Sukses

Lifestyle

Hari Kartini, Bukan Sekedar Pakai Kebaya dan Batik

Jakarta Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata "Emansipasi" belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup didalam hati sanubari saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri. (Surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899)

Tulisan ini mengambil ide dari sebuah tweet yang kurang lebih berkata; Kenapa saat Hari Kartini dirayakan dengan pakai kebaya dan batik? Mengapa tidak membahas soal surat-surat Kartini yang menggaungkan emansipasi, serta punya pesan dan visi yang sangat jauh ke depan? Mari kita baca dan resapi, apa yang sebenarnya diperjuangkan Kartini, untuk perempuan Indonesia.

ra kartini

Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa behagia baginya (Surat Kartini kepada Nyonya Van Kool, Agustus 1901)

Bagi saya hanya ada dua macam keningratan: keningratan pikiran dan keningratan budi. Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang, yang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal soleh, orang yang bergelar Graaf atau Baron? Tidak dapat mengerti oleh pikiranku yang picik ini. (Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899)

Peduli apa aku dengan segala tata cara itu ... Segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu ... Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini, dan Kardinah) tidak ada tata cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas-batas mana cara liberal itu boleh dijalankan. (Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899)

Di surat-surat Kartini tadi, kita bisa membaca pemikirannya tentang kondisi perempuan saat itu. Nyaris di sebagian besar suratnya, Kartini mengeluh dan mempertanyakan budaya di Jawa, yang jadi penghambat bagi kemajuan perempuan. Kartini ingin perempuan punya kebebasan yang sama dengan laki-laki, terutama untuk bisa menuntut ilmu dan belajar. Beberapa ide dan cita-cita Kartini: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan Solidariteit. Semunya atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air). Konsep yang begitu maju, bermakna, dan relevan hingga saat ini.

 

Sesungguhnya adat sopan-santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak bila hendak lalu di hadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tidak kelihatan lagi. Adik-adikku tidak boleh berkamu dan berengkau kepadaku. Mereka hanya boleh menegur aku dalam bahasa kromo inggil (bahasa Jawa tingkat tinggi). Tiap kalimat yang diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah. Berdiri bulu kuduk bila kita berada dalam lingkungan keluarga bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya, harus perlahan-lahan, sehingga orang yang di dekatnya sajalah yang dapat mendengar. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut "kuda liar".(Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899)

Bolehlah, negeri Belanda merasa berbahagia, memiliki tenaga-tenaga ahli, yang amat bersungguh mencurahkan seluruh akal dan pikiran dalam bidang pendidikan dan pengajaran remaja-remaja Belanda. Dalam hal ini anak-anak Belanda lebih beruntung dari pada anak-anak Jawa, yang telah memiliki buku selain buku pelajaran sekolah. (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 20 Agustus 1902)

Kartini juga sempat mengungkapkan rasa irinya kepada Estelle "Stella" Zeehandelaar, karena perempuan Eropa berbeda dengan perempuan Jawa. Karena adat yang ada, jadi tidak bisa bebas bersekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki tak dikenal, dan pasrah dimadu.

surat kartini 

Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni. (Surat kepada Ny Abendanon dari Kartini, 14 Desember 1902)

Pandangan maju Kartini lainnya adalah tentang agama. Kartini bertanya, mengapa kitab suci harus dibaca dan dihafalkan tapi tidak wajib dipahami? Dia mengungkapkan bahwa betapa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama, yang justru sering jadi alasan manusia untuk bertengkar, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." Kartini sangat heran, kenapa agama juga dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Tidak cuma Kartini yang heran, kita pun masih terheran-heran sampai sekarang.

 

Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih. (Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900)

Kartini banyak menceritakan kendala perempuan Jawa untuk mendapatkan pendidikan karena hambatan dari aturan adat yang ada. Tapi, Kartini cukup beruntung. Ia punya ayah yang tergolong maju, karena mau menyekolahkan anak-anak perempuannya. Walaupun, hanya sampai umur 12 tahun. Sang ayah pun sempat mengizinkan Kartini untuk belajar jadi guru di Betawi. Padahal, sebelumnya ia tidak mengizinkan Kartini melanjutkan sekolah ke Belanda ataupun masuk sekolah kedokteran di Betawi.

 

Kami beriktiar supaya kami teguh sungguh, sehingga kami sanggup diri sendiri. Menolong diri sendiri. Menolong diri sendiri itu kerap kali lebih suka dari pada menolong orang lain. Dan siapa yang dapat menolong dirinya sendiri, akan dapat menolong orang lain dengan lebih sempurna pula. (Suratnya kepada Nyonya Abendanon, 12 Desember 1902)

Perjuangan Kartini, masih akan jadi perjuangan kita, para perempuan Indonesia. Secara sadar atau tidak, pernah membaca surat Kartini atau belum, sebenarnya apa yang kita lakukan dan harapkan masih tetap sama. Bangga jadi perempuan Indonesia. Bangga jadi Kartini Indonesia. Dan, Hari Kartini tidak akan pernah jadi sekedar pakai kebaya, lagi.

 

 

(dari berbagai sumber)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading