Sukses

Lifestyle

Warisan yang Berharga Bukan Harta, tapi Nasihat yang Mampu Menggetarkan Jiwa

Fimela.com, Jakarta Nasihat orangtua atau tradisi dalam keluarga bisa membentuk pribadi kita saat ini. Perubahan besar dalam hidup bisa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan budaya yang ada di dalam keluarga. Kesuksesan yang diraih saat ini pun bisa terwujud karena pelajaran penting yang ditanamkan sejak kecil. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Culture Matters: Budayamu Membentuk Pribadimu ini.

***

Oleh: Intan Puspita Dee - Jakarta Timur

Jadi Korban Bullying, Filosofi Intan, Sampai Nasihat Lucu tentang Suami Brewokan

Saya seorang perempuan yang lahir dan dibesarkan di Jakarta namun darah Jawa yang mengalir dalam tubuh saya masih sangat kental. Bapak dan Mama sama-sama kelahiran Banjarnegara. Bedanya dengan sang suami yang menghabiskan masa remajanya di tanahnya sendiri, wanita yang sudah melahirkan saya itu tumbuh dan dewasa di Purwokerto.

Maka jangan heran jika semenjak kecil saya dan keempat kakak-kakak terbiasa mendengarkan gendingan dan kisah-kisah pewayangan. Di masa mudanya Bapak yang pernah menjadi dalang membuatnya begitu mudah dan ‘hidup’ dalam menceritakan rentetan kejadian dan penggambaran tokoh-tokohnya.

Aturan serta larangan-larangan yang diterapkan banyak bersumber dari kebudayaan setempat. Meskipun setelah keduanya merantau ke Jakarta sampai menikah dan memiliki lima buah hati dan berbaur dengan penduduk asli--nilai-nilai itu tak mengalami pergeseran sedikit pun. Justru menjadi patokan dalam menasihati putra-putrinya. Salah satu dari ketiga kakak lelaki yang paling nyeleneh berkomentar, “Ah orang Jawa mah apa-apa diartikan!”

Jangan duduk di depan pintu nanti sulit jodoh, jangan makan sayap ayam nanti yang mau melamar tidak jadi, jangan menjahit malam-malam itu pamali, dan bla bla bla lainnya. Dan dengan santainya si Mas nyeleneh akan menimpali, "Ribet banget pakai bilang jangan duduk depan pintu nanti begini dan begitu, bilang aja nanti menghalangi orang yang mau masuk! Terus nggak boleh makan sayap ayam, ya iyalah bilang aja kalau nggak hati-hati nanti bisa ketusuk karena ada bagian runcingnya. Ya jelas aja nggak boleh jahit malam-malam, kan zaman dulu belum ada lampu, kalau sekarang nggak masalah, sudah terang-benderang!"

Biasanya Bapak dan Mama yang sudah kehabisan kata-kata cuma geleng-geleng kepala. Dan biasanya saya cuma menyembunyikan tawa. Soalnya kalau Bapak lihat bisa dibilang, “Kualat nanti kamu!”

Apalagi kalau si Mbah Putri sedang menginap, maka petuah-petuah bijaknya melebihi orangtua. Terutama saya dan seorang kakak perempuan yang akan diamati gerak-geriknya ketika beres-beres rumah.

“Ayo nyapunya yang bersih, nanti kalau ndak bersih suamimu brewokan!” Saya yang waktu itu masih duduk di bangku sekolah menengah pertama rasanya ingin protes, sebab banyak bintang sepakbola dunia yang brewokan dan justru menambah nilai ketampanannya.

Dan Mas saya yang super nyeleneh tentu saja tidak tahan jika hanya berdiam diri, “Aduh Mbah, bilang aja kalau kerja itu jangan setengah-setengah supaya hasilnya maksimal!"

Betul juga, sih. Tapi sebenarnya rangkaian nasihat warisan turun-temurun itu maksudnya memang semua baik dan positif. Intinya kita harus berhati-hati dalam mengerjakan apa saja, tak boleh egois mementingkan diri sendiri, dan ikhlas sepenuh hati melakukan sesuatu, contohnya ya itu, kalau tidak nanti suaminya brewokan!

Dan benar saja, karena saya taat menerapkan petuah bijak itu, ternyata setelah menikah suami saya tidak brewokan hehehe. Bahkan untuk brewokan tipis-tipis saja sulit minta ampun.

 

 

Terlepas dari itu semua saya bersyukur karena orangtua tak bosan menasihati. Berdampak besar sekali dengan sikap atau prinsip yang saya terapkan dalam keseharian. Dan yang terpenting saya sampaikan juga pada buah hati kami. Seperti yang paling penting; jalan membungkuk di depan orang yang lebih tua, sungkem saat lebaran, tidak boleh turut menyambar pembicaraan saat sedang berada di kamar mandi, tutup pintu saat magrib, bangun pagi supaya rezeki tidak dipatok ayam, tidak boleh bicara waktu makan, tidur lebih awal supaya salat subuh tidak kesiangan, dan masih banyak lagi.

Percaya atau tidak, silakan perhatikan sendiri zaman sekarang semakin jarang muda-mudi yang membungkukkan badan sebagai penghormatan kepada yang lebih tua. Benar-benar sudah pemandangan langka. Di mana tata krama? Sedih sekali, ya.

Dari banyaknya serangkaian nasihat-nasihat bijak itu, ada satu nasihat yang paling mengena dalam sanubari bahkan betul-betul kuat menancap hingga dewasa. Membuat saya berani menegakkan kepala setelah mengalami kejadian yang kurang menyenangkan. Kali pertama mendengar nasihat dari Mama ketika saya berusia tujuh tahun.

Saya masih ingat betapa saya mendadak ketakutan berangkat ke sekolah lantaran teman lelaki sebangku suka menendangi kaki saya sepanjang waktu kegiatan belajar di kelas. Dan itu terlampau sering sampai kaos kaki saya kotor. Hingga pulang saya menahan sakit dan tidak berani bilang pada guru.

Segala hal ada puncaknya, saya mogok sekolah. Lalu saya utarakan pada Bapak dan Mama mengenai kenakalan teman sebangku. Mereka mendatangi wali kelas. Dan meski sudah dipastikan situasi akan aman, tetap saja saya takut sekolah.

“Namamu Intan, kamu harus sekuat intan!”

Saya bingung, “Kenapa kuat, Ma?”

“Karena sebelum menjadi berlian yang bermanfaat dijadikan berbagai macam perhiasan, intan itu harus mengalami proses yang panjang, rumit, dan mungkin menyakitkan. Jadi kalau hanya dinakali teman, putri Mama pasti mampu menghadapinya!”

Untuk ukuran anak SD kata-kata itu terlalu membingungkan dalam memahaminya. Namun nasihat Mama begitu kuat menempel sampai dewasa. Bersyukur saya mempunyai daya ingat yang baik, bahkan banyak percakapan saat di Taman Kanak-Kanak masih terekam kuat di otak. Dan meski tak begitu mengerti, saya seperti menyimpannya di bank pikiran yang saya buat sendiri, untuk sewaktu-waktu dicerna saat siap menerima.

 

 

Nasihat dari malaikat yang telah melahirkan saya ke dunia memang menyejukkan, dengan lemah lembut namun ada energi dalam setiap kata-katanya. Begitulah pribadi yang dibangun oleh Wong Jowo, nerimo namun tidak pasrah nasib. Setidaknya saat itu saya jadi tahu kalau makna dari nama Intan adalah harus kuat dan tegar menghadapi masalah. Dan dengan menegakkan kepala saya beranikan diri berangkat ke sekolah lagi.

Berbekal itu tak semua kendala yang saya hadapi diadukan pada orangtua. Jika masih sanggup saya tanggung, akan saya pikul sendiri. Di bangku kelas enam saya pernah di-bully habis-habisan. Beberapa teman perempuan yang memulai memusuhi saya, berhasil mempengaruhi hampir satu kelas—kecuali dua orang sahabat perempuan yang berhati malaikat--untuk tidak lagi berteman dengan saya. Penyebabnya tidak jelas apa, dan sangat menyesalkan salah seorang sahabat laki-laki yang biasanya begitu peduli, ikut-ikutan mem-bully. Bahkan dia tega memukul kepala saya berulang kali pada kesempatan berbeda.

Namun tak setetes air mata pun saya perlihatkan. Bukan menyembunyikan. Kenyataannya memang saya tetap menjalani hidup senormal mungkin. Sama sekali tidak mengurangi keceriaan dan prestasi nilai di sekolah. Ujian akhir berjalan lancar. Lalu bisa membuktikan pada musuh-musuh kalau semua perlakuan buruk mereka tak menghalangi impian saya bisa masuk SMPN favorit. Rahasia ini tersimpan rapi dan rapat.

Hingga usia berkepala tiga, orang pertama yang mendengar tentang kejadian pahit itu justru suami. Begitulah saya, tak ingin merepotkan orangtua selagi sanggup. Kan, nama saya Intan, jadi harus kuat dan tegar. Mungkin mereka, teman-teman yang menganggap sebelah mata hanya menganggap saya sebongkah batu hitam. Tanpa mereka ketahui, kalau sebongkah batu hitam itu sangat berharga, zat yang terkenal paling keras. Semakin ditempa, semakin digosok, maka akan menjadi perhiasan yang berkilauan dan mahal.

 

 

Jadi kalau mereka menilai tubuh saya yang kurus ini lemah, dan karena karakter saya yang pendiam mudah dikerjai, tentu saja penilaian dangkal mereka salah besar. Silakan mem-bully saya dari berbagai sisi, itu hanya akan membuat saya semakin kuat, berharga, berkilauan indah sekali.

Ini berlaku untuk semua ujian hidup yang saya lewati. Setiap saya merasa lemah, benar-benar di titik terendah, saya akan memutar ulang film lama di mana kali pertama Mama memberikan wejangan, “Nama kamu Intan. Jadi kamu harus kuat!” Sungguh ajaib, saat itu juga saya akan bergegas menghapus air mata.

Entah jika saya dibesarkan dari orangtua dan keluarga yang jarang berkomunikasi, pelit bertukar pendapat, dan malas memberikan nasihat--mungkin saya akan mudah goyah dan menilai sesuatu dari sisi negatifnya saja. Tentu saja bukan cuma filosofi Intan yang memotivasi saya hingga lambat laun membentuk karakter saya yang seperti sekarang ini. Petuah-petuah bijak yang terkadang dibumbui dengan ketidaklogikaan seperti kalau menyapu tidak bersih akan dapat suami brewokan, turut menyumbang peranan penting dalam menjalani kehidupan yang penuh ujian ini. Sebab intinya memang hal-hal positif yang memang sangat berguna untuk pegangan hidup.

Bukan hanya itu, Bapak dan Mama mengajarkan tidak mendendam. Menanam padi tumbuh padi. Filosofi ini tak pernah meleset. Semua akan kembali pada diri masing-masing sesuai apa yang ditanam. Termasuk alon-alon asal kelakon, saya juga suka wejangan bijak itu. Tak apa perlahan, asalkan fokus maka akan sampai ke tujuan dengan selamat.

Dari sini saya belajar, warisan yang paling berharga sebenarnya bukan harta, namun ilmu serta nasihat-nasihat yang berguna jauh lebih istimewa. Dan secara bertahap akan saya wariskan pada anak-anak saya juga.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading