Sukses

Lifestyle

Menerima dan Memaafkan Keluarga Sendiri, Jalan Terbaik Menuju Kedamaian

Fimela.com, Jakarta Di bulan Juni ini, Fimela mengajakmu untuk berbagi cerita tentang keluarga. Untuk kamu yang seorang ibu, anak, mertua, menantu, kakak, atau adik. Ceritakan apa yang selama ini ingin kamu sampaikan kepada keluarga. Meskipun cerita tak akan mengubah apa pun, tapi dengan bercerita kamu telah membagi bebanmu seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela dalam Lomba My Family Story: Berbagi Cerita tentang Sisi Lain Keluarga berikut ini.

***

Oleh: Ananda Dolores

Malam itu mataku terpejam, mencoba tertidur di dalam mobil. Aku duduk di bangku depan bersama Bapak, di samping Om Ugi, sopir keluarga kami yang setia. Bapak dan Om Ugi berbincang sepanjang perjalanan.

Suara mereka sayup-sayup meninabobokkanku. Mata ini pun terpejam, semakin lelap. Tiba-tiba aku merasakan tangan meraih tubuhku, menepuk-nepuk bahuku setelah menaruh jaket tebal untuk menghangatkan badanku. Aku berusaha nampak terlelap meski hatiku bergolak, sebuah moment yang sangat langka. Tangan itu adalah tangan Bapak, yang selama ini jarang menyentuhku.

Barangkali saat aku masih balita adalah terakhir kalinya Bapak sering menggandengku, memotong kuku-kuku tanganku, dan memastikan aku tidak terjatuh dari sepedaku. Namun setelah hubungan Bapak dan Ibu merenggang, aku jarang menikmati belaian Bapak.

Aku lebih sering berlari ke Ibu, seorang yang begitu paham isi hatiku. Bapak lebih sebagai tempat aku melapor nilai ulangan dan sesekali mengambil raportku. Aku tidak tahu apakah yang dipedulikannya adalah aku atau nilai raportku. Bagiku itu sebuah tanda tanya besar. Bapak sedikit berbicara, dan hanya marah ketika nilai matematikaku nyaris merah.

 

 

Memahami Karakter Ibu dan Bapak

Kami serumah, tanpa terkecuali semua tunduk kepada Bapak. Meskipun keputusannya seringkali menyebalkan. Harus tidur sebelum jam 9 malam setiap hari, bahkan saat malam tahun baru. Tidak ada tawar-menawar. Acara TV yang pasti heboh hanya bisa kubayangkan di balik selimutku.

Aku benar-benar merindukan masa kecil di mana Bapak sering hadir menemani waktu bermainku. Bapak juga yang memaksa agar aku mandi sore tepat waktu untuk selanjutnya diajaknya pergi ke rumah Om Toto sahabatnya. Di sana aku terbiasa bermain dengan anak-anak Om Toto yang sebaya denganku. Meski mereka semuanya adalah anak lelaki, aku cukup menikmati.

Dan malam itu tangan Bapak masih di pundakku. Air mataku nyaris menetes, namun kutahan agar Bapak tidak melihatku menangis. Aku sangat menikmati tangan berat kekar itu merapat di bahuku. Kukira Bapak sudah tidak menyayangiku.

Justru di malam terakhir kami bersama, dalam perjalanan menuju kampus yang akan aku tinggali selama beberapa tahun ke depan, aku merasakan kembali kasih sayang Bapak yang sempat hilang. Tuhan, buatlah sebuah kemacetan atau apa pun agar tangan Bapak selama-lamanya ada di bahuku.

Bapak dan Ibu adalah dua orang yang sangat berbeda. Ibu anak sulung, Bapak anak bungsu. Ibu pandai berhitung, Bapak pandai menggambar. Ibu adalah orang yang mengayomi keluarga besar dan adik-adiknya, Bapak orang yang tak mau kalah dengan semua argumennya. Ibu adalah tanah yang menyuburkan, Bapak adalah api yang membara, siap meledak kapan saja.

Bertahun sudah Ibu bertahan selalu mengalah. Adalah sebuah dilema antara tetap menuruti suami atau membantu keluarga besarnya. Seringkali ibu harus sembunyi-sembunyi dalam membantu menafkahi adik-adiknya. Padahal ibu berhak memanfaatkan hasil keringatnya sendiri.

Dalam berbakti kepada suami dan mertua, Ibu sama sekali tak ada kurangnya, tak perlu diragukan lagi. Dari raut muka Ibu, sangat tampak pergolakan batin yang mendalam. Andai saja Bapak tidak sesinis itu kepada keluarga besar Ibu, tentu kesedihan itu akan sirna.

Aku sungguh tak paham apa yang ada di benak Bapak sehingga susah menerima keluarga Ibu. Barangkali yang ada di pikirannya mereka tak lebih dari orang-orang yang menghabiskan gaji istrinya. Adik-adik Ibu memang hampir semuanya membutuhkan dukungan finansial. Bapak tidak pernah berada di posisi Ibu, yang menjadi tulang punggung di keluarga besarnya. Dan inilah awal pertikaian mereka.

Aku memilih tenggelam di kamar dengan buku dan musik yang mengiringi malam-malamku. Andai saja waktu bisa dipercepat, aku akan lebih bahagia pergi dari rumah ini demi tidak mengalami hari-hari yang dingin, sedingin hubungan Bapak dan Ibu. Dan hari itu, keberangkatanku melanjutkan studiku adalah hari yang sangat kunanti. Hari di mana aku bisa bernafas lega tanpa melihat kebekuan dan pertengkaran orang tuaku.

 

Memaafkan dan Mengikhlaskan

Andai saja semua semudah itu, ternyata aku keliru. Tepukan di bahu itu membuatku ingin balas mendekap sosok tegap di sebelahku. Namun aku tak mampu. Aku hanya terdiam. Malam itu aku kembali mendapatkan diriku sebagai anak yang disayangi dan diinginkan. Bukan hanya anak yang dimarahi karena kenakalan. Seolah aku mendapatkan kembali kasih sayang Bapak, yang mungkin sebenarnya masih ada selama ini, namun tak kunjung nampak.

Lima tahun menyelesaikan kuliah, aku ingat betul saat Bapak tersenyum bangga dengan keberhasilanku. Ibu terlihat begitu tua dan rapuh, namun tak kalah bahagia dengan kelulusanku. Mereka belum terlalu akur, namun aku tetap mendoakan yang terbaik.

Hari-hari setelahnya aku kembali mendapatkan pertengkaran mereka yang berujung pada menurunnya kesehatan Ibu. Semua berbuat sekuat tenaga dalam menjaga Ibu, kecuali Bapak yang terlalu gengsi atau mungkin masih belum menerima Ibu.

Ibu meninggal tiga tahun kemudian, di malam sebelumnya tangan Bapak dan Ibu erat berjabatan, sebagai tanda keduanya saling memaafkan. Rasa sedih luar biasa kehilangan Ibu yang selalu menjadi tempatku berlari juga sebagai sumber kekuatan. Ada rasa marah kepada Bapak yang tidak sepenuh hati merawat Ibu. Ada kalanya setan berbisik menghembuskan angan-angan, Ibu tidak akan pergi secepat itu jika bukan karena Bapak.

Hari-hari terasa sangat berat dengan menyimpan amarahku atas perlakuan Bapak kepada Ibu. Aku berusaha keras mengingat-ingat kebaikan Bapak untuk membunuh rasa benci dan dendam itu.

Masa-masa kecilku bersama Bapak, malam itu saat mengantarkanku ke kampus, juga saat Bapak menikahkan aku. Seiring berjalannya waktu, aku sembuh dari rasa benciku. Dalam sujudku aku seperti diingatkan bahwa Tuhan Maha Pengampun, dan kebencian hanya akan menyiksaku.

Lambat laun aku memaafkan Bapak. Bagaimana pun, aku adalah darah dagingnya.

Semua yang terjadi adalah ketetapan yang terbaik dari Sang Pencipta. Sebuah perjalanan hidup yang cukup berat dan pahit, namun tidak boleh membuatku hancur dan melupakan betapa Bapak pun berjasa bagi anaknya.

Yang terbaik adalah ikhlas dan menjaga Bapak dengan baik di hari tuanya, sebagaimana Bapak dulu pernah selalu menjagaku. Semoga Tuhan memberi kekuatan dan mengasihi kami setiap waktu.

 

 

 

#WomenforWomen

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading