Sukses

Lifestyle

Kemuliaan Seorang Ibu Takkan Hilang meski Sudah Tak Lagi Bersama

Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.

***

Oleh: Yohanes Maruli Arga Septianus

Selasa, 22 Desember 2020. Tepat di siang bolong, kupacu motor tua kesayanganku dengan terburu-buru. Hari ini, aku akan memberikan sesuatu untuk sosok wanita paling mulia di catatan kehidupanku.

Sialnya, ketika tujuan menyisakan beberapa ratus meter lagi, ban dalam bagian depan motorku mengalami kebocoran yang cukup parah. Untuk kesekian kali, aku harus menunda tujuan dan meladeni rajukan motor tuaku ini. Andai waktu itu mama tidak menceritakan kisah masa lalunya yang sangat berharga dengan motor tua ini, aku pasti sudah menjualnya. Ya, setelah dihitung-hitung biaya perbaikan motorku selama ini, rasanya sudah bisa dipakai untuk mencicil motor baru.

“Jadi berapa, Kang?” tanyaku ketika ban dalam bagian depan motor sudah ditambal dengan cekatan

“16.000 aja,” jawab sang jawara bengkel dengan senyumannya.

“Ini, Kang” dengan sedikit kaget bercampur rasa tidak ikhlas aku memberi sejumlah uang. Bagaimana tidak, biasanya biaya untuk menambal ban hanya 10.000. Situasi pandemi memang mengubah banyak strategi ekonomi masyarakat kecil, tak terkecuali montir di hadapanku ini.

Kondisi motorku yang sudah nyaman untuk dikemudikan ternyata menghemat waktu perjalanan. Setelah menghabiskan waktu kurang lebih 3 menit, aku sudah sampai di rumah mama. Rumah baru yang nampak sangat luas, tetapi mama hanya dapat jatah tempat tinggal berukuran 2x1 meter.

Dengan memelankan laju motor, aku mulai memasuki rumah yang sangat besar itu. Sebelum berjalan lebih dalam, kusempatkan juga membeli beberapa hadiah untuk menambah keindahan di perayaan yang kuadakan. Tak perlu sesuatu yang mewah, cukup dengan sesuatu yang mama suka.

“Ini udah disiapin tidak pakai ijo-ijoan, bunga merahnya banyak, sama tidak pakai air mawar,” kata sang wanita paruh baya sambil mengecek kembali barang yang akan diberikan kepadaku. Sedari melihat motorku dari kejauhan, dengan cekatan ia mempersiapkan semua seperti biasa.

“Bu, tambahin bunga mawarnya empat tangkai ya, merahnya dua tangkai, putihnya dua tangkai,” kataku dengan senyum simpul sembari menunjuk bunga yang kumaksud.

“Tumben-tumbenan ini mesen bunga tangkai, biasanya tabur doang,” kata sang ibu ramah. Ia pun langsung memotong setengah tangkai dari bunga, lantas membungkusnya dengan koran.

“Lagi punya uang, Bu. Jadi berapa ini semua?” tanyaku pelan

“30.000,” cetus ibu sambil memperlihatkan kalkulator usang miliknya. Aku pun langsung membayar dengan uang pas dan tanpa basa-basi, aku pergi menuju rumah mama.

Matahari sudah sedikit bersahabat. Ia mulai menurunkan kadar panas cahayanya dan meminta angin berhembus pelan menyejukkan. Aku sudah sampai di rumah baru mama. Rumah yang tak sepenuhnya baru karena mama sudah mendiaminya tiga tahun lebih.

Setelah kuparkir motor di bawah pohon tinggi yang rindang, kutatap perlahan rumah itu. Tahun-tahun lalu, air mataku selalu tumpah setiap kali kutatap rumah mama yang satu ini. Namun saat 2020 datang menyapa, setiap kali kukunjungi rumah ini, aku merasa damai dan senyum mama yang tulus untukku.

Aku yakin, senyum itu tak akan pudar dalam ingatanku walau hanya sedetik. Senyum yang menjelaskan kebanggaan, kekuatan, dan kesabaran. Senyum yang menyiratkan kalau semua akan baik-baik saja. Biarpun aku tahu, senyum itu tak akan terbit lagi untukku.

Di Depan Pusara

Perlahan kutabur bunga sambil merapal sejumlah doa. Cahaya matahari semakin redup dan semilir angin bertambah kencang. Setelah rampung menabur bunga, kutancap empat tangkai bunga mawar, dua di sisi kiri, dua di sisi kanan. Kusiram sedikit dengan air putih, sehingga warna semua bunga semakin indah dan murni.

“Halo, Ma,” suaraku serak membuka monolog.

“Ma, bagaimana rumah barunya? Mama nggak kedinginan di bawah sana? Atau mama sudah nyaman tinggal di tempat baru? Oh iya aku lupa, pasti mama sudah nyaman dan bahagia. Di sana kan gak ada anak nakal seperti anakmu ini.

Ma, selamat hari ibu. Maafkan aku sudah berbulan-bulan tidak menemui mama. Kondisi terkini yang tidak memungkinkan aku untuk pergi ke sini. Namun tenang saja, aku tetap mendoakan mama dalam setiap kesanggupan kata-kata

Ma, aku sudah bisa mewujudkan satu keinginan mama. Tentu mama masih ingat kan sewaktu mama menyuruhku menjadi seorang dokter atau engineer. Pokoknya IPA, tidak ada ruang untuk ilmu sosial apalagi sastra yang amat kucinta. Sekarang, aku sudah diterima di jurusan teknik dan akan berkuliah di salah satu institut terbaik. Mama pasti bahagia mendengarnya. Sampaikan kepada Tuhan perihal terima kasihku ya, Ma. Untuk selanjutnya, aku akan menggapai cita-cita dan mewujudkan segala harapan mama. Aku pastikan mama akan tersenyum lebar ketika melihat anakmu yang pembangkang ini bisa tumbuh menjadi pribadi yang bermanfaat.

Biarpun raga mama tak mampu memelukku lagi, senyum mama sudah tak bisa mewarnai hariku lagi. Namun percayalah, doa mama adalah surga dan penerang jalanku selamanya,” kataku sambil menahan isak. Tepat di akhir kalimat, isak itu menghilang dan berganti menjadi senyuman.

Perayaan itu kututup dengan rapalan doa. Tak lupa kuselipkan ucapan terima kasih, permohonan maaf, hingga harapan baik untuk mama dan kehidupanku selanjutnya. Ya, mama memang sudah tak ada menemaniku lagi. Namun dengan mengucap doa, aku bisa merasakan ia selalu tersenyum untuk semua yang telah kuperbuat.

Setidaknya, senyum mama akan selalu hidup bersama doa-doanya untuk menghantarkanku menggapai cita-cita. Setelah rapalan doa selesai, kukeluarkan secarik kertas dari dalam tas. Sekilas kubaca kertas itu dan tersenyum sambil menaruhnya di atas pusara mama. Kertas itu berisi puisi yang menjelma aku dan kerinduanku.

“Ma, aku pamit pulang ya. Doakan aku untuk perjalanan selanjutnya. Aku pastikan, mama akan selalu tersenyum dari atas sana,” kutinggalkan rumah baru itu perlahan dan kubiarkan kambing-kambing mengunyah bunga yang kutabur dan kutancapkan. Satu yang tetap utuh, puisiku.

Senyum di Depan Pusara

Aku tak tahu

Bagaimana cara meminum tumpahan air mata

Atas rasa sakit dan kecewa karena kau yang tiada

Aku juga tak tahu

Bagaimana mengakrabi luka

Dengan cara paling muskil yang membunuh dendam di pagi buta

 

Namun, biarkanlah aku berharap tentang hari esok yang tak sesak

Dan cerah matahari yang menemaniku menamatkan hari

Biarkanlah aku berharap akan datang riuh kegembiraan

Di lautan nestapa yang menggulung dua tahunku seperti marah ombak

 

Ma, rindu ini buta

Maka akan kutemani dia dengan senyumanmu yang jelita

Setidaknya ia memiliki kekuatan dan api

Untuk bisa menamai metafora kehidupan yang enggan menepi

 

Senyum yang akan abadi

Melebihi ampas kopi eyang Sapardi

 

Dan di ujung perjalanan, aku tahu

Senyum itu akan mengantarku kembali ke pelukmu

Pulang dan saling bertukar cerita

Di pangkuan surga yang kita percaya

 

Jakarta, 2020

#ChangeMaker

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading