 20 tahun dan dapat didaur ulang hingga tujuh kali pemakaian. Kelebihan lain eco faux adalah material lebih ramah lingkungan karena terbuat dari gabungan serat berbahan high-density polyethylene (HDPE) dan bahan natural dengan mineral alami.

Kamu bisa melihat kedua karyanya ajang Casa Indonesia 2019 Ballroom Hotel Ritz Carlton, Pacific Place. Booth Joko Avianto bisa ditemui  di area Designer's Booth. Dan keindahan booth Viro yang mencerminkan akulturasi busaya pesisir dan keindahan biota laut berlokasi di L10 mulai 2-5 Mei 2019.

 
 
 
View this post on Instagram

[2]. These culture acculturation then impacts on the coasts’ architecture, mainly on its form, layout, and dimension. The coastal architecture mirrors and resembles a mixture of local and the specific characters of overseas cultures ( Chinese, Arabian and Dutch) influences. One of the main structural characteristics of this architecture is the vertical distribution of the building and its Vernacular form, which is the extreme height of the architecture. . Translating these characteristics to the artwork, we portray the wide variety of coastal architectures into diverse play of colors, levels, heights, and materials. Yellow being an accent color in our artwork took form from our inspiration of one of the vertical distribution of coastal architecture, which consists of a top, middle, and bottom. The top is the most sacred place in the architecture, used to be occupied by valuable possessions. Thus yellow becoming the reinterpreted symbol of this valuable area. The diversity of architectural forms reflects on the shapes and forms of our artwork, using variaty of forms forming the nodes and weave patterns as symbols to the variety of forms. The wide and depth expanse of our ocean mirrors itself within the colors and gradients of blue and green. . Using our part and voice to fight the current issue with the plastic waste concern , VIRO as our main material source, using it’s synthethic quality, eco-friendly and durable, but non-toxic and cause environmental damage as plastic. . This becomes our inspiration to create this artwork, in which we called: The Nusantara Coasts. #viroworld #virobuild #casaindonesia #kluegelighting #keziakarin #artinstalation #instalasiseni #architect #interiordesign #sustainable

A post shared by Virobuild (@virobuild) on

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading