Sukses

Lifestyle

Bapak, Buku-Buku, dan Pesan Tak Sampai yang Kini dalam Kenangan

 

Fimela.com, Jakarta Di bulan Juni ini, Fimela mengajakmu untuk berbagi cerita tentang keluarga. Untuk kamu yang seorang ibu, anak, mertua, menantu, kakak, atau adik. Ceritakan apa yang selama ini ingin kamu sampaikan kepada keluarga. Meskipun cerita tak akan mengubah apa pun, tapi dengan bercerita kamu telah membagi bebanmu seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela dalam Lomba My Family Story: Berbagi Cerita tentang Sisi Lain Keluarga berikut ini.

***

Oleh: Ratri Ade Prima Puspita

Bercerita tentang bapak, tidak jauh dari buku. Bagiku, Bapak lebih gampang dimintai duit untuk beli buku ketimbang uang untuk jajan. Kalau aku ingin jajan, ibulah tujuanku. Tidak hanya soal uang jajan, kalau menginginkan sesuatu seperti baju baru, misalnya, aku harus menunggu datangnya hari raya.

Bagaimana kalau kepengin sepatu baru? Ingatanku mengatakan, bukan perkara mudah minta dibelikan sepatu baru, sementara sepatu lama masih bisa dipakai. Sepatu baru akan didapat, jika sepatu lama sudah tidak dapat dipakai. Entah itu rusak, entah sudah sempit. Bisa jadi, itulah bentuk nyata mengelola uang dan mendidik anak.

Kesanku, Bapak bukanlah seorang bibliophile apalagi bibliomania. Sesekali saja Bapak terlihat membeli buku. Apakah Bapak termasuk kaum pemilih buku? Bisa jadi he-he-he.

 

 

 

 

Bapak yang Selalu Membelikan Buku

Aku jarang melihat Bapak meluangkan waktu bersama buku. Bapak pun tidak memiliki rak khusus untuk menyimpan buku-bukunya. Namun, hati Bapak luluh untuk urusan buku. Bapak tidak pernah pelit jika anaknya ingin beli buku. Sekalipun aku harus memenuhi syarat dengan memijit punggung Bapak lebih dulu, tapi proposal pembelian buku dipastikan “tembus”! Jikalau bukunya mahal? Bapak akan mengusahakan, asalkan buku itu betul-betul dibaca.

Serat Centhini buktinya. Kala itu, aku, yang masih berstatus mahasiswi, ke lapak buku di Taman Pintar, Yogyakarta, bersama seorang kawan. Maksud hati hanya lihat-lihat buku saja. Tidak berniat membeli buku. Uang di dompetku pun hanya cukup untuk jajan.

Tak dinyana, mata kami tertuju pada buku-buku yang sungguh kami kenal: Serat Centhini! Seperti menemukan harta karun rasanya. Spontan kami bertanya soal harga sekaligus meneliti kondisi fisik buku-buku tersebut. Tanpa banyak kata, aku dan kawanku bersepakat: buku-buku itu harus jadi milik kami. Apapun caranya.

Tak rela rasanya membiarkan Serat Centhini yang berjumlah 12 buku itu jadi milik orang lain. Dan di hari yang sama ketika aku melihat buku itu, Bapak membelikanku satu set lengkap. Total harganya tidak murah, kuakui, tapi Bapak membelikannya untukku. Tepatnya, demi mendukung studiku.

Ah, rupanya tidak selamanya Bapak mampu membelikanku buku. Bahkan membelikan buku demi sebuah nostalgia kecil. Terkesan remeh: aku cuma ingin mengenang masa-masa ke toko buku bersama Bapak dan Bapak akan ingat masa-masa berboncengan motor ke Taman Pintar.

Pesan yang Tak Sampai

Bapak akan ingat ketika Bapak menungguku berburu buku klasik bekas sembari makan nangka kupas di emperan Taman Pintar. Kukirim pesan berisi permintaan beli buku ke Line Bapak. Kusebutkan judul demi judul buku yang kumau. Empat judul semuanya. Kusampaikan pula harga dan nama tokonya.

Ternyata, pesan yang kukirim ke Line Bapak tidak kunjung dibalas. Sudah berhari-hari tepatnya. Dibaca pun tidak. Saat itu aku berpikir, mungkin bapak tengah berada di suatu tempat, untuk bekerja, seperti biasanya, yang membuat komunikasi kami tersendat.

Hampir tiap hari, aku berharap ada tanda “read” untuk pesan yang kukirim. Aku sudah membayangkan, pesanku dibaca oleh Bapak, kemudian janjian ketemu, kami pergi ke toko buku bersama, dan ta da… buku-buku yang diinginkan akhirnya kumiliki.

Anganku tak sesuai kenyataan. Aku malah menerima kabar tidak mengenakkan dari salah seorang anggota keluarga: Bapak sakit dan dirawat di rumah sakit.

Seumur hidup, baru kali itu aku mengalami yang namanya bak disambar petir di siang bolong. Terakhir kali bertemu, Bapak tampak sehat. Badannya memang agak kurus, tapi kupikir lantaran aktif mengayuh sepeda atau berolahraga. Tiap kami bertukar kabar lewat Line, Bapak tak lupa mengingatkan anak-anaknya supaya jaga kesehatan. Jauh sekali dari pikiranku Bapak tengah bergulat dengan sakit. Selama ini Bapak membungkam mulut keluarga supaya anak-anaknya tidak ada yang tahu kondisinya.

Bapak Berpulang untuk Selamanya

Penderitaan Bapak selesai di bulan Agustus 2020. Di tengah wabah Covid-19 yang menghantui dunia, Bapak menyusul Ibu kembali ke rumah Tuhan. Hanya selisih dua tahun. Aku terpukul.

Rasanya ingin menangis, berteriak, memaki. Aku merasa tidak punya siapa-siapa lagi. Aku merasa sendirian. Melihat anak-anak yang berjalan di sisi ayahnya sembari bergandengan tangan, memantik iri hingga ke dasar hati. Namun, yang pergi telah pergi meski buku belum sempat terbeli.  

Jika selama ini kita lebih banyak bercerita tentang ibu, maka aku ingin berdiri di sisi yang berseberangan dengan cerita-cerita tentang ibu. Aku ingin cerita tentang bapak. Bagaimanapun sosok bapak menjadi penyeimbang sosok ibu.

Kita lahir ke dunia berkat bapak dan ibu, terlepas dari aneka peristiwa, yang menjadi latarnya. Ceritaku pun bukan dimaksudkan untuk mengiba. Aku hanya ingin membagikan cerita yang sesungguhnya belum banyak diketahui orang, termasuk keluargaku sendiri. Harapku, cerita ini menjadi kenangan baik antara seorang anak dengan bapak sekaligus membantuku sembuh dari luka batin.

Bapak tahu anaknya book sniffer, yang kerap kali tanpa sadar mengendus aroma buku. Dan sesungguhnya, Bapak telah menerima pesan yang kukirim. Lalu, Bapak titipkan uang untuk beli buku melalui orang-orang baik yang berada di sekelilingku. Agar membelikan buku itu untukku. Dari Bapak. Aku yakin itu. 

#WomenforWomen

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading