Sukses

Entertainment

5 Alasan Boyband dan Girlband Indonesia Tak Sesukses K-Pop

Fimela.com, Jakarta Sekitar medio 2010-2013 industri musik tanah air sempat diramaikan dengan fenomena boyband dan girlband. Saat itu hampir di semua stasiun TV menampilkan para talenta yang bernyanyi sekaligus ngedance tersebut.

Fenomena ini sebenarnya sedikit mengulang maraknya tren grup vokal di era 90an. Ditambah dengan demam hallyu, alias budaya Korea Selatan, boyband dan girlband marak kembali di masyarakat.

Dengan eksposur yang besar, akhirnya penikmat musik mulai jenuh dengan tren yang ada. Hal ini membuat pamor boy/girlband menurun, dan perlahan-lahan hilang sama sekali.

Kenapa karier boyband dan girlband di Indonesia tak sesukses K-Pop? Mungkin beberapa hal ini jadi alasannya.

1. Proses Panjang

Pertama yang harus diketahui adalah tak semua grup K-Pop menuai sukses. Cukup banyak grup yang berusaha mati-matian tapi akhirnya tidak berhasil, atau justru tak pernah debut.

Namun di balik itu mereka menjalani proses training yang memakan waktu, tenaga dan mental. Seorang trainee di agensi besar bisa menghabiskan 2, 3 atau 10 tahun sebelum berhasil debut. Komitmen ini butuh usaha dan biaya yang besar, tapi dengan investasi tersebut, seorang idol berpeluang mengembangkan talenta dan siap jadi idola.

Ini yang tak terjadi di Indonesia, karena demi mengejar tren banyak grup yang prematur dan tak siap dengan kualitas. Lahir secara instan, karier mereka juga pergi dengan instan.

2. Budaya Kerja Keras

Berkaitan dengan poin di atas, orang Korea Selatan memiliki budaya untuk bekerja keras. Tak sedikit kisah sukses boyband dan girlband K-Pop yang 'sengsara' sebelum mereka debut.

Bahkan setelah debut, mereka masih harus kerja ekstra demi menghadapi agenda promosi, rekaman album dan lain sebagainya. Untuk sektor ini tampaknya para pelaku di Indonesia masih belum mampu menyamainya.

3. Efek Tren Musiman

Dinamika selalu terjadi di industri musik, terutama sangat terasa di Indonesia. Dalam dua dasawarsa terakhir tren di media mainstream cukup signifikan terjadi, seperti era musik rock 90an, era boyband 2010an, dan band beraliran Melayu 2012 ke atas.

Dengan tuntutan bisnis yang besar, eksposur pun diberikan cukup kuat di televisi yang sayangnya tidak diimbangi dengan kualitas yang layak. Dalam kasus boyband dan girlband, hanya jadi tren musiman yang menjulang tinggi dengan cepat, lalu menghilang bak ditelan bumi.

4. Industri yang Kurang Sehat

Problematika lain datang dari ekosistem musik itu sendiri. 10 tahun lalu RBT masih jadi tambang emas bagi para pelaku musik, sampai kemudian tren tersebut ditinggalkan dan banyak terjadi permasalahan penyaluran royalti.

Selain itu pembajakan juga menjadi momok yang menghambat kesejahteraan boy/girlband. Gagal panen di album fisik, label juga tak mampu mem-package artisnya seperti yang dilakukan oleh agensi Korea. Pemasukan besar mereka tak hanya dari penjualan album, tapi juga merchandise, fanmeeting dan tur konser.

Soal lahan untuk perform, televisi dan penyelenggara musik di tanah air belum mampu memberikan service yang layak kepada boy/girlband, sehingga gagal jadi tontonan yang mengagumkan. Faktor teknis seperti microphone yang kurang memadai dan sebagainya juga membuat mereka dicap tukang lipsync, sehingga banyak mendapat kontra dari penikmat musik.

Itulah tadi beberapa alasan yang membuat boyband dan girlband Indonesia tak berumur panjang seperti K-Pop. Akankah tren ini kembali suatu saat nanti?

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading