Sukses

Lifestyle

Jika Jodoh, Sejauh Apapun Berpisah akan Dipertemukan Kembali

Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.

***

Oleh: A - Bandung

Aku mempunyai kisah yang sangat unik dengan seseorang. Banyak yang bilang kisahku ini sudah seperti sinetron. Saat itu, baru setahun aku berpisah dengan mantan suamiku. Belum kering luka ini. Aku masih ragu untuk melangkah menuju pernikahan. Ibuku sudah beberapa kali mengenalkanku kepada sosok laki-laki. Namun tetap, aku belum mau menikah lagi.

Mengalami kegagalan dalam pernikahan memang cukup membuatku trauma. Aku ragu untuk kembali menjalin hubungan dengan laki-laki. Bahkan aku ragu suatu saat aku bisa jatuh cinta kembali. Apalagi setelah perceraian itu aku mengalami banyak kejadian tidak menyenangkan yang membuatku cukup trauma terhadap perlakuan laki-laki kepada seorang ibu tunggal sepertiku.

Pernah aku mendapat perhatian khusus dari keluarga temanku. Mereka sangat baik kepadaku. Aku diundangnya makan malam, anak-anakku diperlakukan dengan sangat baik, hingga aku pernah menginap di rumahnya bersama anak-anakku. Namun suatu hari, ayah temanku ini mengirim pesan SMS kepadaku. Ah aku jijik mengingatnya. Intinya, dia menyatakan cinta lewat pesan SMS itu kepadaku. Aku jadi insecure terhadap kebaikan orang kepadaku. Jangan-jangan ada maksud dibalik kebaikannya itu, seperti yang dilakukan ayah temanku kepadaku itu. Tidak ingin lagi aku menerima perhatian dari orang lain. Meskipun dia adalah orang yang kita kenal baik. Karena kita tidak tahu di balik kebaikannya ada maksud tertentu atau tidak.

Suatu hari, aku berkesempatan untuk mengerjakan sebuah project di Jakarta. Bosku mengutus salah seorang stafnya untuk menjemputku di stasiun. Setelah itu aku berteman baik dengan staf kepercayaan bossku ini. Ya, hanya berteman. Pertemanan yang cukup manis.

Sebut saja namanya Richie. Nama samaran. Tampangnya pendiam, dia juga kelihatan cukup santun. Mungkin itu yang membuatku merasa nyaman berteman dengannya. Karena aku yakin dia tidak akan kurang ajar kepadaku.

Bos mengutusnya untuk mencarikan aku tempat tinggal. Dicarikannya aku sebuah apartemen. Semua kebutuhanku selama di Jakarta, dia yang mengurus. Bahkan kulkas di apartemen rusak pun dia yang mengurusnya.

“Richie, kulkasnya rusak ya?” tanyaku iseng ketika itu. namun Richie menanggapinya cukup serius.

“Oh ya? Nanti aku cariin tukang service ya A,” katanya.

“Wah mau dibenerin nih kulkasnya? Kalau gitu, sekalian ya,” kataku.

“Sekalian apa?” tanya Richie.

“Sekalian isinya, hahaha...” candaku.

Richie membalas, “Oh, haha... nggak sekalian aja sama isi hatiku?”

Aku tertawa terbahak. Ya, sereceh itu dia. Cukup berani sebenernya untuk ukuran orang yang baru kenal main gombal-gombalan seperti itu. Tapi nggak tahu kenapa, aku merasa nyaman-nyaman saja dia gombalin seperti itu. mungkin karena masih di taraf yang wajar? Atau... ah aku tidak tahu. Apakah karena aku juga tertarik padanya?

 

 

 

Dia Selalu Ada Untukku

Di tempat kerjaku, sebenarnya aku juga mengalami kejadian yang kurang menyenangkan. Ada seorang duda, sudah cukup tua usianya. Dia terus-menerus menggodaku. Aku tidak nyaman. Apakah karena aku membiarkan Richie menggombaliku lantas dia jadi merasa bebas melontarkan gombalan kepadaku? Aku cerita kepada Richie, apakah sebaiknya kita tidak terlalu dekat saja? Aku takut kedekatanku sama Richie membuat laki-laki ganjen macam si duda itu menganggap aku gampangan.

Tapi Richie bilang, “Udah, jangan diladenin aja orang kayak gitu,” katanya.

Richie sudah seperti menjadi sandaranku di tempat kerja. Kalau ada apa-apa, aku curhat ke dia. Aku pernah mengalami bullying di tempat kerja, karena aku mendapat perhatian lebih dari bos. Padahal bos sudah memperlakukan kami cukup adil. Mungkin karena kedekatanku dengan Richie yang membuat beberapa orang iri. Maklumlah, Richie itu kaki tangan kepercayaan boss.

Saat aku merasa cukup tertekan dengan bullying yang aku alami, Richie benar-benar merangkulku, dia membela dan melindungiku dari para pem-bully itu. Saat itu mereka sedang menggunjingkan aku, mereka menjelek-jelekkan aku di depan staf lain. Yang aku disebut janda lah, sok cantik lah, genit lah. Salahnya, entah aku sadar atau tidak, aku memang merasa suka bermanja-manja kepada Richie. Sehingga staf lain membenarkan apa yang dikatakan para pembully itu, dan mereka berhasil menghasut banyak orang untuk membenciku. Termasuk duda yang aku bicarakan, karena pernah aku marahi saat dia bersikap kurang ajar kepadaku. Semuanya menjadi semakin rumit ketika si duda itu merasa punya bala untuk “membalasku”. Dia semakin gencar memfitnahku, dan menghasut orang-orang untuk membenciku. Aku merasa tertekan berada di lingkungan kerja yang toxic seperti itu. Sepertinya hanya Richie satu-satunya temanku.

Saat itulah Richie muncul bak pahlawan. Di saat aku merasa terpuruk, bahkan pekerjaan pun menjadi berantakan, dan bos sempat marah-marah kepadaku, Richie yang selalu berada di sampingku. Aku sempat bertanya, banyak rumor yang beredar di kalangan karyawan tentang aku, kenapa Richie masih saja mau menjadi temanku? Aku menanyakan itu saat kami pulang lembur dan makan malam di sebuah mall.

Richie menatapku, sangat dalam. “Karena aku kenal kamu, kamu nggak seperti yang mereka bilang,” katanya.

Melihat tatapan Richie, dengan kondisi batin yang sedang terluka ini, dan badan yang sangat lelah, jujur aku ingin sekali larut dalam pelukannya. Tapi aku ingat, kami hanya berteman.

Berpisah

Pada kesempatan lain, Richie sempat bertanya, tentang hubunganku dengan mantan suamiku. Apakah kami benar-benar resmi bercerai, atau hanya pisah dengan status menggantung saja? Aku bilang kami sudah resmi bercerai. Aku ceritakan semuanya kepada Richie. Aku ceritakan juga bahwa aku belum siap menjalin hubungan serius dengan laki-laki. Aku bertanya, kenapa dia tiba-tiba menanyakan itu?

“Aku nggak percaya aja, nggak rela kalau ada laki-laki yang setega itu menyakiti kamu,” jawabnya.

Ah... Richie. Kata-kata dia selalu membuat aku adem. Tanpa sadar, aku mulai menyandarkan kepalaku di bahunya. Aku mulai sering bersandar di bahunya setiap kali aku merasa perlu bersandar. Dan Richie selalu menyediakan bahunya untukku. Mungkin semua orang sudah melihat kedekatan kami. Tanpa ada pengumuman resmi pun, kami sudah dicap sebagai pasangan. Padahal aku sendiri masih ragu, aku belum siap menjalin hubungan spesial dengan seseorang.

Tanpa terasa, bulan depan kontrakku untuk mengerjakan sebuah project event di Jakarta sudah berakhir. Aku sudah menyiapkan perpisahan yang indah dengan Richie. Namun suatu hari, Richie mengajakku makan malam, dan menanyakan perasaanku.

“A, selama ini kita berteman sudah sangat dekat. Gimana perasaan kamu ke aku?” tanya dia.

Aku deg-degan menjawabnya. Apakah dia akan menembakku? Satu sisi aku gengsi jika bilang kalo aku menyukainya, tapi di sisi lain aku juga takut kehilangan dia kalau aku bilang tidak menyukainya. Akhirnya aku bermain kata-kata saja, berharap dia akan mengejar dan memperjuangkanku.

“Umm... baru di tahap merasa nyaman,” kubilang. “Belum sampai jatuh cinta,” lanjutku.

“Oh, gitu, syukurlah...” katanya.

Aku bingung apa maksudnya. Kenapa dia bersyukur?

“Emang kenapa?” tanyaku.

“Kalau gitu, aku lega buat ninggalin kamu, aku nggak bisa menjalani hubungan jarak jauh A,” katanya.

Aku kaget. “Maksudnya?”

“Ayahku nyuruh aku pulang. Beliau ingin aku tinggal di sana, menetap di sana, menikah dengan orang sana, menua di sana,” katanya.

“Oh...” kataku sambil berkaca-kaca. Aku tidak mengerti, ada rasa perih dihatiku. Kenapa harus begini sih Ri? Tanpa sadar, aku mulai mengeluarkan air mata.

“Hei, kenapa?” katanya.

“Kapan pulangnya?” kutanya.

“Masih lama, dua minggu lagi,” jawabnya.

“Dua minggu? Dua minggu itu nggak kerasa, Richie!” kataku.

“Masih lama lah, masih ada waktu,” katanya.

“Kenapa tiba-tiba? Nanti yang nemenin aku di kantor siapa?” kataku.

“Ssst... jangan ngomong gitu, masih banyak kok yang baik di kantor,” katanya.

Entahlah, aku tidak bisa berkata-kata lagi. Banyak hal yang ingin aku bicarakan ketika itu sebenarnya. Tapi aku bingung bagaimana memulainya. Aku ingin bilang, kamu kan udah dewasa, Richie. Kenapa hidupmu masih diatur sama ayahmu? Kamu bisa memilih jalan hidupmu sendiri, kenapa harus seperti itu? Aku tidak ingin akhir yang seperti ini. Mungkin memang benar, aku hanya baru merasa nyaman, belum di tahap cinta. Tapi harapannya, kita akan berlanjut hingga kita menemukan satu titik, dimana kita merasa yakin untuk lanjut ke tahap berikutnya. Kenapa harus berakhir seperti ini? Aku nangis bombay malam itu. Richie memelukku.

“Hei, aku akan kembali kok. Tapi bukan buat kerja, hanya berkunjung aja mungkin?” hiburnya.

“Iya, berkunjung liburan sama istrimu?” kataku sinis.

“Hey... siapa yang mau nikah?” katanya dengan sedikit tawa.

“Tadi kamu bilang ayah kamu pengen kamu nikah sama orang sana?” kataku.

“Nggak gitu, maksudnya, ah... apa ya?” Richie tampak mencari alasan. “Kamu mau aku boyong ke sana?” tanyanya.

Deg! Aku tertegun. Sejenak aku menebak-nebak. Apakah dia akan melamarku? Ah tidak, aku belum bisa meninggalkan kota ini. aku masih mau meraih mimpi. Aku terdiam.

“Ah iya aku ngerti. Gapai mimpimu ya. Kalau udah sukses jangan lupain aku...” katanya.

“Ih, apaan sih kok ngomongnya gitu?” kataku. Setelah itu aku terdiam.

Rindu

Setelah malam itu, entah kenapa, aku merasa sepertinya Richie menghindariku. Dia tidak se-intens dulu lagi menghubungiku. Dia juga tampak menghindariku di kantor. Mungkin dia hanya ingin agar aku tidak terlalu kehilangan dia saat kita berpisah kelak. Tapi kenapa harus begini sih? Dia benar-benar menghindar dan membatasi interaksi.

Hari itu pun tiba. Hari di mana Richie berangkat ke bandara dan pulang ke kampungnya yang jauh di pulau seberang. Namun dia tidak memberitahuku sama sekali. Dia benar-benar menghindariku. Bahkan sampai beberapa hari setelah kepergiannya, dia tidak menghubungiku, tidak membalas chatku, dan tidak menjawab teleponku. Ada apa dengan Richie? Apakah dia benar-benar akan menikah dengan orang sana, sehingga dia menghindariku begitu?

Bersamaan dengan perginya Richie, teman-teman kantorku yang toxic kembali berulah. Kali ini mereka merasa bebas, karena tidak ada lagi sosok pahlawan yang membelaku. Terlebih si duda itu, dia semakin berani menggodaku. Aku tidak tahan lagi. Akhirnya aku pun melayangkan resign kepada bossku. Biarlah kontrakku yang masih beberapa minggu lagi itu. namun bos masih membutuhkanku. Jadilah aku freelance di sana. Tidak apa lah, yang penting aku tidak intens ketemu sama orang-orang toxic itu. Richie... aku ingin cerita semua ini ke kamu.

Sebulan, dua bulan, aku kira waktu akan bisa membantuku melupakan Richie. Namun ternyata aku justru semakin berantakan. Aku tidak bisa melupakan Richie. Setiap aku melakukan pekerjaan apa pun, yang teringat di pikiranku hanya Richie. Sampai aku menemui psikolog, karena perasaan ini sangat mengganggu sekali. Setelah bertemu psikolog, aku mulai cukup lega. Namun beberapa saat kemudian aku kembali memikirkan Richie.

Aku tidak bisa melakukan pekerjaan dengan baik karena yang ada di otakku hanya Richie, Richie, dan Richie. Sampai akhirnya aku nekad. Aku berpikir, Richie harus tahu ini. Richie harus tahu bahwa aku tidak hanya merasa nyaman, tapi juga mencintainya. Aku ingin bersamanya. Membangun dan menggapai mimpi bersama. Terserah deh kalo aku harus ikut dia ke kampungnya. Yang penting aku bisa bersama dia.

Aku mulai mengetikkan pesan What's App di ponselku. Aku bilang semuanya sama Richie. Richie masih tidak membaca pesanku. Bahkan sehari, dua hari, hingga berminggu-minggu, kulihat belum saja terlihat dua centang biru. Aku sudah putus asa, sudahlah lupakan Richie. Oh Tuhan... aku lupa. Barangkali dia sudah punya calon di sana. Egois sekali aku mengganggu hubungan orang lain? Baiklah, aku mulai belajar melupakannya. Aku kembali ke Bandung, hidup di sana, bersama anak-anakku. Aku ingin menenangkan diri.

Hingga di suatu sore, aku sedang bermain dengan anak-anakku di halaman sebuah masjid di Jalan Ganesa Bandung. Tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah panggilan video. Dari Richie! Spontan langsung kuangkat.

“Hai...” kataku sambil menatap layar handphone.

“Hai, lagi di mana?” kata Richie.

“Lagi di Bandung,” kataku.

“Iya di Bandungnya di mana?” katanya lagi.

“Di... Salman,” jawabku.

“Oh, deket, aku kesana ya, bentar,” katanya.

What? Aku langsung kaget, berdebar tak karuan. Dia lagi di Bandung? Dan dia sedang mau kesini? Yang benar? Ini bukan mimpi kan? Tak lama, terdengar suara dengan nada bass yang lembut menegurku.

Pertemuan Kembali

“Hei,” katanya.

Aku menoleh, astaga Richie! Aku hampir saja memeluknya, kalau saja aku lupa ini area masjid! Tak terasa aku menitikkan air mata.

“Hei, kenapa?” tanya Richie.

“Rindu,” kataku.

Hari itu, kucurahkan segala rindu yang selama ini kutahan. Rasa kesal karena Richie menghilang, bahkan tidak membalas pesanku, marah juga bingung. Semua kucurahkan. Dan di hari itu pun akhirnya semuanya terjawab.

Ternyata Richie saat itu masih menjalin hubungan dengan seseorang. Seorang perempuan yang sudah menjadi pacarnya sejak tiga tahun lamanya. Makanya Richie ragu untuk menjalin hubungan denganku. Karena hubungan dia dengan pacarnya masih menggantung.

Saat Richie pulang kampung, dia ingin menghargai hubungan yang sudah terjalin lama itu, dengan berniat melamar pacarnya. Sesuai dengan wasiat ayahnya yang menginginkan dia tinggal disana, menikah dengan orang sana, dan menua di sana. Namun ada yang mengganjal di hati Richie, karena ada aku. Terlebih ketika aku mengirim pesan dan mengungkapkan semua perasaanku. Dia semakin terombang-ambing.

“Ayahku udah meninggal A. Sebulan yang lalu,” katanya.

“Innalillahi wa Inna ilaihi rojiun...” kataku. “Jadi itu yang bikin kamu nekad ke sini?” kutanya.

“Aku udah cerita semuanya tentang kamu ke almarhum ayah kok,” katanya.

“Terus?”

“Ayah setuju. Tapi beliau keburu dipanggil sama yang di atas sebelum aku kenalin ke kamu,” katanya lagi.

“Tapi pacar kamu?”

“Kami udah lama LDR. Dia juga udah punya someone special yang lain kayaknya. Jadi nggak masalah,” katanya.

“Jadi?”

Richie tiba-tiba berlutut di hadapanku. Dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Oh my God, sebuah cincin!

“Will you marry me?” katanya.

Refleks aku menutup mulutku, air mataku meleleh. “Yes, of course yes!” kataku.

Begitulah kisahku bersama Richie yang saat ini sedang mempersiapkan pernikahan. Sinetron banget kan? Entah kenapa, meskipun ini bukan pernikahan pertamaku, tapi aku masih merasa deg-degan. Doakan saja ya, semoga berjalan lancar hingga hari H. Dan tidak ada lagi perceraian. Semoga Richie adalah jodoh dunia akheratku.

Sejauh ini alhamdulillah tidak ada kendala. WO dan lain-lain berjalan sesuai rencana. Keluargaku dan keluarga Richie sama-sama bahagia dengan pernikahan ini. mudah-mudahan ini adalah pertanda baik untuk kami. Semoga ini adalah yang terbaik untuk semuanya. Aamiin.

#GrowFearless with FIMELA

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading