Sukses

Lifestyle

Jadi Perdebatan, Berikut Kelanjutan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Fimela.com, Jakarta Penulis: Gabriel Widiasta

Pada pertengahan 2016, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RUU PKS) diajukan oleh Komnas Perempuan. Tujuan dari RUU PKS adalah menciptakan paradigma (pola pikir) baru mengenai kekerasan seksual terhadap perempuan serta penanganan yang dianggap tepat.

Komnas Perempuan selaku penggagas RUU PKS beranggapan bahwa undang-undang yang ada belum optimal untuk menyelesaikan kasus kekerasan pada perempuan. Sebagai contoh, makna perkosaan yang dianggap hanya sebatas hubungan seksual antara perempuan dan pria yang dilakukan secara paksa.

Kemudian diperjelas definisi kekerasan seksual yaitu "setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik."

Menurut Komnas Perempuan, perkosaan lebih dari sekedar itu. Apapun bentuk pemaksaan bentuk berhubungan badan, bisa dianggap sebagai perkosaan. Dalam rancangan yang dicantumkan pada website Komnasperempuan.go.id, RUU PKS bertujuan menjelaskan segala bentuk kekerasan perempuan, pencegahan dan pemulihannya.

Dukungan dan Penolakan RUU PKS

Ditengah upaya pengesahannya, RUU PKS menuai banyak reaksi. Dalam draft RUU PKS memang disebutkan banyak hal-hal baru seperti definisi kekerasan seksual, penggunaan alat kontrasepsi, dan prosedur aborsi.

Penolakan keras dilakukan baik oleh kelompok seperti Aliansi Gerakan Peduli Perempuan, maupun tokoh publik seperti Teuku Zulkarnain selaku Wakil Sekretaris Jendral MUI. Penolakan dari pihak-pihak ini dengan alasan seperti bertentangan dengan norma, melegalkan prostitusi/aborsi/LGBT, dalam pernikahan tidak ada perkosaan dan dianggap menjerumuskan masyarakat ke budaya yang tidak baik. Terakhir, gerakan secara masif dilakukan di Bundaran HI tanggal 14 Juli 2019. Dilansir Liputan6.com, mereka menamakan aksi ini dengan Aksi Bungkam Menolak Pengesahan RUU PKS.

Sedangkan dukungan datang dari Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan (JKP3), dilansir dari Tempo.ID. Dalam konferensi pers di LBH Jakarta (6/2/2019), salah satu aktivis, Ratna, beranggapan bahwa RUU PKS lahir dari pengalaman korban yang mengalami penderitaan berkepanjangan tanpa mendapatkan keadilan dan pemulihan, karena belum ada payung hukum bagi kasusnya. Dalam konferensi pers itu pula, ada upaya melawan hoax atau berita tidak benar mengenai RUU PKS.

Bagaimana Kabar Kelanjutan RUU PKS?

Kendati sudah memasuki tahap untuk pengesahan, RUU PKS masih menuai pro dan kontra ditengah masyarakat. Ketika masuk ke dalam pembahasan di tahun 2018, keputusan mengenai pengesahan ditargetkan akan selesai pada bulan Agustus, 2019. Hal ini disampaikan oleh KPAA. Vennetia R Danies selaku Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan berpendapat semakin lama disahkan, maka prosesnya akan semakin lama. "Target kami, Agustus sudah diratifikasi karena kalau kita menunggu Oktober, sudah lain lagi. Mulai dari bawah lagi," ujar Vennetia di kantor KPPPA, Jakarta Pusat, Jumat (22/2) dilansir CNN Indonesia.

Target ini tengah direalisasikan dengan upaya bertemu langsung dengan Komisi VIII DPR RI. Pertemuan ini memang sudah diagendakan pasca kelarnya rangkaian Pemilu 2019. Pemerintah melalui KPPA dan Komnas Perempuan beranggapan RUU PKS harus segera disahkan agar penerapannya bisa dilakukan, sehingga diharapkan angka kekerasan seksual menurun dan korban kekerasan seksual bisa dipulihkan.

#GrowFearless with FIMELA

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading