Sukses

Lifestyle

Tak Perlu Menunggu Pengakuan dan Pujian untuk Mencintai Diri Sendiri

Fimela.com, Jakarta Kita semua pasti pernah merasakan perasaan tak nyaman seperti rendah diri, sedih, kecewa, gelisah, dan tidak tenang dalam hidup. Kehilangan rasa percaya diri hingga kehilangan harapan hidup memang sangat menyakitkan. Meskipun begitu, selalu ada cara untuk kembali kuat menjalani hidup dan lebih menyayangi diri sendiri dengan utuh. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Bye Insecurities Berbagi Cerita untuk Lebih Mencintai dan Menerima Diri Sendiri ini.

***

Oleh: Oliv

Aku bangga melihat diriku sendiri di pantulan cermin itu. Senyum lebarku yang membuatku begitu menawan. Semua yang ku punya begitu sempurna. Cermin itu membuatku merasa nyaman. Tak terhitung sudah berapa lama aku berdiri dis ana. Namun, seketika rasaku patah saat melangkah keluar kamar. Kakakku nyeletuk, “Kamu gemukan deh, makanya jangan keseringan makan." Senyumku berkurang seinci.

Baru beberapa langkah keluar dari halaman, seorang tetangga menyapa dengan ramah. 

 “Eh, mau ke mana, Nak? Makin cantik ya sekarang. Tapi, nggak cocok deh rambutnya dikuncir gitu, mukanya jadi kelihatan bulat."

“Iya tante,”  jawabku sopan.

Tibalah aku di sebuah kafe yang cukup ramai hari itu. Saat melangkahkan kakiku ke dalam ruangan pandangan tanpa suara membuatku sedikit tak nyaman.

Teman-temanku yang melihat kedatanganku segera melambaikan tangan. Aku bergegas ke sana. Mereka menatapku dari atas hingga ke bawah. Salah seorang teman tanpa menyapa segera berkata

 “Mulai jatuh cinta ya sekarang, tuh jerawatnya makin banyak."

 “Kamu nggak make up-an ya, kelihatan kusam gitu mukanya." Yang lainnya ikut-ikutan nimbrung. “Harusnya kamu pakai warna lain deh, yang ini nggak cocok sama warna kulit kamu."

 “Jangan tersinggung ya, kita kan best friends, so kita nggak boleh fake or ngomong di belakang ya kan?" Senyum ceriaku berganti kecut.

 “ Ya, we are best friends,so that’s ok," ujarku pelan.

Dari kejauhan seorang yang cukup familier terus menatapku. Tak berselang lama ia mendatangi meja tempat aku dan teman-temanku duduk.

“ Hei, kamu ingat aku? Aku Andi”.

 “Oh, hai."

Andi, seorang teman di sosial media yang setahunan ini menjadi begitu dekat denganku. Kami sangat akrab bahkan sering chatting. Dan ini pertama kalinya kami bertemu di dunia nyata. Pertemuan yang tak terduga.

“Senang bisa bertemu denganmu, by the way aku balik dulu ya ke mejaku," ujarnya.

“Iya, baiklah," aku tak menyangka hanya dua kalimat itu yang bisa kuucapkan padanya.

“Wow, tampannya. Tapi nggak mungkin lah yah, cowok setampan dia cocok sama kita-kita, iya kan?"

Teman-teman menggodaku. Aku lagi-lagi hanya tersenyum menyetujui setiap perkataan mereka.

Handphone ku bergetar, sebuah pesan masuk disana. “Kamu nggak secantik yang di medsosmu,” bunyi pesan itu. Aku terkejut, hampir saja aku muntahkan minuman dalam mulutku.

Aku menatap ke arah meja Andi. Dia sudah pergi.

“ Are you ok?”  temanku bertanya.

“ Ya, aku baik-baik saja,” ujarku menahan tangis.

Tak ada lagi yang tersisa dariku, senyumku sudah benar-benar hilang.

Sepulangnya dari tempat itu, aku dan seorang teman menuju ke mobilnya. Dia yang akan mengantarku pulang.

Di parkiran, sekelompok pria muda nampak berkerumun. Seketika pandangan mereka tertuju pada kami. Lantas mulailah mereka menggoda. Saat aku membalikan badan, sontak salah seorang dari mereka berkata

“Ah, bukan mbak. Maksudnya mbak yang itu,” sambil menunjuk temanku. Dan saat yang sama temanku berbalik. Serentak mereka bersahutan.

“Nah, yang ini kan enak lihatnya. Bisa kenalan nggak mbak?"

Temanku hanya tersenyum ke arah mereka dan masuk ke dalam mobil. Rasa percaya diriku lenyap berganti dendam dan amarah. Tapi kutahan sekuat tenaga. Aku membenci semua orang hari ini, pun juga diriku sendiri. 

 

Menerima Diri Apa Adanya

Di kamar, aku kembali ke cermin yang sama. Tapi perasaanku tak lagi sama seperti sebelum berangkat.

“Kau bohong! Aku jelek. Aku tidak sempurna. Tak ada yang perlu aku banggakan! Kenapa semua orang sama saja. Keluarga, tetangga, teman dunia nyata, teman dunia maya bahkan orang asing pun sangat pandai menghakimi."

Aku menangis tanpa henti. Aku ingin menjadi orang lain cukup sehari saja. Merasakan  diterima, dipuja-puji. Toh semua manusia butuh pengakuan dan pujian dari orang lain. 

Satu jam berlalu. Tak peduli berapa banyak caci dan maki  yang aku lontarkan, rasanya tetap sama saja, aku terluka parah di dalam. Yang nampak di cermin itu hanya aku si gadis biasa. Tak ada yang mendengarkan apalagi memberi kekuatan.

Sesaat, mataku bertatap dengan bayangan yang sama. Mata yang penuh luka itu berkata “Kenapa kau melukai dirimu sendiri? Lantas apa kau lega sekarang? Kau terlalu membiarkan orang lain memberikan nilai dan standarnya atas dirimu, dan yang lebih parah lagi kau sendiri mengambil kesimpulan yang sama dan menghakimi dirimu sendiri."

"Kau terluka atas ucapan mereka, itu benar. Tapi yang kau lakukan pada dirimu sendiri, berlipat-lipat rasa sakitnya. Kau menghabiskan waktumu dengan memikirkan omong kosong mereka. Padahal yang bisa mengatur perasaanmu hanyalah dirimu sendiri."

"Seburuk apa pun ucapan mereka hanya kau yang pantas mengatur untuk menerima atau mengabaikan ucapan itu. Jika yang bisa membuatmu bahagia adalah dirimu sendiri, maka bawalah cermin itu ke mana pun kau pergi agar saat kau merasa tak berharga, kau akan menatapnya dan memberi senyumu yang paling menawan."

Kini Lebih Bahagia

"Itulah pengingatnya. Biarlah mereka terus menilaimu dan kau akan terus menemukan dirimu yang lain, yang lebih berarti dari sekadar menjadi cantik. Mereka boleh masuk dan keluar dalam hidupmu tapi hanya kau yang paling berhak menentukan standar dan perasaanmu sendiri."

Tangisku berhenti. Kuusap air mataku, tersenyum dan perlahan berkata, “Ya, aku baik-baik saja sekarang, dan aku akan baik-baik saja sekalipun tanpa pengakuan dan pujian."

 Ini adalah kisahku yang aku alami saat berkuliah, dan sekarang tak peduli tak sesempurna apa pun aku, aku adalah orang yang lebih pandai bersyukur dan menerima diriku apa adanya, apalagi saat ini aku adalah seorang guru yang akan menghadapi lebih beragam kisah mengenai anak didikku yang salah satunya mungkin mengenai insecurities.

Dan aku sangat berharap siapa pun yang membaca ini bisa termotivasi menjadi lebih baik lagi. Terima kasih Fimela untuk kesempatan membagi kisahku.

#WomenforWomen

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading