Sukses

Lifestyle

Menjadi Sempurna Hanya demi Orang Lain Itu Melelahkan

Fimela.com, Jakarta Masing-masing dari kita memiliki cara dan perjuangan sendiri dalam usaha untuk mencintai diri sendiri. Kita pun memiliki sudut pandang sendiri mengenai definisi dari mencintai diri sendiri sebagai proses untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Seperti tulisan yang dikirim Sahabat Fimela untuk Lomba My Self-Love Matters: Berbagi Cerita untuk Mencintai Diri ini.

***

Oleh: Ajeng W. - Bekasi

I’m (Not) Perfect

Kata "sempurna" seperti dua mata pedang yang beririsan. Di satu sisi, ia tampak bersifat positif namun di sisi lain, ia bisa menampakkan sisi negatifnya kala sudah berlebihan. Memang sesuatu yang berlebihan itu tidak baik sama seperti kata ini.

Ada saat di mana kita sebagai perempuan ingin melakukan yang sempurna dan terbaik di sebuah bidang. Sempurna mendapat nilai bagus di sekolah, sempurna dengan lulus nilai IPK sekian, sempurna dalam karier, sempurna memiliki penampilan yang menarik dari wajah hingga badan, sempurna di kehidupan pernikahan. Nyatanya, sempurna itu hanya di dalam pikiran tidak di kehidupan nyata.

Hal itu pula yang terjadi pada diri saya. Semenjak sekolah, saya berusaha meraih peringkat di kelas demi mendapat perguruan tinggi yang diinginkan. Selepas sekolah, kuliah menjadi hal yang saya usahakan untuk tidak membuat nilai-nilai saya terjatuh demi membahagiakan orang tua yang telah berjuang keras membiayai saya dan agar mudah masuk perusahaan. Itu terus bergulir hingga masuk dunia kerja, awalnya saya merasa bahwa berjuang menjadi yang terbaik dan sempurna terasa positif dan membuat saya merasa tertantang untuk bisa setara dengan yang lain. Namun, saya tiba di titik kelelahan mengisi renjana orang lain entah itu orangtua atau orang-orang di sekitar yang memberikan harapan kepada saya dan saya sendiri yang bersedia menyanggupi mengisi harapan itu.

 

 

Pentingnya Bahagia untuk Diri Sendiri

Saya pikir dengan melihat orang lain bahagia, saya dapat merasakan kebahagiaan tapi tidak demikian. Kebahagiaan yang saya rasakannya ternyata semu. Saya terus membahagiakan orang lain hingga saya melakukannya secara berulang yang perlahan menyakiti saya sendiri. Ketika saya tidak membahagiakan orang lain, ada perasaan bersalah terhadap diri saya sendiri.

Akhir tahun 2018 lalu menjadi puncak kelelahan saya ketika karier saya seorang pekerja kantoran di salah satu perusahaan harus berakhir. Saya berpikir dengan berpindah tempat, saya menemukan kebahagiaan baru tapi kenyataan memang kejam, saya tidak mendapatkan itu malah kelelahan dan kehampaan yang saya rasa. Ketika orang lain merasa senang mendapatkan gaji pertama di kantor baru, saya malah merasa kebingungan mau diapakan gaji yang terima ini dan saya hanya lihat saja tanpa tahu mau diapakan. Saya melakukan berbagai cara agar dapat kembali bahagia dan menulis menjadi jalan saya untuk mengistirahatkan pikiran saya yang lelah karena terus mengisi renjana orang lain tanpa memikirkan renjana diri sendiri.

Yup, menulis seperti sebuah oase bagi saya ketika diri ini merasa begitu banyak hal yang berkecamuk di pikiran. Semenjak kuliah, saya memang menyukai dunia kepenulisan dan literasi. Berbagai tes kepribadian yang saya jalani semasa kuliah di jurusan Psikologi menunjukkan hasil minat saya terhadap dunia menulis bahkan cita-cita saya tulis ingin menjadi penulis sebesar J.K Rowling. Namun, orangtua mana yang tidak ingin anaknya memiliki pekerjaan mapan.

Orangtua merasa menjadi penulis belum dapat dipandang sebagai pekerjaan berpenghasilan cukup apalagi harus di rumah memiliki pandangan kurang menyenangkan karena dicap sebagai pengangguran dan perempuan pula. Saya mengalah dan menjalankan titah apa yang diinginkan orang tua. Sayangnya, hal itu berdampak pada kesehatan mental saya dan harus berjuang dengan mental illness yang saya idap sejak akhir tahun lalu.

Melakukan yang Terbaik

Di tengah mental illness, saya memilih berkarya melalui penulisan. Saya dapat menuangkan pikiran yang penuh ke dalam kata-kata, tanpa harus banyak berbicara. Perubahan yang mendadak membuat saya juga harus berjuang menerima apa yang terjadi kala pekerjaan utama menghilang dari pekerja kantoran ke penulis penuh waktu. Pandangan orangtua, lingkungan sekitar, teman yang masih belum memahami tentang profesi ini membuat saya terkadang ragu dengan apa yang saya jalani saat ini. Kecemasaan terhadap masa depan dan penyesalan di masa lalu membelenggu diri saya tapi mendengarkan podcast dari komunitas kesehatan mental berhasil membawa saya pada pikiran positif bahwa saya tidak sempurna dan menjadi sempurna untuk orang lain itu melelahkan.

Satu quote yang selalu saya ingat dari seorang psikiater, “Sadari perasaan yang kamu alami saat ini, terima dan pahami saja bahwa kamu memiliki perasaan itu. Tidak menyenangkan memang tapi semakin ditolak perasaan itu maka kamu akan semakin kecewa dan terpuruk. Tidak ada yang salah, kamu sudah berjuang keras kini saatnya kamu belajar untuk mencintai diri kamu sendiri."

Setiap pagi kala mengalami emosi yang buruk maka saya akan jujur mengenai perasaan tersebut dan saya akan mendengarkan podcast yang dapat menjernihkan pikiran saya. Setelah mengisi renjana orang lain, saya kembali dengan profesi baru. Saya ingin mengisi renjana diri saya dulu yang sempat terlupakan dan itulah cara saya mencintai diri saya untuk menerima ketidaksempurnaan saya. Kebahagiaan orang lain bukanlah menjadi tanggung jawab saya tapi kebahagiaan diri saya adalah tanggung jawab saya sepenuhnya. Bukan egois tapi mencintai diri sendiri membuat diri kita merasa berharga.

#GrowFearless with FIMELA

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading