Sukses

FimelaHood

Sarapan Berjemaah Bersama Komunitas Hunting Pasar

Fimela.com, Jakarta Secara harfiah, komunitas adalah kelompok organisme yang terdiri dari orang dan sebagainya, yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu; masyarakat; paguyuban. Sedangkan pada praktiknya, komunitas merupakan sebuah wadah bagi sekumpulan individu dengan kegemaran dan tujuan yang sama. Seperti Komunitas Hunting Pasar yang satu ini, misalnya.

Dari namanya, mungkin sebagian dari kita berpikir jika Hunting Pasar adalah komunitas yang menghabiskan waktu di pasar. Exactly, namun ada kegiatan yang tidak biasa yang dilakukan oleh para anggotanya. Tak sekadar berkunjung dan jajan, mereka juga membidik setiap momen yang ada di pasar dengan mata kamera. Ya, mereka adalah komunitas fotografi.

Kendati demikian, daripada disebut komunitas fotografi, Hunting Pasar lebih mantap menyebut dirinya sebagai komunitas sarapan, seperti yang tertulis di kolom biografi akun Instagram-nya. Well, apa yang sebenarnya terjadi?

Menjumpai Bagoes Kresnawan, founder Hunting Pasar, Kamis (25/10) lalu di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Fimela.com mendapat sejumlah fakta unik tentang komunitas yang belum genap setahun berdiri ini. "Aku nggak sengaja bikin komunitas ini, jadi tiap weekend aku antar istriku ke pasar, dia belanja, aku motret, sesimpel itu sebenarnya, karena menurutku foto street human interest itu murah, nggak harus pakai lensa tele, bokeh, wide, kadang pakai kamera handphone saja bisa," jelas pria yang berdomisili di Yogyakarta ini.

"Dari situ, aku upload foto di pasar terus tiap weekend dan banyak yang bertanya aku hunting di mana, pakai kamera apa, lalu aku suruh ikut saja dan aku kasih nama Hunting Pasar, sesederhana itu, dan mereka menyetujuinya," imbuh Bagoes.

Untuk mengoordinasi massa yang tertarik dengan kegiatannya itu, Bagoes membuat grup WhatsApp dan di-share di media sosial. "Pertama aku buatkan grup WhatsApp, sejam pertama aku share langsung penuh, aku bingung sendiri, yaudah aku bikinkan grup di LINE, itu juga penuh," tutur pegiat kamera analog ini.

"Awalnya aku pikir yang gabung orang Jogja semua, lalu mereka pada bertanya 'Jakarta kapan? Bandung kapan? Tangerang kapan?', aku baru menyadari bahwa mereka mengira Hunting Pasar adalah event, padahal bukan, sejak saat itu aku suruh mereka bikin grup LINE regional dan aku bantu share di media sosial," tambah Bagoes.

Tidak ada syarat khusus untuk menjadi anggota komunitas yang sudah memiliki 40 regional ini. Hanya saja, data diri dibutuhkan sebagai data base setiap regional. "Nggak ada syarat, palingan untuk data base isi form yang sudah kami sediakan di website Huntingpasar.com, pun kamera bebas pakai kamera apa saja. Foto bagus dari kamera handphone banyak, yang fotonya jelek pake kamera mahal juga banyak hahaha," Bagoes seraya tertawa.

Bagoes mengaku, sebagai seorang pendiri komunitas fotografi, dirinya tidak menggeluti fotografi secara mendalam. Bagoes lebih banyak berkutat dengan dunia videografi. "Berkenalan dengan fotografi berawal kerja di production house pada 2012, sebenarnya aku bukan fotografer, tapi lebih ke videografer, tapi visual memory-nya berawal dari memotret," ungkap lulusan Universitas Islam Indonesia ini.

 

Memotret di Ruang Publik Bukan Berarti Bebas

Menurut Bagoes, Hunting Pasar sendiri terisi dari banyak orang dengan level kemampuan fotografi yang beragam. Bahkan, beberapa di antaranya ada fotografer profesional yang ikut untuk memberi ilmu pada anggota lain.

"Di Hunting Pasar ini banyak yang beginner, first time punya kamera, jatuh cinta pertama pada fotografi, atau yang baru punya kamera analog, profesional juga ada beberapa, itu pun aku ajak untuk mengajari teman-teman yang lain, karena kalau aku disuruh mengajari aku rasa aku bukan fotografer," jelas pria berkacamata ini.

Menurut Bagoes, sebagai komunitas fotografi, tujuan Hunting Pasar didirikan ini adalah untuk saling belajar dan mengedukasi para anggota. "Kalau sekarang tujuannya belajar, selain itu, sesuai tagline kami 'komunitas sarapan berkedok belajar foto', kami ingin berkontribusi pendapatan untuk pedagang pasar, sebab misalnya dari 50 orang yang hunting, 30 orang makan soto, 20 orang makan lontong sayur, sudah jelas memberi pemasukan buat pedagang, dong?," terang Bagoes.

 

Memotret di ruang publik seperti pasar bukan berarti bebas untuk membidik apa saja. Pria kelahiran 12 September ini mengedukasi anggota untuk tidak memotret objek-objek yang tidak berdaya.

"Aku sudah edukasi ke anggota bahwa foto yang boleh diambil adalah foto yang objeknya bukan kesedihan, sekiranya ada nenek-nenek berwajah murung atau pengemis tidak usah difoto, kita ingin buat sisi lain human interest yang ada, kalau objeknya senyum boleh diambil, poinnya adalah jangan ada wisata kesedihan atau kemelaratan," ujar Bagoes.

Kendati demikian, memotret di ruang publik juga bukan berarti tidak ada hambatan. Bagoes sendiri awalnya pernah mendapat teguran mengenai perizinan memotret di kawasan pasar.

"Awal-awal ditanya sudah punya izin belum? Tapi kalau ditanya jawabanku cuma 'lha wong mau jajan, kok disuruh izin?', kan kita beli di sana, entah sarapan atau jajan kue, sama halnya ketika aku jalan dan bawa ponsel berkamera lalu aku ambil foto di pasar, kecuali memotret di pasar hewan yang mungkin banyak hewan curian, itu sensitif, bahkan di pasar loak di Bali aku pernah diusir, saat itu aku bawa kamera, tapi baru nanya-nanya sudah diusir," kata Bagoes.

Di Jakarta sendiri, komunitas yang berdiri pada 7 Januari 2018 ini sudah bekerja sama dengan dinas pasar yang melindungi komunitas ketika memotret. "Kalau di Jakarta sudah bekerja sama dengan dinas pasar, bukan perizinan tapi perlindungan, tiap masuk pasar kami menunjukkan surat sebagai bukti bahwa Hunting Pasar boleh memotret di pasar," tuturnya.

Hunting Pasar Sebagai Sarana Belajar

Dari sisi anggota, Fimela.com berkesempatan mewawancarai Aditya Umbara, seorang anggota Hunting Pasar Jakarta. Menurutnya, Hunting Pasar tak sekadar komunitas fotografi. Lebih dari itu, jalinan silaturahmi yang kuat membuat Aditya tertarik untuk gabung di sana. 

"Saya tertarik gabung dengan Hunting Pasar karena ini komunitas yang mengedepankan silaturahmi. Nggak ada senior maupun junior. Semuanya punya andil untuk menghidupkan hunting pasar. Ini komunitas santai, sih, nggak harus ini itu buat join ke Hunting Pasar, cukup dateng ke lokasi, hunting trus join group," kata pria yang berprofesi sebagai editor video ini.

Menurut Aditya, memotret di pasar mampu membangkitkan memori masa kecilnya. "Karena 'pasar' itu sendiri, sih, dulu waktu kecil sering banget pagi-pagi ke pasar ikut ibu beli jajanan pasar atau sarapan pagi, nah sekarang ikutan Hunting Pasar lagi jadi semacam nostalgia bareng ibu dulu, dan secara nggak langsung ikut andil berkontribusi menyejahterahkan pedangan pasar dengan jajan di sana," imbuhnya.

Bergabung di Hunting Pasar membuat pemain bass Wolfpak Band ini menemukan banyak hal, dan bukan sekadar teman baru pastinya. "Banyak banget! Yang pasti dapat keluarga baru, sahabat-sahabat baru dan yang pasti dapat ilmu baru, pengetahuan tentang pasar sampai teknik dalam fotografi, dan masih banyak lagi," terang Aditya. 

Bagoes berharap jika Hunting Pasar bisa menjadi tempat belajar bagi para anggota. "Aku berharap semoga Hunting Pasar selalu bisa menjadi media untuk teman-teman yang mau belajar, karena dulu aku mengalami susahnya belajar karena persaingan, beda dengan zaman sekarang yang sukanya berkolaborasi," harap pemilik akun Instagram @bagustikus ini.

Tertarik untuk belajar fotografi dengan sarapan bersama Hunting Pasar di akhir pekan? Segera kunjungi akun Instagram @huntingpasar.id untuk info terbaru jadwal 'sarapan bareng' di kotamu. Selamat memotret! :D

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading