Sukses

Lifestyle

Hidup yang Tak Sempurna Bukan Alasan Berhenti Memperjuangkan Cinta

Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.

***

Oleh: Mur - Sukoharjo

Berbicara tentang persiapan pernikahan, pastinya hal ini menjadi salah satu momen tak terlupakan dalam hidupku. Suka duka dan jatuh bangun rela kulalui demi melegalkan hubungan percintaanku dengan pasangan saat itu. Menjalin pacaran selama hampir lima tahun pastinya semakin menguatkan kami untuk mengesahkannya ke lembaga pernikahan. Namun pada kenyataannya, untuk menuju ke arah itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Sejak awal menjalani masa pacaran, hubunganku dan pasangan memang tidak berjalan mulus. Aku tidak menyalahkan pasanganku. Justru aku sangat bersyukur mendapatkan pendamping yang begitu sabar dan ikhlas menerima keadaanku. Aku yang dibesarkan dari keluarga broken home, tentunya punya masa depan yang tidak sesempurna orang-orang pada umumnya. Ditambah lagi dengan hal buruk yang dibuat Bapakku di masa lalu menjadikan aku tumbuh menjadi anak yang banyak diremehkan oleh orang-orang disekitarku.

Aku selalu memahami bahwa menjadi aku telah menjadikanku sosok yang sensitif dan minder. Aku sempat berpikir, mungkin aku tidak akan pernah mendapatkan masa depan yang baik. Jadi tidak heran kalau aku tidak punya banyak pengalaman dalam berpacaran. Aku berpacaran serius hanya sekali. Itupun kuakhiri karena kurangnya rasa percaya diriku pada pasangan. Dan ketika aku kembali menjalin hubungan dengan seseorang, apalagi aku tau bahwa aku mendapat pasangan yang berasal dari keluarga baik-baik dan terhormat, aku seringkali ingin mundur saja karena aku merasa tidak pantas mendampinginya. Namun jiwa besar pasanganku kali ini telah menguatkanku untuk bertahan dan akhirnya kulalui sampai hari di mana aku memberanikan diri melamarnya.

Hari pertama setelah aku melamarnya aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan. Terus terang aku seperti anak ayam kehilangan induk. Sejak Ibu meninggal bertahun-tahun yang lalu, dan kemudian Bapak menikah lagi dan hidup dengan keluarga barunya, aku yang hanya tinggal bersama dua saudaraku kehilangan sosok orang tua sebagai pembimbing. Meski aku punya banyak saudara yang berasal dari pihak Bapak maupun Ibu, kuakui mereka tidak bisa kuandalkan untuk sekadar berbagi nasihat untuk penyelenggaraan pernikahanku. Banyak di antara mereka yang menganggapku sebelah mata, ada juga yang terang-terangan tidak menyukai keberadaanku, dan sekalinya ada yang mau diajak bicara, mereka cuma bisa memberi masukan seadanya.

 

 

Berjuang

Hari pernikahan memang sudah ditentukan setahun setelah lamaranku diterima. Jangka waktunya memang lumayan lama. Tapi namanya waktu tetap saja berjalan terus dan bisa jadi tanpa terasa hari H sudah di depan mata. Saat itu aku merasa benar-benar sendiri. Aku tidak bisa mengandalkan kakak maupun adikku karena mereka juga tidak punya pengalaman dalam menyelenggarakan hajatan.

Kuakui satu-satunya orang yang bisa kuandalkan untuk berbagi rasa hanya calon istriku. Saat itu calon istriku memberi saran padaku agar aku berkonsultasi pada orangtuanya. Tapi kutolak. Jujur aku tidak mau menambahi beban calon mertuaku yang pastinya sudah sangat pusing mengurus pesta pernikahanku dengan anaknya. Apalagi mereka dari pihak perempuan. Pastinya segala macam acara adat sudah disiapkan dan bisa kubayangkan betapa mewahnya pesta itu akan dilangsungkan karena kebetulan calon istriku adalah anak tunggal.

Di tengah kegalauanku aku bersyukur Allah memberiku jalan. Aku menemui teman kerjaku yang ku”tua”kan di tempat kerjaku. Berharap aku bisa mendapat wejangan agar aku bisa melakukan sesuatu untuk pernikahanku. Dan benar saja, beliau dengan sabarnya memberiku arahan apa-apa saja yang sekiranya bisa kulakukan setelah ini.

Meski uang tabungan yang terkumpul sudah cukup untuk biaya pernikahan, namun aku tidak boleh takabur. Karena aku juga harus berpikir setelah menikah aku masih punya tanggungan seumur hidup untuk mencukupi biaya hidup keluargaku kelak. Oleh sebab itu aku mempersiapkan pernikahan dengan mencicil setiap bulan seusai aku menerima gaji. Aku sudah mencatat apa saja yang akan aku lakukan setiap bulannya. Mulai dari membeli seserahan, membeli mahar dan perhiasan, memesan katering untuk keluarga di rumah, mengurus surat-surat, membeli oleh-oleh untuk calon mertua, dsb. Begitu terus setiap bulan kucicil kebutuhan pernikahan sampai hari H. Semua harus serba sedikit-sedikit karena aku tidak mampu menwujudkan secara instan dalam satu waktu. Aku berusaha tidak memaksakan diri tetapi aku berusaha melengkapinya.

Ada kalanya rasa takut menghantuiku. Aku takut jika calon istri dan juga calon mertuaku meminta sesuatu yang lebih dariku. Ditambah lagi kalau aku ikut numpang tamu karena tidak ada acara ngunduh mantu di pihakku. Banyak pertanyaan yang kemudian timbul. Salah satunya bagaimana jika nanti calon mertuaku memintaku untuk berbagi uang gedung dan katering. Padahal aku hanya meminta 50 kursi saja untuk tamu dan keluarga. Ya mungkin saja aku bisa mengusahakan dengan mengajukan pinjaman. Tapi untuk sebuah pernikahan aku berharap tidak berutang pada siapapun.

Sabar Menghadapi Semua Kendala

Ternyata Allah Maha Adil. Segala ketakutanku tidak terbukti. Justru di tengah kegundahanku, calon istri dan calon mertuaku memberikan kemudahan bagiku. Ibarat kata aku seperti menemukan air di tengah gurun pasir. Mereka tidak menyulitkanku dalam masalah biaya. Mereka bilang padaku semampuku membantu, berapapun nominalnya mereka tidak masalah. Terus terang aku merasa tidak enak hati, namun ketulusan keluarga ini membuatku semakin bersemangat untuk menyongsong hari esok.

Kata orang, jika kita akan punya hajat, pasti ada saja kendalanya. Memang benar, satu masalah teratasi, muncul lagi masalah lain. Hari H yang semakin dekat ternyata semakin menguras energi. Tingkat sensitivitasku pun mulai meninggi. Mungkin karena aku stres dan juga capek. Ditambah lagi masalah administrasi surat-surat untuk syarat pernikahan yang ternyata terkendala data yang kurang jelas. Aku harus kembali bolak-balik mengurusnya karena ternyata ada masalah dengan akta kelahiranku. Kupikir tidak ada masalah di dalamnya karena sejak lahir aku tidak pernah tahu bagaimana sebenarnya hubungan pernikahan kedua orangtuaku. Dan kenapa baru kali ini dibahas. Saat hari pernikahan tinggal di depan mata.

Emosiku kembali terkuras ketika aku tahu bahwa orangtuaku selama ini tidak pernah menikah secara legal. Hanya pernikahan siri saja. Saat aku bertanya pada Bapak, Bapak masih saja mencoba menutupi dengan alasan surat nikahnya hilang terbawa banjir. Aku sempat emosi pada Bapak kenapa harus menutupi toh kenyataannya tidak ada surat nikah itu. Aku sempat marah pada Bapak untuk tidak menghalangi pernikahanku karena selama ini aku dewasa tanpa Bapak dan aku akan menikahi wanita yang kucintai tanpa boleh digagalkan oleh Bapak. Sejak saat itu aku berusaha melengkapi surat-surat yang dibutuhkan pihak KUA. Aku mondar-mandir mengurus semuanya sendirian sampai kurasakan kesehatanku yang mulai menurun.

Di ujung lelahku aku merasa emosiku semakin labil. Aku menjadi orang yang tiba-tiba temperamental dan suka marah-marah tanpa sebab. Terus terang aku kasihan dengan calon istriku yang sering kena pelampiasan amarahku bahkan aku sempat menyerah dan meminta padanya agar pernikahan ini dibatalkan saja. Untungnya dia sangat sabar ketika menghadapi aku. Dia tidak pernah menanggapi emosiku dengan emosi juga. Dia justru yang menenangkan dan memotivasiku untuk terus berjuang.

Kukira semakin dekat dengan hari H semua urusan akan semakin mudah. Nyatanya aku masih harus menghadapi kesulitan yang harus kuselesaikan dengan segera. Semua hal harus kuhadapi sendiri. Terlebih ketika aku harus berhadapan dengan saudara dari pihak Bapak maupun Ibu yang akan kumintai bantuan. Ternyata hanya beberapa saja yang mau membantuku dengan ikhlas. Selebihnya ogah-ogahan dan cenderung cuek. Kadang aku berpikir apa salahku? Apakah karena kelakuan orangtuaku di masa lalu telah menjadikan mereka berpikir bahwa aku tidak pantas untuk sukses ataupun bahagia.

Aku mencoba untuk selalu bersabar dalam menghadapi kendala apapun. Setiap pulang kerja aku menyempatkan diri mendatangi rumah-rumah tetangga untuk meminta bantuan untuk acaraku besok. Karena di dalam acara pernikahan pastinya kita akan melibatkan banyak orang untuk membantu kita. Meskipun di tempatku tidak diadakan acara apapun namun di tempat calon istriku diadakan lamaran dan pengajian juga. Otomatis aku harus mempersiapkan panitia kecil dan mengundang beberapa orang agar bisa hadir dalam acara tersebut. Tanpa kehadiran orangtua sebisa mungkin aku menyelesaikan setiap urusan pernikahan secara mandiri.

Dimudahkan

Ternyata ujian tidak berhenti sampai di situ saja. Ketika hari H tinggal sehari, sepupu yang kuminta menjadi waliku saat acara lamaran tiba-tiba membatalkan diri dengan alasan ada acara mendadak. Entahlah itu alasan sebenarnya atau hanya dibuat-dibuat. Rasanya seperti ingin menangis sekencang-kencangnya meski aku seorang pria. Malam yang seharusnya bisa kugunakan untuk beristirahat dan mempersiapkan mental untuk acara tiba-tiba berubah menjadi acara pontang-panting di mana aku harus mencari pengganti orang yang bisa menjadi waliku saat lamaran.

Dan benar jika Allah itu Maha Baik. Di tengah ujian yang selama ini kuhadapi akhirnya aku bisa memberikan sesuatu yang lebih dari yang kuduga pada hari pernikahanku. Semua itu berkat bantuan orang-orang yang masih peduli dengan kondisiku. Dan meski aku tampak kurus dan tidak terawat, yang terpenting acara lamaran dan pengajian berjalan dengan lancar. Dan pagi harinya saat acara ijab qabul aku bisa melafalkan dengan satu tarikan nafas. Semua itu sebagai bukti keseriusanku untuk menjadi imam bagi pasanganku.

Begitulah kira-kira ceritaku tentang repotnya mengurus pernikahan. Bagiku mungkin berat dan berliku karena mungkin aku salah satu orang yang dilahirkan tidak sesempurna kebanyakan orang di luar sana. Tapi satu hikmah yang bisa kupetik dari semua ini adalah bahwa pernikahan benar-benar hal yang sakral. Karena lika-likunya telah mengajarkan kita bahwa kebahagiaan harus dipertahankan sampai menutup mata.

#GrowFearless with FIMELA

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading