Sukses

Lifestyle

Berusaha Tegar sebagai Single Mom di Tengah Luka yang Tak Pernah Sembuh

Fimela.com, Jakarta Punya cerita mengenai usaha memaafkan? Baik memaafkan diri sendiri maupun orang lain? Atau mungkin punya pengalaman terkait memaafkan dan dimaafkan? Sebuah maaf kadang bisa memberi perubahan yang besar dalam hidup kita. Sebuah usaha memaafkan pun bisa memberi arti yang begitu dalam bagi kita bahkan bagi orang lain. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela: Sambut Bulan Suci dengan Maaf Tulus dari Hati ini.

***

Oleh: Yola Widya - Bandung

Tiada yang Sempurna

Hidup penuh dengan keajaiban dan rahasia, demikian juga dengan hidupku. Siapa yang mengira jika kehidupan yang asalnya biasa saja tiba-tiba harus berubah menjadi penuh luka. Aku sebagai seorang single mom berupaya untuk tetap tegar di tengah luka yang tak pernah sembuh. Cinta bagiku sebenarnya sesuatu yang suci dan harus dijunjung kesuciannya, karenanya ketika pasangan menodainya, hatiku begitu terluka karena pengabdian selama ini diabaikan. Jadilah aku wanita yang tak memercayai lagi ketulusan itu ada di dunia ini. Ketika berbagai cerita kemudian datang dan pergi, aku pun semakin yakin ketulusan itu tak ada.

Keluargaku menginginkan diri ini bangkit dengan segera dari keterpurukan dan berupaya untuk mandiri setelah perceraian. Oh, seandainya aku bisa menjelaskan, aku pun ingin berkata kalau aku ingin mandiri dan tidak merepotkan siapapun. Sayangnya, sisi psikologisku belum sembuh total ketika segala tuntutan itu datang, dan itu pula yang menyebabkan kelak aku terjerembab dalam hitamnya kehidupan. Aku yakin, keluarga bermaksud baik agar aku cepat mandiri, hanya saja mereka tidak pernah memberikan kesempatan untuk menyembuhkan luka terlebih dahulu, dan tuntutan mereka itu ternyata menimbulkan luka baru di diri ini.

Luka yang lain timbul ketika rumah tangga keduaku juga hanya bertahan 7 tahun. Keganjilan selama berumahtangga membuatku menutup mata pada kenyataan sebenarnya. Aku tak ingin pernikahanku hancur kembali, karena sebenarnya yang aku inginkan hanyalah kebahagiaan dalam berkeluarga.

Sayangnya, semua sifat asli suami kedua terungkap ketika aku jatuh sakit dan memutuskan untuk berhenti bekerja. Dunia benar-benar terasa hitam bagiku waktu itu, karena ternyata dia menolak untuk bertanggung jawab pada kami. Apa yang selama ini dikatakan keluargaku ternyata benar, terutama setelah kemudian dia pergi meninggalkan aku dan anak-anak. Kembali luka baru menoreh hatiku ketika ternyata keluarga pun marah atas keputusanku berhenti bekerja, mereka menganggapku egois tidak memedulikan anak-anak. Padahal kenyataan yang sebenarnya aku ingin sembuh, karenanya memutuskan resign. Rasa marah pun mulai menguasaiku karena merasa tidak ada yang peduli dengan semua penderitaan yang aku tanggung.

Kembali luka menghujam diri ketika anak bungsuku dengan besar hati memutuskan ikut dengan ayahnya. Tidak ada yang lebih membuat terluka selain ditinggalkan penyemangat hidup, dan itu adalah anak keduaku. Hidup terasa hampa dan tanpa tujuan setelah berpisah dengannya. Penyakitku mulai membuat semakin terpuruk, dan aku putus asa.

 

Berusaha Menyembuhkan Luka

Kemudian aku mendapati kalau rasa sakit yang aku derita terasa ringan jika menulis. Akhirnya, aku mulai menerapi diri sendiri dengan tulisan, dan mulai membaur dengan dunia literasi. Sayangnya, di tengah segala keterbatasan ekonomi, upayaku untuk bangkit dari putus asa dengan menulis tidak mendapat banyak dukungan, terutama keluarga. Menurut mereka aku hanya membuang-buang uang. Bahkan, aku merasa disepelekan oleh mereka yang sudah terlebih dahulu terjun dalam dunia literasi, dengan kata lain aku dikucilkan. Perlakuan mereka membuatku di ambang putus asa lagi, dan sempat ingin berhenti menulis.

Ketidakadilan bertubi yang aku rasakan hampir membuat tak ingin lagi menatap hari baru. Hingga kemudian ramadan tahun ini tiba. Aku ingin ramadan ini penuh arti, dan paham harus memulai segalanya dengan hal yang baik pula. Aku tahu sesuatu yang suci harus dimulai dengan hati yang suci. Aku mulai menelaah diri dan menyadari semua yang aku alami bukan untuk membuatku terjebak dalam rasa bersalah.

Masa lalu adalah untuk becermin, sedangkan masa yang akan datang adalah harapan. Aku harus mulai memaafkan diri sendiri dari rasa bersalah karena tidak bisa bertahan dari penyakit hingga keluar kerja. Dari rasa bersalah karena tidak bisa mempertahankan anak bungsuku. Dari rasa bersalah karena begitu lemah menjalani hidup. Aku harus mulai memaafkan semuanya, mantan suami yang mungkin waktu itu masih belajar bertanggung jawab, keluarga yang sebenarnya ingin aku mandiri tapi dengan cara yang salah, hingga menjadi tekanan bagiku. Belajar menerima pekerjaan baru yang tidak disukai, dan aku marah pada diri sendiri karena tidak mencoba mencari pekerjaan lain.

Terus Memperbaiki Diri

Ramadan membuatku paham hal inti yang ingin disampaikan kehidupan, pesan yang Allah selipkan dalam setiap kejadian. Bersabar dan bersyukur, sepertinya kurang pemahaman akan dua hal ini yang sering membuatku menyalahkan diri sediri dan orang lain. Ya, Allah menggemblengku untuk sampai pada tingkat kesabaran tertentu. Terutama Dia selalu menyentilku agar tidak lupa untuk bersyukur.

Aku ingin ramadan kali ini penuh arti, dan mulai belajar memaafkan semua hal yang terasa tidak sesuai di hidupku. Aku mulai belajar terbuka dengan keluarga, dan berusaha mendengarkan apa yang mereka inginkan. Aku berusaha untuk tetap semangat bekerja agar janji untuk menjemput anak keduaku bisa dipenuhi. Dan aku mencoba untuk terbuka dengan orang-orang sekitarku untuk belajar jikalau ketulusan itu masih ada.

Memaafkan segala hal menurutku termasuk dalam bersyukur. Allah berjanji akan mencukupi hambanya yang pandai bersyukur. Aku bersyukur masih memiliki keluarga yang peduli, memiliki pekerjaan. Bersyukur memiliki kemauan sembuh dengan menulis hingga melahirkan karya-karya.

Bersyukur karena kini telah yakin dengan tujuan yang ingin dicapai, yakni berkeluaga dan berkumpul lagi dengan anak-anak. Aku bersyukur ramadan kali ini mengajarkan banyak hal padaku untuk lebih bijaksana. Memaafkan ternyata lebih mudah daripada memusuhi, demikian pula mencintai lebih mudah daripada membenci. Aku bersyukur dengan belajar memaafkan jadi lebih paham bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Manusia memang hakikatnya tempat berbuat salah dan berkeluh kesah. Dan tugas kitalah untuk terus memperbaiki diri. Semoga Allah memberikan kemudahan padaku dan anak-anak, juga pada kalian semua.

Simak Video di Bawah Ini

#GrowFearless with FIMELA

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading