Sukses

Lifestyle

Kerasnya Masa Kecil Ibu Membentuknya jadi Perempuan Tangguh

Fimela.com, Jakarta Kenangan pada masa kecil takkan pernah terlupakan. Hari-hari dan waktu yang kita lewati saat masih anak-anak akan selalu membekas di hati. Masing-masing dari kita pun pasti punya kisah atau cerita paling membekas soal masa kecil itu, seperti pengalaman yang dituliskan Sahabat Fimela dalam Lomba My Childhood Story: Berbagi Cerita Masa Kecil yang Menyenangkan ini.

***

Oleh: Albiwi 

“Seumuran kamu dulu Nenek udah bisa cari uang sendiri, nggak minta-minta sama orang tua,” itu yang selalu Ibu ucapkan saat melihat cucu-cucunya manja dan merengek meminta sesuatu, meski nantinya Ibu akan menuruti apapun kemauan mereka. Tentu saja kalimat Ibu ditanggapi cucunya dengan mencebikkan bibir sambil berlalu, tanpa diperlihatkan pada Neneknya.

Kami, anak-anaknya sudah sangat hafal dengan tabiat Ibu, walaupun tampak keras di luar tapi selalu memiliki kelembutan yang tulus dan hangat di hatinya. Mungkin saja sifat keras Ibu dipengaruhi oleh masa kecil yang penuh perjuangan.

Dilahirkan pada tahun 50an, dalam keluarga besar, dengan dua puluh empat saudara kandung seayah beda ibu, tentu memiliki tantangan luar biasa dalam hidup Ibu. Tak terbayangkan bagaimana ramainya masa kecil Ibu dan saudara-saudaranya.

Ibu adalah anak keenam dari delapan bersaudara yang lahir dari istri pertama Kakek. Sedang enam belas saudara yang lain dilahirkan dari tiga istri muda Kakek. Kakek memperlakukan sama semua anak-anaknya, tak dibedakan mana anak istri pertama, kedua, ketiga atau istri muda. Jadi hubungan Ibu dengan saudara-saudaranya layaknya teman yang menjadi saudara. Rukun dan bahagia walau kadang juga dibumbui dengan pertengkaran-pertengkaran kecil yang akan reda saat Kakek sudah bersuara.

Kisah Ibu

Begitu hormatnya Ibu juga saudaranya terhadap Kakek, yang terkadang juga tercampur dengan rasa takut, sehingga jarang mereka membantah kehendak Kakek. Pun dalam hal pendidikan. Kakek beranggapan bahwa pendidikan agama merupakan hal utama dalam kehidupan. Maka selalu, setelah putra-putrinya lulus sekolah dasar, yang pada jaman itu disebut sebagai Sekolah Rakyat, Kakek akan mengirim mereka ke sebuah pesantren untuk belajar agama.

Begitu mereka menyelesaikan pendidikan pesantrennya, bagi anak gadisnya, Kakek akan memenuhi kewajiban sebagai orang tua yaitu mencarikan jodoh yang baik dan bertanggung jawab. Namun, seandainya jodoh itu datang di saat mereka masih di pesantren, tak segan Kakek akan membawanya pulang dan menikahkannya.

Tak heran, sebagian putri Kakek menikah di usia yang masih belia dan ada diantara anak-anak Kakek dan cucunya memiliki usia hampir sebaya karena di saat salah satu Nenek mengandung, saat itu pula Kakek menikahkan anaknya. 

Namun Ibu beda. Ibu memiliki pemikiran yang sedikit berlawanan dengan Kakek. Di saat banyak kakaknya yang menikah dan memiliki anak di usia muda, Ibu tak ingin hal itu terjadi padanya.  

Kakek memanglah seorang yang disegani di kampung halaman tempat Ibu tinggal. Selalu cerita Ibu bahwa Kakek memiliki tanah yang luas dan area persawahan berhektar-hektar, lumbung yang penuh padi dan pekerja yang banyak. Belum lagi istri-istri yang rukun dan anak cucu yang bermain dengan bahagia dan bergembira. Namun terkadang hal itu menjadi sebuah kesulitan bagi anaknya di saat tidak berada di lingkungan amannya. 

Ketika di rumah Ibu begitu dihormati dan disayang oleh para pekerja Kakek, namun saat di sekolah malah menjadi korban bullying teman-temannya. Suatu saat Ibu pernah berujar bahwa pernah di sekolah Ibu dimusuhi satu kelas dan tidak dibagi tempat duduk oleh teman-temannya sehingga terpaksa harus lesehan di ubin. Dan ketika guru bertanya mengapa Ibu ada di bawah, kompak teman sekelasnya berkata bahwa Ibu tak mau duduk di kursi. Tak hanya itu, Ibu juga dimusuhi ketika di luar sekolah. Selalu ada anak yang mengejek ataupun mencubit. Khas bullyan anak kecil. 

Saat itu Ibu masih berusia sepuluh tahun. Dan bagaimana hancurnya hati dan mental bocah sepuluh tahun mendapat perlakuan seperti itu. Saat itu Ibu tak begitu mengerti kenapa sikap dan perlakuan teman-temannya seperti itu. Mungkinkah karena sifat iri bahwa Ibu adalah anak orang berada? Tapi yang jelas, mulai saat itu Ibu enggan pergi ke sekolah, dan saat dipaksa pergi pada saat itu juga Ibu sakit. Berkali-kali Kakek meminta ibu sekolah, berkali-kali pula Ibu sakit.

Akhirnya Kakek menanyai Ibu dari hati ke hati tentang keinginan Ibu.

“Aku ingin sekolah di kota,” itu jawaban Ibu.

Kemudian, dengan tekad bulat dan keikhlasan orang tuanya, Ibu bersekolah di kota dengan dititipkan pada kerabat jauh Kakek. Bukan hal yang mudah bagi anak sepuluh tahun untuk melangkahkan kaki keluar dari zona aman dan berpisah dengan keluarganya. Tapi keteguhan hati Ibu mengalahkan rasa khawatir tentang jauh dari keluarga. Lingkungan sekolah dan teman-teman yang baru membuat Ibu bersemangat untuk belajar dengan lebih giat. Hanya saja masalah tak berhenti sampai di situ.

Kakek menitipkan Ibu kepada kerabatnya tentu tak hanya bermodalkan ucapan saja. Setiap bulan Kakek selalu mengirim bahan-bahan sembako yang tidak sedikit sebagai biaya kos Ibu. Jangan dibayangkan seperti sekarang bahwa sesuatu yang berharga diukur dengan uang, zaman dahulu beras merupakan sesuatu yang berharga dan untuk makan sehari-hari orang yang kurang mampu hanya bisa menkonsumsi olahan ketela yang disebut tiwul.

Jika beruntung mereka bisa memakan beras yang disebut beras Tekad, kepanjangan dari keTela Kacang dan Djagung. Maka cukup berharga jika kakek mengirimkan beras putih untuk kerabatnya yang diharapkan dengan beras itu keluarga yang menjaga Ibu bisa sejahtera, pun untuk makan Ibu tidak dibebankan pada mereka.

Namun, rupanya maksud Kakek kurang diterima baik oleh mereka.

Menempuh Pendidikan

Setiap pagi Ibu diminta bangun pagi untuk melakukan pekerjaan rumah. Bukannya tugas yang mampu dikerjakan bocah sepuluh tahun, seperti menyapu atau mencuci, Ibu harus memasak makanan untuk satu keuarga dengan menggunakan tungku kayu. Itu pun dilakukan di awal hari saat matahari belum muncul di ufuk timur. Tak hanya itu, untuk makannya, Ibu hanya dijatah dua sendok nasi tiwul saja. Bagai kisah sinetron yang sering muncul di TV, tapi itulah yang diceritakan Ibu. Setelah itu Ibu berangkat sekolah dengan berjalan kaki sekitar satu setengah kilo. 

Tak terbayangkan bagaimana laparnya Ibu saat di sekolah. Sampai akhirnya Ibu memiliki pikiran untuk mencari pengisi perut setelah sekolah di pasar yang kebetulan terletak dekat dengan sekolahnya. Bukannya membeli, Ibu mengais. Begitu miris. Bagaimana tidak, anak seorang yang terpandang di kampungnya, yang semua pekerja ayahnya menghormati dan menyayanginya harus kelaparan dan mengais makanan dari tempat yang tak seharusnya, dan itupun bukan karena kesalahannya. Mungkin itu pula yang membuat Ibu kuat dan mandiri di masa dewasanya.

Rumah kerabat Kakek yang juga ibu kos Ibu tak terlalu besar, sehingga di malam hari ruang tamu dijadikan sebagai tempat tidur untuk anak-anak. Pernah suatu ketika, di saat Ibu tidur bersama anak-anak ibu kosnya dengan keadaan lapar yang sangat, tiba-tiba Ibu merasa dan menyadari seseorang menepuk anak di sebelahnya.

Rupanya si ibu kos membangunkan seluruh anaknya kecuali Ibu. Tak berapa lama Ibu mencium bubur kacang hijau hangat yang menguar di seluruh ruangan. Ibu kos meminta anak-anaknya untuk makan tanpa Ibu. Tak terbayangkan bagaimana perasaan Ibu dengan perut lapar digoda harum kacang hijau tapi tak berani untuk membuka mata. Nelangsa.

Namun kesulitan Ibu hanya berlangsung selama enam bulan. Karena pada bulan keenam Kakek datang untuk menengok Ibu, dan betapa terkejutnya Kakek melihat keadaan Ibu yang lebih kurus daripada sebelum datang ke kota. Tanpa banyak meminta penjelasan, Kakek membawa Ibu keluar dari rumah itu dan memidahkan ke rumah kerabat lain karena Ibu masih ingin bersekolah di kota.

Beruntungnya, kerabat Kakek yang satu ini memiliki hati yang baik dan sayang kepada anak-anak. Ibu dirawat dengan baik dan hanya boleh mengerjakan pekerjaan rumah yang ringan saja. Pun dalam hal makanan selalu diperhatikan. Sampai lulus sekolah bahkan saat melanjutkan di jenjang yang lebih tinggi, Ibu tetap berada di rumah itu. Rupanya tekad Ibu membuat Kakek tersentuh dan membiarkan adik-adik Ibu mengikuti jejak Ibu, bersekolah lebih tinggi walaupun harus tetap mengenyam pendidikan di pesantren untuk satu atau dua tahun. 

Sampai akhirnya Ibu lulus sekolah keguruan yang pada waktu itu di sebut PGA atau Pendidikan Guru Agama yang sekarang setara dengan SMA, Ibu diterima sebagai pengajar di suatu lembaga pendidikan. Merupakan prestasi yang membanggakan bagi Ibu karena dari sekian banyak anak Kakek hanya dua orang anak perempuan Kakek yang menjadi pengajar, Ibu dan satu adik Ibu. Selain itu ada dua adik lelaki Ibu yang menjadi dosen. 

Tak terpikir bagaimana jika Ibu tidak meminta bersekolah di kota dan kuat menjalani enam bulan kelaparan, mungkin Ibu akan cepat menikah dan memiliki anak di usia muda tanpa melalui pengalaman dan menggapai cita yang diinginkan. 

Untuk kami, anaknya juga cucunya, Ibu selalu memperhatikan kebutuhan kami saat jauh dari rumah. Ibu tak ingin hal sama terjadi pada anak cucunya. Bagi Ibu cukuplah hanya beliau yang mengalami kesusahan dan kesulitan di masa mudanya, tidak bagi keturunannya.

Terima kasih Ibu, semoga tekad kuat dan kesabaranmu menular kepada kami untuk menjadi orang yang tangguh di kehidupan ini.

 

#ElevateWomen

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading