Sukses

Entertainment

5 Film Indonesia yang Mengkampanyekan Anti Kekerasan Pada Perempuan

Fimela.com, Jakarta Gerakan 16 Hari Menolak Kekerasan Terhadap Perempuan berlangsung setiap 15 November-10 Desember. Berbagai kegiatan dilakukan untuk terus menolak adanya kekerasan pada perempuan. Kampanye digaungkan karena kekerasan dan kasus pelecehan terhadap perempuan, hingga kini masih seperti gunung es, yang terungkap hanya bagian kecil saja.

Bahkan dalam film Indonesia, tema kampanye anti kekerasan pada perempuan juga menjadi salah satu konsentrasi. Berikut 5 film Indonesia yang mengkampanyekan anti kekerasa pada perempuan.

 

1. Cau Bau Kan

Nia Dinata mendobrak film Indonesia pada tahun 2002 lewat film Ca Bau Kan. Film ini merupakan awal lahirnya sutradara perempuan sekaligus film pertama yang mengangkat cerita dari keturunan China di Indonesia. Nia Dinata ingin menunjukkan kekuatan perempuan dalam mengahadapi kekerasan dan tekanan keadaan dalam film ini.

Film ini diangkat dari novel Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa karya penulis Indonesia Remy Sylado. Film ini mengangkat budaya Tionghoa Peranakan di Hindia Belanda dan Indonesia, dengan latar cerita yang mencakup zaman kolonial Belanda pada tahun 1930-an, pendudukan Jepang pada 1940-an, hingga pasca-kemerdekaan tahun 1960.

Istilah Ca-bau-kan sendiri adalah Bahasa Hokkian yang berarti "perempuan", yang saat zaman kolonial diasosiasikan dengan pelacur, gundik, atau perempuan simpanan orang Tionghoa. Pada zaman kolonial Hindia Belanda, banyak Ca-bau-kan yang sebelumnya bekerja sebagai perempuan penghibur sebelum diambil sebagai selir oleh orang Tionghoa.

 

2. Ada Apa dengan Cinta?

Masih ingat dengan sosok Alya yang diperankan oleh Ladya Cheryl dalam film Ada Apa dengan Cinta? Alya merupakan saah satu anggota geng cinta yang paing dewasa. Dia tumbuh lebih dewasa dari usianya karena mempunyai latar belakang kekerasan dalam keluarga. Sifat Alya ini dipicu karena latar belakang keluarganya yang berantakan.

Ayah Alya diceritakan sebagai seorang suami yang suka memukul istri dan anaknya. Makanya, Alya cenderung pendiam dan sering melamun. Ketika Cinta sibuk dengan Rangga, Alya merasa ditinggalkan oleh teman-temannya dan mencoba bunuh diri. Adegan ini terasa menyanyat hati. Mira Lesmana dan Riri Riza dengan jelas ingin memberikan pesan bahwa kekerasan juga bisa berdampak buruk pada anak.

3. Raksasa dari Jogja

Film Raksasa dari Jogja secara jelas menunjukkan dampak buruk dari kekerasan pada perempuan. Kisahnya tentang Bian (Karina Salim) yang cantik, punya rumah elit di Jakarta dan pacar yang tampan. Realitanya, sungguh berbeda. Sejak kecil, Bian selalu hidup dalam ketakutan. Sang Papa (Ray Sahetapy) yang dikenal orang sebagai seorang politikus terhormat, sering melakukan KDRT terhadap Mama (Unique Priscilla).

Bian yang berniat merayakan pesta untuk sahabatnya, memergoki pacarnya, Pras (Kiki Farel), berselingkuh dengan Letisha (Adinda Thomas), sahabat Bian sejak kecil. Bian memutuskan pergi meninggalkan rumah dan berkuliah di Jogja. Bian yang tinggal di rumah Bude (Dewi Irawan) bersama Kevin (Ridwan Ghani) sepupunya, berubah jadi gadis pendiam dan selalu menutup diri. Dia selalu menolak ketika Rinta (Sahila Hisyam) pacar Kevin bermaksud untuk mengenalkan Bian dengan teman-teman cowoknya.

4. Berbagi Suami

Film ini bercerita tentang tiga wanita dari kebudayaan berbeda namun sama-sama mempunyai suami yang melakukan poligami. Dalam proses pembuatannya, film ini melalui proses pengamatan dan riset. Film ini adalah kisah poligami dari sudut pandang perempuan.

Film Berbagi Suami terbagi dalam tiga segmen cerita yaitu cerita Salma, cerita Siti dan cerita Ming. Berbagi Suami adalah tuturan para perempuan yang menjalani kehidupan dipoligami dari kalangan usia, sosial dan etnis yang berbeda: Salma yang diperankan Jajang C Noer mewakili kalangan berpendidikan dengan strata sosial yang tinggi, berprofesi sebagai dokter, berlatar kultur Betawi di usia 50-an, bersuamikan pengusaha yang terjun ke dunia politik.

Siti yang diperankan Shanty adalah perempuan dari pelosok Jawa, yang usianya mendekati 30-an; dan Ming yang diperankan Dominique, gadis keturunan Tionghoa yang berusia 19 tahun. Film ini memberi gambaran bahwa kekerasan tak cuma dilakukan dengan fisik, bahwa kekerasan verbal juga bisa melukai perempuan.

5. Love and Edelweiss

Film Love and Edelweiss bercerita tentang Ryo (Mike Lucock) seorang anak korban KDRT dan pelecehan seksual, yang membuatnya tumbuhnya menjadi gay dan psikopat yang sadis menghabisi nyawa orang-orang yang dicintainya - Cinta (Mentari) dan Bugi (Kris Hatta) – karena cemburu. Aldo Bamar selaku Eksekutif Produser membuat film ini untuk memberikan sebuah wacana pola pikir orang tua akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan psikologi anak kelak nanti dewasa.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading