Sukses

Parenting

Menjadi Ibu dengan Dibayangi Trauma Masa Kecil, Perjuangannya Tidak Mudah

Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan selalu memiliki kisahnya sendiri. Caranya untuk berjuang tentu tak sama dengan yang lainnya. Perempuan berdaya dan hebat dengan caranya masing-masing. Tiap pengalaman dan kisah pun memiliki inspirasinya sendiri seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba The Power of Women: Perempuan Berdaya dan Hebat adalah Kamu berikut ini.

***

Oleh: BC 

Menjadi seorang ibu bukanlah sesuatu yang mudah bagiku, karena aku sejak kecil mendapatkan banyak trauma. Mulai dari kurangnya figur dan kasih sayang orangtua hingga mendapatkan tekanan mental dari lingkungan, sampai kejahatan seksual kala itu.

Aku tumbuh dengan ketidakpercayaan diri, aku rapuh dan terkadang aku lebih suka kabur dari masalah. Belum lagi kondisi ekonomi kami juga di bawah standar, dikelilingi oleh orang-orang toxic hingga aku pernah frustrasi.

 

 

Memutuskan Menikah

Aku menikah pun karena dorongan kuat ingin pergi dari lingkaran toxic, sebagai perempuan aku kadang hanya bisa menangis. Trauma masa kecil yang tidak tinggal bersama orangtuaku sendiri, padahal mereka masih ada. Pun ketika mencoba untuk tinggal bareng di usia dewasa, perlakuan ketidakadilan antar saudara itu masih ada. Sampai aku kabur dari Denpasar ke Malang hanya ingin mewujudkan impianku.

Aku bercita-cita ingin menjadi sarjana, aku kuliah dengan hasil bekerja di Bali dan berhasil mendaftar di universitas ternama juga jurusan favorit. Ternyata, aku kekurangan biaya ketika akan masuk semester 2.

Aku menghubungi orangtuaku, mereka bilang tidak punya uang. Namun, ketika adikku ingin rekreasi ke Yogyakarta di waktu yang sama mereka wujudkan. Sempat hancur perasaanku, merasa tidak diinginkan kehadiranku.

Apa karena aku berkulit gelap dan adik perempuanku putih? Karena masih kecil sangat teringat aku dibandingkan dengan adikku yang putih itu.

Ibu berkata padaku, “Ih, kamu hitam. Ini lihat adiknya putih, kelak dia akan jadi artis (bintang film)." Aku sedih mendengarnya, tetapi tidak bisa menjawab. Sosok Nenekku yang membelaku. Beliau berkata, “Hitam manis, seperti manggis rasanya manis banyak yang antri. Tapi kalau putih kapur rasanya pahit.”

Begitu kira-kira ingatanku, belum lagi aku sering mendapat bentakan, kemarahan dan pernah juga dipukul oleh orangtuaku sendiri. Aku juga sempat diusir saat di Bali. Aku benar-benar tidak memiliki tempat perlindungan, sehingga aku pergi dari tempat kerjaku.

Padahal menurut atasanku, aku itu punya potensi yang bagus untuk naik jabatan. Dari yang masih magang, lulus training, akan menjadi kasir. Tapi apa daya, aku tidak mungkin tetap kerja di Bali sementara tempat orangtua dekat dengan tempat kerjaku.

Aku memilih kabur. Masa laluku kalau diingat sakit sekali. Bagaimana sosok perempuan yang kurindukan pelukannya, namun beliau hanya sering menghadirkan kemarahan untukku. Apakah aku anak yang tidak diinginkan?

Aku bangkit dari masa lalu, kini aku mengalaminya sendiri menjadi seorang ibu itu ternyata berat!

Aku menikah dengan seseorang yang sederhana. Ia tenaga honorer guru dan sambil kuliah. Tetapi awal pandemi, ia memutuskan resign karena ingin melanjutkan kuliahnya.

Perjuangan Mempertahankan Segalanya

Di saat yang sama aku baru melahirkan anak pertamaku setelah sebelumnya keguguran. Aku kecewa dengan keputusannya. Aku sebagai wanita pun merasa tidak dinafkahi oleh suami. Lebih kecewa lagi ketika kuliahnya mangkrak sudah lewat dua tahun yang harusnya skripsi.

Kini anakku semakin besar dan ada lagi adiknya. Aku pun mencoba jualan makanan beku. Cukup bagus penjualannya, tetapi karena hamil anak kedua dan melahirkan aku belum buat lagi.

Aku diliputi ketidakpercayaan, apakah bisa membesarkan anak-anak yang juga perempuan semuanya ini? Aku pun hanya mendamaikan diri, dengan terus mengerjakan tugas rumah tangga yang tiada putusnya itu. Dari pagi sampai tengah malam, menyusui hingga terkantuk-kantuk, dan hanya fokus sama kebahagiaan anakku.

Aku tidak ingin mereka mengalami nasib serupa denganku, yang dibentak-bentak. Aku tahu rasanya dibentak oleh orangtua itu tidak nyaman. Maka setiap perilaku toodler mulai aktif, aku sering tarik napas panjang, aku senyum. Persis dengan keadaan saat kontraksi akan melahirkan. Sakitnya rasa kontraksi berkurang ketika tarik napas panjang dan senyum sambil mengalihkan rasa sakit itu.

Tentu saja aku berjuang dari nyinyiran orang-orang saat aku mengalami Baby Blues.

Seminggu setelah operasi SC aku baby blues. Karena melihat tamu (teman kakak ipar) menyambangi aku.

Aku duduk di atas karena bekas operasi, di rumah tidak ada meja dan kursi tamu. Mereka duduk di bawah sambil bermain dengan bayi aku. Awalnya aku senang, lama-lama mereka lebih asyik dengan bayiku juga suamiku ikut bercanda. Seolah aku tidak ada di sana. Aku masuk ke kamar dan menangis sendiri.

Aku cemburu buta, dan tangisku agak lama hingga bayiku ikut menangis. Saat aku sedih tidak ada yang mendukung, mereka malah menyodorkan anakku untuk disusui. Aku menolaknya karena aku lagi sedih, anakku makin teriak beberapa saat. Mereka bingung mau beli sufor dan dot.

Ketika itu aku mulai menyadari, kalau sampai anakku minum sufor dapat uang dari mana lagi suamiku yang belum kerja itu. Aku pun sadar aku keliru, langsung menggendong bayiku dan menyusuinya.

Kau tahu? Aku dinyinyirin warga sekampung kalau aku itu ibu tidak baik. Katanya aku tidak mau menyusui anaknya. Bahkan dibikin viral di status WA teman aku, ia dapat kabar dari kakaknya yang tetanggan denganku. Aku sakit banget dicemooh dan dikata-katai buruk.

Berusaha untuk Kuat dan Tegar

Aku mengalami depresi di saat melahirkan anak keduaku. Anak keduaku lahir dengan normal dengan susah payahnya perjuangan untuk bisa VBAC. Aku pun bisa melahirkan dengan normal sehat, dan tidak kurang satu pun.

Aku mengalami depresi karena aku juga bekerja sebagai freelancer, penulis di salah satu website. Aku kecapekan dan kurang istirahat, sementara aku kurang dukungan dari keluarga aku.

Depresiku tidak lama, hanya beberapa hari. Beda kasus ketika aku berusaha menyusui anakku—ASI-ku kering banget. Bayiku rewel dan aku mulai berdamai dengan diri. Aku sempat pula berantem dengan suami. Aku menuntut hakku untuk dinafkahi.

Aku tahu dia juga sedang berjuang, namun kondisi pandemi ini membuatnya ia tidak bisa fokus. Teman-temannya yang sering mengajak main Mobile Legend itu. Aku kadang sering marah-marah kepada suami, tanpa sadar ditiru oleh anak pertama. Ia sering hectic. Tantrum dan sulit diatur. Sedih.

Melihat keluarga lain yang harmonis, aku pun bertekad untuk tetap berjuang demi kewarasanku dan masa depan anak-anakku.

Sempat aku perang dingin dengan suami, namun aku tetap hangat dengan anakku. Aku tetap buat sarapan untuk keluarga, hanya saja aku mengontrol diri biar tidak terjadi percekcokan lagi. Banyak yang menyarankan kepadaku untuk menjadi ibu tunggal saja. Tapi aku tidak mau.

Menurut pandangan aku, lari dari masalah itu justru jadi beban baru. Aku sudah sering melakukannya—ujungnya penyesalan. Alasan berikutnya, aku tidak ingin anak perempuanku kekurangan figur orangtua seperti aku. Walaupun, kalau bercerai tidak ada namanya mantan anak kita tidak akan bisa membesarkan dalam satu atap yang sama kan? Sebisa mungkin aku mengalah. Aku mengintrospeksi diri untuk terus bersyukur dan terus istighfar setiap aktivitas.

Aku mulai menyadari menjadi perempuan itu berat, mungkin dulu ibuku marah padaku dan memukul aku karena ada alasannya. Ia belum bisa berdamai dengan dirinya.

Oh iya, selain itu aku ikut komunitas online, belajar soal parenting, tips menyusui, kegiatan webinar tentang women support women, juga tidak di rumah saja. Pergi ke tetangga sekitar agar aku bisa melihat, banyak kok yang lebih sulit dari aku. Supaya aku tidak merasa paling menderita sedunia.

Aku juga suka membaca buku baik buku fisik maupun digital. Sehingga aku punya wawasan dan lebih aware tentang manajemen perasaan seorang wanita yang kadang dipengaruhi oleh hormon.

Aku pun suka menulis sebagai media katarsis untuk meluapkan beban yang sulit diungkapkan secara verbal. Aku peluk diriku, aku yakinkan diriku kuat dan tahan banting. Pun tidak lupa aku selalu berdoa agar hatiku dikuatkan lagi, diperluas lagi kesabarannya dan ditambah rasa syukurku.

Aku pun lebih tenang sekarang, menjalani peran sebagai ibu tidak berat lagi karena aku ingin memancarkan aura positif kepada anak-anakku. Jadi kadang kalau aku capek ya tidur, aku penat ya enggak kerja freelance dulu. 

Menjadi perempuan dengan segala kondisinya yang istimewa, itu anugerah terindah yang diberikan oleh Allah. Aku pun sekarang paham kalau ibu yang keras hatinya karena ia mendapat tekanan yang berat.

Maka aku tidak lagi memikirkan orang lain (termasuk) masalah suami yang belum kerja. Aku mengurangi intervensi. Aku lebih sibuk memperdayakan diri dan nantinya hasil menulis bisa untuk bantu keluarga juga tabungan anak.

 

 

#WomenforWomen

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading