Sukses

Lifestyle

Darah dan Keringat Mama adalah Hidupku

Apakah ada sosok pahlawan yang begitu berarti dalam hidupmu? Atau mungkin kamu adalah pahlawan itu sendiri? Sosok pahlawan sering digambarkan sebagai seseorang yang rela berkorban. Mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri. Seperti kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini. Seorang pahlawan bisa berasal dari siapa saja yang membuat pengorbanan besar dalam hidupnya.

***

Sore itu, angin mengalun dan menyelimuti hari yang semakin gelap. Aku dan mama duduk berdua di halaman rumah sambil menyeduh secangkir teh yang hangat. Duduk berdua menikmati suasana alam yang seperti berbisik, “Jangan diam saja. Nanti semakin dingin.”

Hari itu, kami bercerita tentang masa-masa sulit yang mama lalui ketika mengandung dan membesarkan aku. Riuh angin semakin membawa hanyut suasana ke dalam duka. Namun tetap kunikmati pembicaraan yang membuatku bangga pada mama. Aku tak pernah membayangkan bagaimana nantinya ketika aku menjadi ibu seperti mama. Akankah sama sakitnya seperti mama atau malah sebaliknya? “Semua itu pasti bisa kamu lalui seperti Mama, Nak!” ucap mama seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan. Aku membalasnya dengan tersenyum.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/gaelle marcel

Mama bercerita bahwa ketika mengandung aku, ketika itu pula masa perekonomian yang sangat sulit. Kehidupan yang menuntut mama untuk bekerja walau sedang mengandung aku adalah momen yang paling pedih yang kudengar. Bapak hanya kerja serabutan, lantaran hanya berpendidikan sampai SMP. Padahal, pekerja yang diterima harus berpendidikan minimal sampai SMA. Kadang bapak tak bekerja, kadang pula bekerja jika ada yang membutuhkan jasa bapak. Mama pun bekerja serabutan. Kadang sebagai pembantu rumah tangga, kadang mencabut rumput di ladang tetangga.

Pernah suatu hari, mama jatuh pingsan karena sudah kelelahan dalam bekerja. Mama langsung dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan. Syukur, buah hati yang mama kandung tidak kenapa-napa. Walau sudah jatuh pingsan di hari yang lalu, mama tetap bekerja hingga memasuki usia kandungan yang cukup tua dan perlu istirahat banyak karena bisa saja sewaktu-waktu melahirkan.

Tibalah hari mama melahirkan aku ke dunia. Mama mencoba menahan sakit akibat ketuban yang sudah pecah lalu perlahan duduk di lantai yang kotor kala itu. Mama ingin berteriak memanggil orang-orang yang berada di sekitar tempat kerja mama tetapi serasa tak berdaya dan memutuskan untuk melahirkan tanpa dibantu seorang pun. Mama takut jika terlalu lama maka aku tidak akan ada di dunia ini. Mama perlahan mengeluarkan aku dari perut mama. Mama berdoa dalam hati agar aku baik-baik saja dan mama juga sudah menyerahkan diri pada Tuhan jika ia harus kehilangan nyawanya demi melahirkan aku. “Tuhan, biarlah nyawaku yang Engkau ambil, jangan anakku. Biarkanlah ia tumbuh dan berkembang. Amin,” doa mama dalam hati.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/marcus wallis

Lahirlah aku ke dunia. Mama merasa sangat bersyukur dengan keadaanku yang baik-baik saja. Ruangan itu bersimbah darah dan hanya aku dan mama yang berada di sana kala itu. Mama merasakan sangat lelah hingga membuatnya ingin tertidur lama, namun mama mencoba untuk tidak memejamkan mata karena melihatku menangis.

Badan mama yang sudah sangat kelelahan dan dipenuhi darah pun mengangkatku dan meletakkanku ke atas kain yang kering agar aku tak kedinginan. Setelah menyelimutiku dengan kain, mama terjatuh dan memejamkan mata dalam waktu yang cukup lama. Entah siapa yang menolong dan membawa mama ke rumah sakit. Mama tidak menceritakannya padaku karena ia tidak tahu, bahkan bapak pun tidak tahu ketika mama tanya di hari itu. Bapak menyusul ke rumah sakit.

Di balik rasa syukurnya kepada Tuhan karena aku telah lahir dengan kondisi selamat, bapak merasa sedih melihat Mama yang tak kunjung membukakan matanya sedari tadi. Bapak meminta izin kepada perawat untuk membawaku ke sisi mama, berharap Mama akan segera sadar. Dan syukurnya mama akhirnya sadar ketika aku berada di sisinya. Mama pun menangis sambil menggendongku. “Terima kasih, Tuhan. Terima kasih,” ucap Mama.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/ravi roshan

Setelah beberapa hari, aku, mama, dan bapak pun pulang ke rumah. Perekonomian pun masih sulit dan mengharuskan mama kembali bekerja, sama seperti saat mengandung aku. Mama sering membawaku ke tempat kerjanya, karena khawatir bila ditinggalkan di rumah tak ada yang menjagaku. Kakek dan nenek sudah tiada. Mama sering jatuh sakit karena kelelahan, namun mama tetap memaksakan untuk bekerja demi aku.

Keluargaku dirundung pilu. Ketika aku berumur 6 tahun, Bapak pergi ke rumah Bapa di surga. Air mata mama yang mengiringi kepergian bapak hingga bapak dikuburkan pun tidak berhenti. Hari demi hari yang dilalui pun sangat berat. Semenjak bapak pergi, mama pun menjadi single parent yang banting tulang memenuhi kebutuhanku.

Sudah jatuh ditimpa tangga pula. Mungkin itulah perumpamaan yang menggambarkan saat itu. Saudara dari bapak menuntut agar aku dan mama tidak tinggal di rumah yang kami tempati saat itu lagi, karena rumah itu adalah peninggalan dari kakek dan nenek. Mama memohon agar aku dan mama tetap tinggal di rumah itu, tetapi tidak dihiraukan. Harta dan kekuasaan yang ada di pikiran dan hati mereka pun mengalahkan rasa persaudaraan.

Aku dan mama pun diusir secara paksa. Kami pun tidak punya tempat tinggal saat itu. Mama bingung harus pergi ke mana dan akhirnya memutuskan untuk mengontrak sebuah rumah yang ukurannya minimalis. Ya, cukuplah untuk aku dan mama tinggal di dalamnya. Kontrakan itu memang minimalis, tetapi harganya fantastis. Dengan harga yang cukup tinggi itu ditambah dengan aku akan memasuki sekolah dasar pun menjadi beban pikiran untuk mama. Tetapi mama hanya bisa bersyukur pada Tuhan dan berharap kehidupannya akan lebih baik nantinya. Masa kecilku sangat jauh berbeda dengan masa kecil yang anak-anak lain rasakan. Aku sering di-bully karena harus berjualan gorengan di sekolah ketika jam istirahat. Awalnya mama tak mau aku ikut membantu beliau berjualan, tetapi aku memaksa mama agar mama tidak terlalu terbebani.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/suhyeon choi

Beberapa tahun kemudian, aku memasuki tahun ajaran baru sekolah menengah pertama. Saat itulah aku berjanji kepada mama, aku akan membahagiakan mama dan tidak akan mengecewakan mama. Aku belajar dengan giat, berharap kehidupan aku dan mama tidak akan sesulit ini lagi. Aku masih tetap berjualan gorengan di lingkungan sekolah. Kuhilangkan rasa malu dan sedih karena aku tak bisa bermain dengan teman sebayaku seperti yang lainnya.

Tahun demi tahun terlewati. Tak terasa, aku telah menyelesaikan pendidikanku di sekolah menengah atas dan menjadi juara umum berturut-turut. Sekolah dan daerah setempat memberikanku beasiswa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi negeri terfavorit di Indonesia. Tetapi aku merasa sedih harus berjauhan dengan Mama. “Kejarlah cita-citamu, Nak. Mama tak apa di sini,” kata Mama. “Ma, aku akan buat Mama bangga. Mama sehat-sehat di sini, ya,” kataku sambil memeluk mama dan menangis. Tiga hari kemudian, aku mempersiapkan barang-barang untuk berangkat meraih impianku.

Akhirnya aku menyelesaikan pendidikanku dan bisa kembali ke pelukan mama. Kupeluk erat mama karena sudah 6 tahun tak bertemu. Dan kini, aku sudah bekerja di salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. Aku merasa sangat bersyukur mempunyai mama yang hebat yang telah berkorban begitu banyak untukku. Kini, aku sudah bisa membelikan mama sebuah tempat tinggal yang tak perlu mama pikirkan lagi iuran bulanannya. Di sini mama akan aman dan nyaman sembari menikmati masa tua mama.

Darah dan keringat Mama adalah hidupku. Tanpa itu, mungkin aku tak akan ada di dunia ini.

Thank you so much, Mom! I love you!





(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading