Sukses

Lifestyle

Masih Harus Bekerja di Luar selama Pandemi, Ada Dilema saat Meninggalkan Anak-Anak

Fimela.com, Jakarta Mengubah rutinitas di tengah panedemi virus corona ini memang tidak mudah. Mengatasi rasa cemas dan was-was pun membuat kita tak nyaman. Kita semua pun berharap semua keadaan akan segera membaik. Melalui Lomba Share Your Stories: Berbagi Cerita tentang Pandemi Virus Corona ini Sahabat Fimela berbagai cerita dan harapannya di situasi ini. Langsung ikuti tulisannya di sini, ya.

***

Oleh: Diyah Ika Sari

Pandemi Covid 19 ternyata sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Virus ini nyatanya mampu memporak-porandakan dunia. Bahkan banyak negara adikuasa yang akhirnya bertekuk lutut pada benda kecil yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang ini.

Bermula dari munculnya berita sekitar akhir tahun 2019 dari Wuhan, tentang mewabahnya virus Corona yang menyebabkan kematian ratusan manusia. Tanpa kita sadari, berita yang awalnya hanya kita konsumsi sebagai berita, nyatanya berubah menjadi sesuatu yang mengerikan hingga mengubah hidup kita menjadi tidak normal. Dunia yang awalnya belum menyadari datangnya musibah masih nampak biasa saja. Namun begitu kasus terus meningkat, akhirnya mau tidak mau setiap negara membuat kebijakan-kebijakan untuk menyelamatkan penduduk dan negaranya.

Hal yang sama dilakukan di Indonesia. Berawal dari dua kasus positif dan kemudian terus menerus meningkat sampai puluhan, ratusan bahkan sekarang mencapai ribuan orang terinfeksi Covid 19. Pemerintah pun melakukan upaya pencegahan agar tidak terjadi penambahan pasien. Selain kampanye cuci tangan dan memakai masker, pemerintah juga meliburkan sekolah mulai dari tingkat PAUD hingga universitas. Pemerintah juga menetapkan kebijakan Work From Home bagi instansi negeri maupun swasta. Pemerintah juga melarang keras kerumunan dan diharapkan untuk tetap di rumah guna mencegah penularan Covid 19.

Awalnya, hal semacam ini tentunya membuat banyak masyarakat merasakan nikmatnya beraktivitas dari rumah. Mereka tidak lagi merasakan tekanan-tekanan yang terkadang muncul saat mereka berada di sekolah atau kantor. Namun nyatanya kondisi semacam ini tidak bisa berlangsung lama. Semakin hari kegiatan semacam ini semakin membosankan. Banyak yang mulai merindukan kegiatan-kegiatan yang biasa rutin dilakukan setiap hari meski terkadang menyebalkan.

Bekerja di Luar Rumah

Mungkin aku bukanlah salah satu orang yang merasakan bosan dan rasa rindu seperti mereka. Meski virus Corona sudah mewabah dan segala kebijakan telah ditetapkan, aku masih terus bekerja sampai sekarang. Aku masih harus beraktivitas dan keluar rumah setiap hari. Jujur ada rasa takut yang menyelimuti. Karena musuh kita saat ini bukan manusia atau benda yang dapat kita lihat secara jelas dan bisa kita hindari saat mereka mendekat. Namun sebuah benda kecil yang tidak tampak yang justru sangat mematikan bagi manusia.

Kasus yang semakin bertambah dan mencakup hampir di semua wilayah semakin membuat aku merasa paranoid. Apalagi beberapa daerah divsekitar sudah ditetapkan sebagai zona merah. Kadang aku merasa ketidaknyamanan dalam menjalani rutinitas. Takut terinfeksi dan membayangkan apa yang akan terjadi setelahnya.

Menjadi pekerja yang harus tetap bekerja seperti biasa memang menjadi tantangan tersendiri apalagi dilakukan di tengah pandemi. Rasa khawatir yang berlipat ganda menjadikan pikiran juga menjadi berlipat ganda pula. Namun satu hal yang lebih menguras emosiku. Yaitu saat kedua anakku merengek manja ketika aku berangkat kerja. Bahkan akhir-akhir ini mereka sampai menangis karena ingin ikut bekerja.

Mulanya mereka menikmati kegiatan di rumah layaknya hari libur seperti biasa. Mungkin karena waktu yang mereka rasa semakin lama, mereka pun bosan. Mereka hanya anak-anak balita yang butuh hiburan di luar. Mereka ingin berinteraksi dengan teman-teman sebayanya, mereka juga ingin berlibur dan melakukan sesuatu dengan keluarga seperti yang seringkali dilakukan di waktu senggang.

Bermula ketika kedua anak ini melihat teman-teman satu kelasnya mengirim tugas sekolah yang disetor lewat grup sekolah. Mereka seringkali melihat teman-temannya belajar dan mengerjakan tugas didampingi orangtuanya. Sejak diberlakukan kegiatan belajar di rumah sebenarnya aku sudah membiasakan mendampingi anak-anak belajar setiap pulang kerja. Namun sepertinya lama kelamaan kegiatan itu tidak efektif karena aku lihat anak-anak sudah mulai lelah dan tidak berkonsentrasi karena mereka sudah banyak melakukan kegiatan di siang hari. Jadwal belajar pagi hari yang di-share gurunya anak-anak memang untuk jam-jam sekolah. Namun karena anak-anak tidak mau melakukan kegiatan tanpa didampingi olehku, maka aku minta izin gurunya anak-anak untuk mengirim tugas saat malam hari.

Namanya juga anak-anak, lama-lama mereka malas mengerjakan tugas saat sore/malam hari. Alhasil sempat beberapa kali mereka tidak mengirimkan tugasnya. Akhirnya aku berinisiatif untuk meminta tolong nenek mereka mendampingi belajar ketika pagi. Selama ini aku menitipkan anak-anak pada orangtuaku selama aku dan suami bekerja. Kebetulan profesi suami yang ojol juga tidak bisa sembarangan keluar masuk rumah selama pandemi ini. Suami biasanya berangkat dan pulang kerja dengan waktu yang sama denganku. Jadi ketika kami sudah masuk rumah, diharapkan kami tidak lagi beraktivitas keluar rumah.

Dilema Meninggalkan Anak-Anak

Seminggu, dua minggu semua masih tampak biasa. Namun minggu-minggu berikutnya anak-anak sudah mulai protes. Mereka yang sudah bisa mengutarakan pendapat merengek memintaku untuk tinggal dirumah mendampingi mereka seperti yang dilakukan orang tua teman-temannya. Mereka juga seringkali bertanya mengapa ayah dan ibunya terus bekerja sementara ayah dan ibu yang lain tinggal di rumah. Hampir setiap hari anak-anak bertanya tentang hal itu. Terus terang ada rasa sesak dalam hatiku. Andai mereka tahu bahwa orangtua kalian harus tetap menjadi pejuang rupiah demi menghidupi masa depan kalian. Andai kalian tahu besarnya risiko yang orangtua kalian hadapi demi kondisi yang tetap stabil di tengah kesulitan saat ini.

Namun apa daya bahwa anak sekecil mereka belum bisa memahami keadaan seperti sekarang ini. Yang mereka pikir hanyalah mereka sudah mulai timbul rasa iri terhadap lingkungannya. Mereka ingin ditemani seperti yang lainnya. Itu saja. Ditambah lagi sekumpulan air mata yang sepertinya akan segera ditumpahkan ketika aku berpamitan pada mereka. Sungguh menyesakkan. Bahkan rasa sesak itu terus kubawa sampai di tempat kerja dan rasa-rasanya saat jam pulang tiba aku ingin segera pulang merangkul mereka kembali. Begitu setiap hari.

Kuakui bukan karena rutinitas baru yang kulakukan selama pandemi ini yang membuatku beradaptasi lagi. Namun lebih kepada emosi yang terkuras ketika dilema melanda. Saat masih kusyukuri aku masih bisa bekerja sementara ada banyak karyawan di luar sana yang dirumahkan bahkan di-PHK. Meski mungkin aku tidak tahu akan kepastian gaji yang akan aku terima kelak, tapi paling tidak aku masih bisa memiliki sedikit pundi-pundi uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Di lain hal aku tidak bisa menyembunyikan rasa sedihku meninggalkan anak-anak di rumah saat kondisi lingkungan seperti ini. Aku sadari anak-anak butuh orangtua yang senantiasa menguatkan dan mendampingi agar anak-anak tetap merasa nyaman dan tenang.

Sebagai ibu, harapanku hanya sederhana. Meminta anak-anak untuk senantiasa mendoakan orangtuanya agar selalu diberi kesehatan. Begitu juga ibu yang akan selalu mendoakan kalian agar tetap sehat dan bahagia. Karena aku percaya, dalam jiwa dan pikiran yang sehat, apa pun bisa kita raih dan kita cari. Namun jika jiwa dan pikiran kita sakit, maka kita tidak akan bisa memiliki cukup kekuatan untuk meraih dan mencari apa yang kita inginkan.

#ChangeMaker

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading