Sukses

Lifestyle

Sebelum Menerima Lamaran, Pastikan Ada Keikhlasan Hati yang Menyertainya

Fimela.com, Jakarta Persiapan pernikahan seringkali dipenuhi drama. Ada bahagia, tapi tak jarang juga ada air mata. Perjalanan menuju hari H pun kerap diwarnai perasaan campur aduk. Setiap persiapan menuju pernikahan pun selalu punya warna-warninya sendiri, seperti kisah Sahabat Fimela dalam Lomba Share Your Stories Bridezilla: Perjalanan untuk Mendapat Status Sah ini.

***

Oleh: Hajria

Namanya Endah. Dia adalah salah satu saudaraku yang usianya lebih tua dua tahun dariku. Waktu itu dia tidak mau melanjutkan pendidikan ke bangku SMA dengan alasan tidak ingin menjadi beban untuk kedua orang tuanya. Dia lebih memilih bekerja menjadi pramuniaga di sebuah toko sembako dibanding harus bersekolah seperti teman sebayanya. Padahal orangtuanya berulang kali membujuk agar Endah mau bersekolah lagi, tapi Endah tetap tidak mau. Dia sudah terlanjur asyik menikmati pekerjaannya meskipun sebagai pegawai toko. 

Seiring berjalannya waktu, Endah pun menjadi sosok perempuan yang mandiri dan cantik. Tak heran banyak sekali pemuda desa yang melirik kecantikan dan kedewasaannya. Beberapa pemuda  bahkan berani datang ke rumahnya untuk melamar. Tapi Endah menolaknya.

"Ndak baik lho nduk, terus-terusan menolak lamaran laki-laki. Pamali," begitu kata sang ibu setiap kali ada yang datang melamarnya. Kedua orang tuanya bahkan menjadi perbincangan para tetangga karena sering menolak lamaran laki-laki yang datang.

Pernah, suatu ketika ia menerima lamaran salah seorang laki-laki namun beberapa bulan kemudian karena dianggapnya tidak cocok dengan dirinya akhirnya Endah pun membatalkan lamaran tersebut dan membuat kedua orangtuanya malu untuk kesekian kalinya. Endah pun merasa bersalah dan kasian karena dirinya, orangtuanya menjadi dicemooh banyak orang. 

Menerima Lamaran dan Menikah

Hingga pada akhirnya, datanglah seorang laki-laki terakhir yang berniat sama ingin melamar Endah. Dia sederhana, pandai mengaji dan lulusan dari pesantren. Kedua orang tuanya pun sangat senang dengan kedatangan laki-laki itu. Mereka pikir mungkin inilah laki-laki yang pantas untuk mendampingi Endah seumur hidup. Endah pasti mau dengan laki-laki itu, pikir kedua orang tuanya.

Endah pun dibujuk dan dirayu untuk menerima lamarannya. Dengan penuh deraian air mata, Endah pun akhirnya  menerima lamaran dari laki-laki itu. Entah senang atau tidak, entah cinta atau tidak. Ia tidak mau kedua orang tuanya malu berulang kali karna dirinya. 

Acara pernikahan pun akhirnya digelar sebulan setelah Endah menerima lamaran itu dengan tradisi seperti di desa. Pengantin pria dan wanitanya dijejer dengan pakaian adat jawa yang sangat anggun. Endah terlihat cantik dengan riasan make up karya dari Bu Lurah.

Meskipun wajahnya terlihat sangat sendu namun tak sedikit pun mengurangi sakralnya acara pernikahan itu. Suasana haru pun terasa ketika kedua mempelai sungkem kepada kedua orangtua. Meskipun aku sibuk kesana kemari membantu mengurus hidangan yang ada di prasmanan tapi aku bisa merasakan betapa harunya acara pernikahan kala itu. 

Endah kini telah sah menjadi istri orang. Tangisnya menjadi kian tak terbendung setelah aku memeluknya dan mengucapkan selamat kepadanya. Dari raut wajahnya seolah menunjukkan bahwa dirinya sudah ikhlas untuk menjalani hidup bersama laki-laki yang dipilihnya. Dia juga mengatakan akan belajar menjadi istri yang baik untuk suaminya.

Dari perjalanan pernikahan Endah aku belajar, bahwa menikah itu ibarat memakai pakaian seumur hidup. Maka pilihlah pakaian yang kita sukai, karena kita tidak mungkin memaksa diri kita untuk memakai pakaian yang tidak kita sukai seumur hidup.

#ElevateWomen

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading