Sukses

Lifestyle

Kesukaan Membaca dan Belajar sejak Kecil Membantuku jadi Perempuan Bahagia

Fimela.com, Jakarta Kenangan pada masa kecil takkan pernah terlupakan. Hari-hari dan waktu yang kita lewati saat masih anak-anak akan selalu membekas di hati. Masing-masing dari kita pun pasti punya kisah atau cerita paling membekas soal masa kecil itu, seperti pengalaman yang dituliskan Sahabat Fimela dalam Lomba My Childhood Story: Berbagi Cerita Masa Kecil yang Menyenangkan ini.

***

Oleh:  Anna Fitri

Kurangkai kisah kenangan indah masa kecil ini di meja belajarku. Meja belajar biru yang hingga kini masih setia menemaniku. Tertulis di salah satu sudutnya, 1 Maret 1986, tanggal dibelinya meja belajar ini oleh bapak ibuku di saat aku duduk di kelas 1 SD.

Aku anak pertama dari dua bersaudara. Pendiam, introvert, pemalu, penakut, sangat dekat dengan bapak dan ibu. Tidak seperti layaknya teman-temanku, aku tidak suka bermain di luar rumah, karena aku tidak nyaman ketika jauh dari bapak ibuku.

Aku lebih senang ada di rumah. Membaca dan belajar. Majalah Bobo dan Ananda menemani hari-hariku. Setiap kali bapak pulang kerja membawa Bobo atau Ananda, aku membaca dengan sangat lambat. Supaya awet. Karena kalau aku membaca  dengan kecepatan normal, dalam waktu 30 menit majalah itu sudah habis kubaca. Dan itu sayang sekali, karena baru dua minggu kemudian majalah edisi berikutnya akan terbit.

Caraku membaca majalah kuawali dari bagian yang menurutku paling tidak menarik, yaitu iklan-iklan.  Kemudian berpindah ke bagian yang sedikit lebih menarik, surat dari pembaca. Lalu berpindah ke bagian yang lebih menarik, misal resep makanan atau kreasi hasta karya.

Setelah itu sebagai gongnya adalah bagian paling menarik menurutku, yaitu  cerita bergambar, cerita pendek dan cerita bersambung. Sebetulnya kegiatan membaca belum berakhir karena masih ada dua halaman berisi latihan soal berbagai pelajaran untuk kelas IV, V dan VI. Namun bagian ini jarang kubaca. Karena kadang materinya tidak cocok dengan yang diajarkan guru kepadaku. Namun kadang kubaca juga bagian itu kalau sedang kehabisan bahan bacaan.

Selain majalah Bobo dan Ananda, bapak juga sering membelikan buku-buku cerita anak untukku. Sebulan sekali kami berkunjung ke toko buku Sari Ilmu yang terletak di Jalan Malioboro. Rutin sebulan sekali karena bertepatan dengan jadwal kontrolku ke dokter spesialis penyakit dalam yang buka praktek di belakang Malioboro. Dulu ada flek di paru-paruku. Alhamdulillah setelah dua tahun rutin berobat, aku diberi kesembuhan.

Kembali ke hobi masa kecilku. Buku-buku karangan Enid Blyton adalah favoritku masa itu. Ada cerita  petualangan yang mendebarkan dan membuat penasaran, misal lima sekawan, pasukan mau tahu, dan empat serangkai. Lalu ada cerita keseruan tinggal di sekolah asrama putri, misal Mallory Towers dan St Clare.

Selain buku karangan Enid Blyton, aku juga sering membaca buku seri trio detektif dan STOP. Kebetulan sepupuku juga suka membaca. Kami sering saling bertukar buku cerita. Meskipun latar ceritanya jauh dari kehidupan kami, tetapi kami bisa menikmati.

Asyiknya berimajinasi ikut bertualang ke laut, gunung, gua, bertemu dan mengalahkan perampok, penyelundup, pencuri. Membayangkan serunya mengadakan pesta tengah malam di sekolah berasrama sungguh memberikan sensasi tersendiri. Hingga saat ini koleksi bukuku masih tersimpan rapi di rumah ibuku. Semoga suatu saat nanti terbaca oleh anak-anakku.

Di luar hobiku membaca, aku adalah anak yang rajin belajar. Entah kenapa aku suka belajar. Bahkan ketika bepergianpun aku membawa buku catatan pelajaranku. Tanpa disuruh oleh bapak ibuku, aku dengan penuh kesadaran menghabiskan sepanjang waktuku untuk belajar.

Kadang aku berperan menjadi guru. Dengan papan tulisku, aku menjelaskan proses meletusnya gunung berapi kepada bonekaku. Aku bisa mengingat sesuatu yang sulit dengan caraku. Misal untuk mengingat Kapilawastu, tempat tinggal Siddartha Gautama, aku ingat salah satu nama restoran di Malioboro yang sering aku lewati ketika aku harus kontrol ke dokter. Nama restorannya adalah Kaping. Agak jauh memang, tapi paling tidak hal itu memancingku untuk ingat suku kata berikutnya.

Ketika kelas 1 SD, setiap kali harus mencongak atau didikte oleh bu guru, aku harus mendapat nilai sempurna. Jika kebetulan aku kurang teliti, meski hanya salah satu nomor, sepanjang sisa hari itu aku akan diomeli oleh bapak ibuku. Sama seperti ketika aku diomeli karena nekat jajan es gosrok yang menyebabkanku batuk berhari-hari.

Momen kenaikan kelas adalah momen mengharukan. Setiap kali Ibu mengambil rapor dan menerima pengumuman bahwa aku juara 1 paralel kelas, ibu akan menghujani aku dengan ciuman hingga pipiku berlepotan lipstick merah ibuku. Maklum waktu itu belum ada lipstick matte, colourstay apalagi liptint Korea. Ya, bekas lipstick ibu tertinggal di pipiku. Agak malu pada teman-temanku, tapi aku puas dan bangga pada diriku sendiri, aku berhasil menjadi juara.

Anak rajin dan pintar adalah kesayangan guru. Banyak guru menyayangiku. Tapi tidak dengan Pak Kirjo, guru matematika killer. Sebetulnya status beliau adalah guru SD sebelah. Tapi entah kenapa bisa mengajar kelasku juga.

 

Kesukaan Belajar dan Kebahagiaan yang Kudapatkan

Pak Kirjo guru berusia lanjut dengan rambut putih dan kacamata  tebal. Hari yang indah bisa berubah menjadi hari yang mengerikan ketika Pak Kirjo masuk ke kelas. Beliau adalah guru dengan suara yang menggelegar, jeweran kuping yang menyakitkan, tamparan pipi yang keras dan coretan kapur di pipi yang cukup memalukan. Itu adalah sederetan hukuman untuk anak-anak yang tidak dapat mengerjakan soal matematika yang beliau tugaskan.

Aku adalah anak yang penakut. Setiap kali ada Pak Kirjo, luluh lantak rasanya tubuhku. Otak yang biasanya cemerlang mendadak macet karena ketakutan. Pernah ketika aku ditanya oleh Pak Kirjo, aku bisa menjawab dengan benar. Namun karena saking takutnya, aku menjawab dengan suara sangat pelan.

Ditanya berkali-kali oleh Pak Kirjo, suaraku semakin tenggelam. Akhirnya aku disuruh berdiri di atas mejaku sambil mengulangi jawabanku. Dengan gemetar aku bangkit dan naik ke mejaku.  Aku berusaha menjawab dengan suara paling keras yang aku miliki. Kelas senyap. Tidak ada seorangpun berani menertawakanku. Namun setelah Pak Kirjo berlalu, sontak aku ditertawakan dan diejek teman-temanku. Sungguh hari tak terlupakan. Sang juara harusnya berdiri di atas podium, bukan berdiri di atas meja sekolah karena dihukum Pak Kirjo.

Selama duduk di bangku SD aku pernah mewakili sekolah menjadi dokter kecil, seleksi pelajar teladan, dan cerdas cermat P4. Meskipun tidak membawa hasil yang memuaskan setidaknya aku mendapatkan pengalaman berharga.

Selama enam tahun di SD, enam kali berturut-turut aku juara 1. Perolehan nilai ujian akhirku pun sangat tinggi, sehingga aku bisa mendaftar di SMP favorit di Jogja. Sekolah yang sama dengan bapakku dulu.

Di SMP pun prestasiku bagus. Hingga bisa lenjut ke SMA favorit di Jogja. Ketika awal masuk SMA, pada akhir masa pengenalan sekolah, tepat pada Hari Anak Nasional, 23 Juli 1995, aku meraih juara 3 peserta terbaik penataran P4. Senangnya hatiku. Lulus SMA aku lanjut ke salah satu PTN favorit di Jogja.

Jenjang S1 dan S2 kutempuh di PTN ternama tersebut, dengan beasiswa. Uniknya, dari SD hingga kuliah S2, catatanku selalu rapi dan lengkap hingga banyak teman yang tergoda meminjamnya. Bahkan sering aku kehilangan jejak melacak di mana catatanku berada.  Berkat catatanku pula, ada cowok jatuh cinta padaku hingga akhirnya menjadi suamiku.

Itulah masa kecilku yang kuhabiskan dengan belajar. Kini aku melanjutkan pengabdian Pak Kirjo menjadi seorang guru. Berusaha meneladani totalitas beliau dalam mendidik murid-muridnya agar rajin belajar. Namun aku bukan Pak Kirjo. Aku mendidik murid dengan caraku sendiri.

Aku tidak ingin membuat muridku rajin belajar karena ketakutan. Aku ingin membuat muridku rajin belajar karena mereka mencintai belajar. Mereka harus menyadari bahwa belajar itu memang kebutuhan untuk mempersiapkan masa depan. Belajar pada zaman sekarang tidak harus dengan membaca buku. Banyak alternatif cara belajar. Mungkin caraku mendidik ini tidak seratus persen berhasil. Tidak apa. Setidaknya aku sudah berusaha memberikan yang terbaik yang aku bisa.

Jika sepanjang hari melihatku  di depan laptop, suamiku sering mengolok-olokku, “Bojoku ki sinauuuu terus,” Artinya, istriku belajar terus. Aku suka geli mendengarnya. Ya. Mencintai belajar. Hingga saat ini aku masih suka belajar. Belajar di meja belajar kesayanganku ini.

#ElevateWomen

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading