Sukses

Lifestyle

Berjuang agar Putra Sulung Sembuh dari ADHD saat Berjauhan dengan Suami

Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita, pengalaman, dan kesan tersendiri yang dirasakan tiap kali bulan Ramadan datang. Bahkan ada kisah-kisah yang tak pernah terlupakan karena terjadi pada bulan suci ini. Tiap orang pun punya cara sendiri dalam memaknai bulan Ramadan. Tulisan kiriman Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Berbagi Cerita tentang Indahnya Ramadan di Share Your Stories Bulan April ini pun menghadirkan makna dan pelajaran tersendiri.

***

Oleh: Puji Khristiana Dyah Nugrahaini

Ini Ramadan kedua dalam keadaan berjauhan dengan suami. Kali pertama menjalani Ramadan adalah tahun 2017. Saat aku memutuskan melahirkan si Abang di kampung halaman orang tua. Sedangkan suami tetap tinggal di Jakarta karena harus bekerja. Alasan Ramadan tahun ini kami memutuskan untuk kembali menjalani hubungan jarak jauh karena suami ditugaskan oleh kantor di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Sebagai karyawan di salah satu perusahaan kontraktor yang menangani berbagai proyek pembangunan pemerintah, suamiku harus siap ditempatkan untuk proyek di mana pun tanpa bisa membawa serta keluarganya. Alhasil, aku dan anak-anak untuk sementara pindah ke rumah ibu sampai penugasan suami selesai. Memang berat. Tapi tidak ada yang bisa kami lakukan selain menerimanya dengan hati yang lapang. 

Rasa syukur harus lebih dikedepankan dibanding ego untuk selalu bersama. Karena di tengah kesulitan ekonomi saat pandemi seperti sekarang, tidak terkena PHK adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Dengan pulang sementara ke rumah orang tua, minimal ada yang membantuku untuk menjaga anak-anak. Terlebih lagi si Abang, anak pertama kami termasuk anak berkebutuhan khusus yang perlu penanganan ekstra dibanding dengan anak seusianya.

Si Abang, begitu kami memanggilnya selama ini. Anak pertama yang kami dapatkan setelah menunggu cukup lama terlahir sebagai salah satu anak istimewa. Kami baru menyadari itu saat Abang berusia 2 tahun. Umur yang seharusnya sudah bisa mengucap satu dua kata, Abang sama sekali tidak memiliki kemampuan itu. Kemampuan bicaranya masih sebatas ngoceh-ngoceh tidak jelas.

Berkebalikan dengan kemampuan geraknya yang luar biasa aktif. Karena Abang adalah anak pertama, kami sama sekali belum memiliki pengalaman. Sehingga penanganannya bisa dibilang terlambat. Sebagai orang tua, sebenarnya aku sudah merasa ada yang salah dengan perkembangan anak pertama kami. Naluri seorang ibu yang tidak mungkin salah. 

Putraku dan ADHD

Beberapa pertanyaan yang selalu menggelayut dalam hati. Kenapa sampai hampir 2 tahun anakku belum juga bisa bicara seperti teman-teman seusianya? Dan kenapa pula tingkah polah dan gerakannya terlihat jauh lebih aktif dibandingkan dengan teman-temannya? Pertanyaan itu sering terlontar begitu saja pada suami, saudara, ataupun tetangga.

Jawaban mereka hampir semuanya senada. "Namanya juga anak laki-laki. Pasti lebih aktif daripada anak perempuan. Nggak perlu khawatir. Kalau udah waktunya bisa ngomong pasti ngomong sendiri. Jangan dikit-dikit dibawa ke dokter."

Awal-awal aku percaya saja dengan omongan mereka. Tapi lama-kelamaan akhirnya naluri seorang ibu yang kurasakan tidak bisa dibohongi. Diam-diam aku membawa Abang menemui dokter anak. Di sinilah akhirnya jawaban dari segala pertanyaanku selama ini terjawab. Dari serangkaian tes yang dilakukan dokter, ternyata Abang mengalami ganguan tumbuh kembang yang bernama attention deficit hyperactivity disorder. Atau sering disingkat dengan ADHD.

Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau ADHD adalah perilaku hiperkatif, impulsif sekaligus sulit memusatkan perhatian. Ternyata inilah yang terjadi pada Abang selama ini. Pantas kalau kemampuan bicaranya juga terhambat. Karena dia sulit sekali berkonsentrasi. Terlihat ingin selalu bergerak dan sulit diam. Dengan keadaan seperti ini dokter menyarankan agar putra sulungku mengikuti sesi terapi seminggu dua kali. Berupa okupasi terapi agar dia lebih tenang dan terapi wicara untuk meningkatkan kemampuan bicaranya.

Kami menurut saja apa kata dokter. Setiap seminggu dua kali kami membawanya terapi ke sebuah rumah sakit umum pemerintah di kawasan Jakarta Selatan. Saat awal-awal menjalani terapi, aku masih agak ringan karena ada bantuan dari suami. Tapi setelah beberapa sesi, tantangan untuk kesembuhan Abang mulai terasa. 

Mulai dari suami yang tidak diperbolehkan sering-sering izin kantor hingga Tuhan memberi kami tambahan rezeki dengan hamil anak kedua. Membawa Abang terapi dengan keadaan hamil muda yang lemah tentu bukan hal yang mudah. Aku harus menangani sendiri perilakunya yang hiperaktif lari ke sana kemari sambil mengantre di pendaftaran bersama ratusan pasien lain. Sungguh bukan hal yang mudah. 

Tepat di usia kandungan 6 bulan, akhirnya aku menyerah. Kandunganku mengalami placenta previa hingga menyebabkan sering mengalami pendarahan. Dokter menyarankan agar aku bedrest total untuk mengurangi efek pendarahan dari rahim.

Di sinilah dilema itu ada. Kalau aku bedrest total, siapa yang akan mengasuh si Abang? Kami hanya tinggal bertiga. Suami harus ngantor setiap hari. Mau sewa pengasuh juga tidak memungkinkan. Selain karena tidak ada budget buat membayar pengasuh, meninggalkan Abang dengan sembarang orang tidaklah mungkin. Mengingat sifat impulsifnya, terlalu berisiko jika meninggalkan Abang pada orang yang tidak memahami karakter dan permasalahan tumbuh kembangnya.

Akhirnya aku memutuskan untuk mengasuhnya sendiri. Dengan risiko mempertaruhkan keselamatan calon adiknya yang masih dalam kandungan. Jangankan bisa bedrest. Bisa istirahat dengan nyaman saja sudah sangat beruntung. Dari keputusan inilah apa yang kita takutnya terjadi. Aku harus sering bolak-balik ke rumah sakit karena mengalami pendarahan. Lelah menjaganya di rumah sekaligus harus mengikuti jadwal terapi di rumah sakit seminggu dua kali.

Agar risiko tidak terlalu besar, suamiku akhirnya memutuskan menghentikan sementara terapi si Abang sampai waktu yang belum bisa ditentukan. Syukurlah. Dari keputusan suami itu calon adik putra bungsuku berhasil di selamatkan meski harus dengan jalan oprasi secar. 

Terus Berjuang meski Tak Mudah

Ketika adiknya lahir, orang tuaku memutuskan membawa Abang ke kampung sementara. Karena sifat impulsif yang terlalu besar membuat keselamatan adiknya yang baru lahir terancam. Sudah beberapa kali kami melihat Abang hampir saja mencelakai adiknya karena dia belum paham dan sulit memahamkan tentang siapa bayi kecil itu dan bagaimana cara bermain bersamanya.

Kendala komunikasi yang dialami anak ADHD seperti Abang membuatnya sulit untuk menerima penjelasan dalam hal apapun. Dan demi keselamatan dua-duanya, aku merelakan berpisah dengan Abang sementara ketika dia dibawa eyangnya ke kampung.

Alih-alih berharap Abang kembali ke Jakarta. Justru aku dan adiknyalah yang menyusul ke kampung saat adiknya berusia 8 bulan. Karena suamiku harus berangkat ke Tana Toraja untuk tugas kerja. Dengan menjalani LDR, itu berarti aku harus mengasuh dua anak sendirian tanpa suami. 

Beruntunglah ada kedua orang tua dan saudara-saudara di kampung yang ikut menjaga dan mengasuh anak-anak. Setelah absen terapi selama setahun lebih, Abang kembali kubawa ke rumah sakit umum daerah di rumah ibu untuk kembali menjalani terapi. Sama seperti dokter di Jakarta, si Abang juga menjalani 2 jenis terapi. Yaitu okupasi terapi dan terapi wicara.

Aku membagi tugas dengan orang tuaku. Saat aku membawa si Abang menjalani sesi terapi, kedua orang tuaku yang menjaga adiknya di rumah. Keadaan ini tidak sepenuhnya mudah. Karena ibuku sendiri sering sakit-sakitan. Agak kerepotan kalau seharian menjaga si Adek yang sedang aktif-aktifnya berjalan. Tapi mau bagaimana lagi. Hanya ini pilihan langkah yang paling baik bagi semuanya.

Butuh perjuangan yang tidak ringan membawa anak ADHD dengan gerakan yang tidak terkontrol bepergian, apalagi sendiri tanpa ada teman. Karena risiko terjadi kecelakaan akibat perilaku impulsifnya bisa saja terjadi. Akibatnya tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain di sekitarnya. Tapi tidak ada pilihan lain untuk masa depan yang lebih baik bagi putra sulungku selain terapi. Karena ADHD tidak ada obatnya. Selain rutin menjalani terapi.

Ketika tubuh dan batin benar-benar merasa lelah, aku hanya bisa menangis bisu tanpa isak. Sesekali menghubungi suami untuk sekdar berbagi keluh kesah. Meski beban fisik tidak bisa dikurangi, tapi paling tidak beban batin bisa sedikit lebih ringan. Harapanku sederhana. Hanya ingin putra sulungku bisa bersekolah di sekolah formal. Tidak harus sekolah di sekolah luar biasa khusus anak berkebutuhan khusus.

Beruntunglah suamiku benar-benar mendukung usahaku 100 persen. Meski aku tahu dia di sana selalu disibukkan dengan berbagai pekerjaan, tetapi dia tidak pernah absen menanyakan perkembangan kedua anak-anak kami. Menjalani hubungan jarak jauh ternyata tidak lantas membuat komitmen kami merenggang. Karena yang berbeda hanyalah tanah tempat kami berpijak. Bukan perasaan. Dan yang berjarak hanyalah raga. Bukan asa maupun rasa.

Harapan kami hanya satu. Suami bisa secepatnya kembali ke Jakarta. Berkumpul lagi bersama kami. Menyaksikan sendiri bagaimana si Abang berjuang untuk sembuh dari ADHD dan menjadi anak-anak dengan perkembangan dan pertumbuhan layaknya teman seumurannya.

#ElevateWomen

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading