Sukses

Lifestyle

Di Situasi Pandemi Ini, Kubatalkan Pernikahan Impian demi Mengutamakan Keselamatan Bersama

Fimela.com, Jakarta Persiapan pernikahan seringkali dipenuhi drama. Ada bahagia, tapi tak jarang juga ada air mata. Perjalanan menuju hari H pun kerap diwarnai perasaan campur aduk. Setiap persiapan menuju pernikahan pun selalu punya warna-warninya sendiri, seperti kisah Sahabat Fimela dalam Lomba Share Your Stories Bridezilla: Perjalanan untuk Mendapat Status Sah ini.

***

Oleh:  Emilia Sidharta

Aku adalah seorang gadis dengan segudang mimpi. Biar kuceritakan padamu mimpi-mimpiku. Aku ingin menjadi seorang wanita karier yang sukses, punya body goals seperti jam pasir, punya rumah mewah, bisa punya mobil bagus, dan yang paling penting aku mau mau menikah dengan seorang laki-laki dengan desain konsep pernikahan mewah ala princess.

Mimpi terakhirku akan segera kuwujudkan bulan September ini. Ya, akhirnya si anak sulung akan segera menikah tahun ini! Bahagia? Jangan ditanya, bahagia sekali!

Aku sudah mempersiapkan konsep pernikahanku sejak 1,5 tahun yang lalu. Aku ingin menikah dengan mengenakan ball gown gemerlap, di sebuah gedung yang diberi dekorasi dengan lampu kerlap kerlip meriah, bunga-bunga yang harum, dirias oleh Make Up Artist ternama, mengundang penyanyi kondang Indonesia, dan tentu saja honeymoon ke luar negeri. Saat itu, pandemi belum ada. Jadi mimpiku sudah kutulis dan kurancang setiap detailnya tanpa terkecuali.

Lalu datanglah pandemi, bisnis pasanganku mulai lesu. Bahkan nyaris satu tahun dia tidak berpenghasilan karena dia adalah seorang wiraswasta. Sedangkan aku masih menerima gaji utuh karena aku adalah seorang tenaga kesehatan.

Setelah hari pertunangan, kami mulai hitung-menghitung jumlah yang kami perlukan untuk persiapan pernikahan. Baju untuk kami, keluarga, hotel, gedung, makanan, salon, fotografer, event organizer, dekorasi, dll. Ternyata untuk mewujudkan mimpiku, aku butuh uang minimal 500 juta rupiah. Terbelalaklah mataku, ya ampun uang besar sekali ya itu. Uang dari mana?

Mempersiapkan Pernikahan Impian

Aku dan calon suami bukan berasal dari keluarga sultan, jadi bagi kami itu uang besar. Sekalipun aku pakai uang gajiku penuh, tanpa makan, aku masih tidak sanggup membayar itu semua. Ya sudahlah, aku pelan-pelan mengurangi list yang sudah kupersiapkan.

Aku harus mengurangi jumlah tamu tidak penting dalam acaraku. Semakin sedikit tamu, maka jumlah makanan dan gedung akan berkurang. Maaf teman-temanku, beberapa nama kalian harus kucoret. Baiklah, kita akan membuat konsep intimate wedding.

Tapi bukan kehidupan namanya jika tidak ada kejutan lain. Bulan April kemarin, aku dan pasangan membuka usaha laundry bersama. Ekspektasiku uangnya akan kami gunakan unuk menyicil rumah dan mendanai resepsi kami.

Awal-awal semua berjalan manis, ya maklum kami buka promo 50%. Semua langsung datang menyerbu usaha kami. Setelah seminggu, kami buka dengan harga normal ternyata sepi. Sehari hanya ada 1 atau 2 pelanggan datang.

Pernah sehari kami hanya dapat 20 ribu rupiah. Setelah 2 minggu hidup dalam keadaan miris, kami memutuskan untuk membuat promo lain. Tapi masih sama, penghasilan harian kami tidak mencapai 100 ribu rupiah. Putar otak lagi, akhirnya kami berikan promo lain. Keadaan menjadi semakin membaik, walaupun jauh dari target.

Terpaksa beberapa list dalam dream weddingku harus kucoret lagi. Prioritas kami berubah ke mencari tempat tinggal. Mustahil bagi kami untuk membuat dream weddingku dan tempat tinggal terwujud dalam waktu kurang dari 6 bulan dengan keadaan seperti ini.

Berbagai Cobaan Datang Hingga Terpapar COVID-19

Waktu bergulir semakin cepat, calon suamiku masih terus berjuang mencari tambahan uang. Perkonomian mulai pulih, aku melihat rona bahagia di matanya. Sepertinya keadaan akan membaik. Kami mulai melihat-lihat cincin pernikahan kami, ternyata harga cincin yang aku inginkan mahal-mahal juga.

Kami masuk ke satu toko, keluar, masuk lagi. Semua rata-rata di atas 10 juta rupiah. Lagi-lagi aku menghela napas, mungkin aku juga harus menurunkan standar dan keinginanku untuk kriteria cincin nikah. Sudahlah, yang biasa saja.

Untungnya, calon suamiku bukanlah tipe orang yang cerewet. Dia hanya mengangguk ketika kubilang aku tidak masalah dengan cincin pernikahan biasa, bukan seperti impianku. Tapi aku bisa melihat sorot matanya yang sedih. Mungkin dia berpikir bahwa dia gagal mewujudkan salah satu mimpi besarku.

Memasuki bulan Juni, kami mulai merancang untuk foto pre-wedding kami. Tidak perlu jauh, yang penting bagus dan ada temanya. Setelah berdiskusi dengan fotografer, kami memutuskan melakukan foto di salah satu gunung di dekat kota kami. Hanya butuh 3 jam perjalanan, jadi kami tidak boros akomodasi. Hatiku bahagia, wah hari semakin dekat dan makin kesini semua makin lancar.

Semua berjalan baik, hingga suatu malam nenekku terjatuh dan mengalami patah tulang dan harus dioperasi. Operasi berjalan baik, namun sejak saat itu kesehatannya menurun. Beliau mengalami depresi dan kelumpuhan total. Berkali-kali nenekku menangis dan berteriak ingin mati. Nenekku hanya tinggal bersamaku dan satu asisten rumah tangga yang sudah ikut keluarga kami puluhan tahun.

Nenekku kehilangan semangat hidup karena kakinya menjadi lumpuh. Aku sudah membawanya ke psikiater tapi sama saja, beliau tetap putus asa dengan hidupnya sendiri. Hampir setiap malam beliau memanggil aku, aku ke kamarnya menyemangati sebisaku. Kubilang padanya, “Oma harus sembuh, aku akan menikah sebentar lagi." Beliau menghapus air mata dan mengangguk, lalu tertidur. Tapi keesokan harinya bangun dan histeris ingin mati lagi.

Kukira semua penderitaan akan berakhir. Ternyata hidup memang kumpulan dari masalah. Angka pandemi Covid 19 semakin melonjak tajam. Suatu hari, kudapati adikku batuk dan demam. Tanpa pikir panjang, aku membawanya ke rumah sakit untuk tes Covid dan benar, adikku positif Covid-19. "Astaga, drama apalagi ini," pikirku.

Saat keadaan nenekku makin melemah, adikku positif Covid. Orang tuaku tinggal jauh dari aku, dan aku tidak mungkin memintanya datang ke kota kami karena penyebaran virus begitu tinggi. Aku harus membagi otaku menjadi banyak cabang: mengurus nenekku, mengurus isolasi adikku, mengurus pernikahan dan bekerja. Kumohon Tuhan, kuatkan aku.

Aku masih ingat, hari itu hari Jumat. Aku meriang dan radang tenggorokan, ah mungkin hanya masuk angin karena kecapekan mengurus nenek dan adikku. Kebetulan di rumah sakitku ada tes Covid rutin untuk karyawan.

Sebelumnya aku selalu negatif, pasti sekarang juga. Betapa kagetnya aku ketika hasilku postif Covid-19. Apalagi ini ya Tuhan.

Setelah mendapat kabar itu, sambil menunggu antrean di IGD aku terdiam menatap langit. Ini sudah penghujung bulan Juni, tinggal 3 bulan lagi menuju hari pernikahan kami. Mengapa semua jadi seperti ini? Aku harus apa?

Menangis pun aku tak bisa, karena aku harus memutar otak untuk isolasi diriku dan adikku. Kondisi nenekku yang makin lemah membuat kami harus keluar dari rumah dan mengasingkan diri sejauh mungkin dari beliau. Aku tak bisa menghubungi pasanganku, karena saat itu dia di dalam pesawat menuju ke kota lain karena proyek pekerjaan. Aku harus menguatkan diriku untuk bertahan dalam kondisi chaos ini.

Setelah mendapatkan resep obat, dengan badan lemas aku memacu mobilku melintasi jalan secepat mungkin. Setelah sampai rumah, kukemasi barang-barangku dan adikku. Tak sempat aku berpamitan pada nenekku, aku memacu lagi kendaraan ke apartment saudaraku. Kami mengasingkan diri berdua di sana. Aku masih tak bisa menangis malam itu. Tubuhku terlalu lelah. Aku jatuh tertidur dengan pesan pada calon suamiku untuk menjaga kesehatan karena aku positif Covid-19. 

Keesokan harinya, semua emosi meluap. Aku mulai kehilangan indra perasa dan penciuman. Semua terasa hambar dan tanpa bau. Aku mual, lelah, pusing, dan batuk semakin kencang. Kutelepon HP pasanganku, tapi dia masih di lokasi proyek hingga tak bisa mengangkat teleponku.

Hingga akhirnya tak kuat, aku menangis sejadi-jadinya. Cobaan macam apa ini Tuhan yang Kau berikan padaku?

Semua datang bertubi-tubi di saat hari pernikahan kami semakin dekat. Kepalaku ingin pecah memikirkan banyak hal yang terjadi. Perasaanku campur aduk, yang jelas tanpa rasa bahagia di dalamnya.

Hari demi hari terus kulewati, nyaris tiada hari tanpa air mata dalam setiap doaku. Tiada hari juga tanpa aku mengeluh pada pasanganku, mengapa semua terjadi bertubi-tubi? Untungnya laki-laki yang kupilih adalah laki-laki kuat. Saat aku dalam kondisi teramat sangat down, dia mampu berdiri teguh dan menguatkan aku unuk bertahan dan berserah padaNya. 

Hingga saat aku menulis tulisan ini, hasil test PCRku masih menunjukkan hasil positif. Calon suamiku sudah kembali ke kotaku, tapi aku hanya bisa melihat dari kejauhan karena aku tidak ingin dia tertular. Aku sangat sangat rindu padanya, tapi tentu saja aku tidak bisa memeluknya. Hanya bisa menatap dari kejauhan dan berkabar lewat HP. Perih hatiku.

Sungguh... Saat ini harusnya kami mempersiapkan hari pernikahan kami dengan hati gembira tapi kami malah harus berjauhan.

Ah ya, tentang dream weddingku hanya satu yang bisa kuselamatkan, mengenakan gaun putih di hari pemberkatan. Sisanya? Acara resepsi kami tidak mungkin terlaksana di tengah pandemi ini, semua mimpiku harus aku kubur.

Ikhlas? Ya, aku ikhlas. Aku sudah ikhlas melepaskan mimpiku, tidak ada yang lebih penting selain kesembuhanku, keluargaku, dan kesehatan keluarga kami. Jika memang aku harus melepas mimpiku untuk melihat keluargaku sehat, akan kulepas mimpiku. Mungkin Tuhan mau mengajarkanku, bahwa manusia boleh berencana namun tetap saja semua ada dalam kendali kuasa-Nya.

Hei, untuk kamu yang membaca tulisanku ini. Doakan aku dan adikku segera sembuh dari Covid19 ya. Doakan pula supaya nenekku segera pulih. Aku tidak ingin apa-apa lagi, cukuplah aku dan keluargaku dengan kondisi lengkap dan bahagia menyaksikanku mengucap janji pernikahan bersama calon suami dalam keadaan sehat. Semoga Tuhan mengabulkan permohonanku yang ini. Amin.

#ElevateWomen

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading