Sukses

Lifestyle

Tante, Penarik Becak, dan Kucing Jalanan

Fimela.com, Jakarta Mengubah rutinitas di tengah panedemi virus corona ini memang tidak mudah. Mengatasi rasa cemas dan was-was pun membuat kita tak nyaman. Kita semua pun berharap semua keadaan akan segera membaik. Melalui Lomba Share Your Stories: Berbagi Cerita tentang Pandemi Virus Corona ini Sahabat Fimela berbagai cerita dan harapannya di situasi ini. Langsung ikuti tulisannya di sini, ya.

***

Oleh: S

Bersyukur menjadi kata sederhana yang susah untuk direalisasikan di tengah pandemi Covid 19 ini. Ketakutan tertular virus belum lagi permasalahan pekerjaan dan ekonomi kian meneror tiap individu di negeri ini. Begitu juga denganku, dihadapkan pada pilihan sulit antara terus bekerja dari kantor tapi digaji seadanya atau harus unpaid leave. Pilihan yang sama beratnya. Akhirnya kuputuskan untuk cuti di luar tanggungan (unpaid leave), bukan karena aku tidak bersyukur, namun risiko yang harus ditanggung terlalu besar kurasa. Aku tidak ingin menjadi carrier karena tante yang ada di rumah sudah berusia lanjut dan rentan untuk tertular. Perasaan gelisah semakin memenuhiku ketika ada desas-desus jika akhir bulan ini perusahaan tidak bisa memenuhi target penjualan maka kantor ini akan ditutup dan karyawan akan di PHK seluruhnya. Perusahaan pun tentu menghadapi hal yang sulit. Tidak ada cukup dana untuk menggaji karyawan, belum lagi masih ada utang yang harus ditutupi. Aku cukup bisa memaklumi walau tetap kehilangan pekerjaan menjadi masalah baru yang memberatkanku nantinya.

Aku mencoba untuk beradaptasi dan menjalani kegiatan di rumah bersama anggota keluarga lainnya. Agak membosankan di awal, kegiatan yang itu-itu saja ditambah kebiasaan beraktivitas di luar kian menambah kejenuhan. Semakin banyak bersama, semakin banyak mendengar, maka semakin banyak tahu. Semakin banyak waktu yang kuhabisakan bersama tante ternyata membuka fakta bahwasanya betapa kesepiannya ia selama ini. Tante memutuskan untuk tidak menikah seumur hidupnya. Dia tinggal bersama kami untuk menemani ibuku yang juga sudah menjanda ditinggal mati ayah kami 10 tahun lalu. Mereka terbiasa menghabiskan waktu bersama-sama, saling mendukung satu sama lain. Sampai akhirnya kepergian ibu 6 bulan lalu menjadi pukulan telak bagi kami semua. Aku menghabiskan waktuku untuk bekerja dengan harapan bisa memudarkan duka yang kurasakan, namun ternyata aku lupa bahwa tantepun merasakan kesedihan yang sama.

Tidak ada orang yang baik-baik saja ketika ditinggalkan oleh orang yang dicintainya. Begitu juga tante yang ternyata sering termenung di depan tumpukan baju ibu di dalam lemari. Tante yang masih mengeluarkan air mata tanpa sadarnya ketika ada orang di luar sana yang bertanya mengenai ibu. Tante yang masih tertatih untuk pulih dari sakit hati. Hal pertama yang kusyukuri di tengah kondisi ini adalah bisa punya banyak waktu untuk mendengar, bercerita, dan menemani orang yang berarti bagiku.

Berbicara mengenai pilihan, orang tentu akan mengevaluasi efek negatif dan positif dari masing-masing opsi sebelum menjatuhkan pilihan. Namun bagi orang-orang yang tidak memiliki pilihan tentu setiap risiko harus diambil. “Daripada anak istri nggak makan, Nak. Mau nggak mau lah tetap narik kita ini," ucap seorang penarik becak yang menjadi langgananku. Aku memang terkadang naik becak bapak ini jika harus pergi ke pasar atau minimarket membeli kebutuhan dapur yang mendesak. Di kota kecil tempatku tinggal memang sebagaian besar penduduknya menjadi nelayan, pedagang, dan penarik becak. Mereka mematok Rp5.000 sekali jalan baik jarak jauh maupun dekat.

Bagi penarik becak motor tentu tidak terlalu melelahkan, namun bagi Pak Sur tukang becak langgananku yang harus mengayuh becak sepedanya, tentu lelah yang dirasa berkali lipat. Belum lagi di kondisi sekarang, pelanggan becak semakin berkurang. Bahkan setelah menunggu seharian ia hanya bisa mengantongi Rp10.000 sampai Rp20.000. Jumlah yang sangat kurang dari cukup untuk menafkahi anggota keluarganya. “Segitu pun dipala-palai, biar bisa pulang bawa beras,” katanya. Pak Sur memang mendaftar untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah melalui RT-nya, namun sampai sekarang bantuan itu tak juga diterimanya, entah dimana kurangnya.

Berbekal dari keadaan tersebut aku langsung mengontak beberapa sepupu dan kenalan. Kami mengumpulkan rezeki dan membelikan Pak Sur beberapa kilogram beras dan memberikan uang tunai yang bisa digunakannya di kondisi sekarang ini. Kulihat senyuman bahagianya merekah, betapa senangnya ia menerima bantuan ini. Hal kedua yang kusyukuri di saat ini adalah senyum dari orang-orang yang tetap berjuang demi orang tersayang mereka.

Merawat Kucing-Kucing

Selain bersama tante dan adik bungsuku, kami tinggal bersama dua ekor kucing. Mereka datang sendiri ke rumah dengan kondisi yang kurus kering. Ada luka terbuka dan membengkak di salah satu kaki anak kucing ini. Tante sebenarnya sangat tidak suka kucing. Selain merepotkan mereka juga suka buang kotoran sembarangan kata tante. Beberapa bulan setelah di rawat kondisi mereka semakin membaik dan menggemaskan. Di awal masa karantina ini datang kembali dengan terseok-seok seekor induk kucing bersama empat ekor anaknya. Induk kucing kuning ini tergeletak lemas, dan gemetar ketika dipaksa berdiri. Anak-anaknya masih menyusu dan bekeliaran di sekitar induknya yang sudah diam pasrah di panas teras rumah kami. Entah sudah berapa hari dia tidak makan, kata tante. Belum lagi di jalanan liar sang induk pasti berusaha mati-matian untuk melindungi anak-anaknya dari kucing jantan yang siap menerkam dan membunuh anak-anak kucing itu.

Aku memutuskan untuk merawat kucing-kucing itu, memberi makan dan memandikanya agar terbebas dari kutu-kutu. Pikiranku melayang pada kucing-kucing liar di luaran sana. Kucing yang sering dipandang peganggu, gembel, dan peminta sungguh berjuang untuk keberlangsungan hidup mereka. Sebelum pandemi saja banyak dari mereka yang kelaparan, bahkan dipukul hanya karena meminta sisa-sisa nasi di warteg. Aku memang bukan pecinta kucing namun kondisi sulit ini pun turut dirasakan kucing-kucing jalanan. Banyak kedai nasi yang tutup dan tidak ada orang yang mau memberikan sisa-sisa makanan pada kucing-kucing ini. Berbekal dari hal tersebut aku memutuskan untuk memasak makanan untuk mereka. Aku memasak ikan-ikan laut yang kubeli murah, kucampurkan dengan nasi dan dimasak hingga menjadi bubur. Aku berkeliling daerah tempat tinggalku dan memberi mereka makan tiap pagi dan sore. Hal lain yang kusyukuri adalah perut-pertu kenyang kucing jalanan yang terbuang.

Setiap lapiasan masyarakat mendapatkan kesusahan di tengah kondisi karena Covid 19 ini. Namun bagiku di setiap hal tersulit sekalipun tentu ada hal yang bisa dilakukan dan patut kita syukuri.

#ChangeMaker

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading