Sukses

Lifestyle

Mengingat Serunya Hidup Masa Kecil tanpa Listrik

Fimela.com, Jakarta Kenangan pada masa kecil takkan pernah terlupakan. Hari-hari dan waktu yang kita lewati saat masih anak-anak akan selalu membekas di hati. Masing-masing dari kita pun pasti punya kisah atau cerita paling membekas soal masa kecil itu, seperti pengalaman yang dituliskan Sahabat Fimela dalam Lomba My Childhood Story: Berbagi Cerita Masa Kecil yang Menyenangkan ini.

***

Oleh: Fuatuttaqwiyah 

Mengingat masa kecil aku suka tersenyum sendiri. Masa kecilku memang sangat berbeda dengan kehidupan anak-anak masa sekarang. Pasalnya, aku mengalami kehidupan belum ada listrik. Listrik baru masuk desaku ketika aku kelas 2 SD. Pas kebetulan tempat simbahku sedang ada pengajian. Jadi, malam itu meteran listrik simbah langsung berubah menjadi angka 2, sementara tetangga hanya satu.

Tanpa Listrik

Zaman itu, pekerjaanku setiap sore adalah membantu simbah mengisi lampu dengan minyak tanah. Karena tempat mbahku adalah langgar yang digunakan untuk mengaji, kebayang kan jumlah lampunya. Banyak banget. Macam macam lagi laginya. Ada lampu petromak, lampu teplok, lampu ting.

Setelah lampu terisi semua, baru dinyalakan satu per satu dan diletakkan sesuai dengan besar ruangan. Untuk langgar dan teras menggunakan lampu petromak dua biji yang digantung di tengah tengah ruangan.

Di tempat ngaji baik laki-laki maupun perempuan menggunakan lampu petromak. Ruangan lain menggunakan lampu teplok yang menempel di tembok. Di luar rumah menggunakan lampu ting yang dipasang di setiap sudut rumah.

Usai pengajian, lampu petromak akan dimatikan. Kalau lampu petromak mulai redup, dipompa lagi agar terang. Belum lagi kalau kaos untuk lampu,

Serunya kalau musim hujan tiba, banyak laron di bawah lampu. Biasanya di bawah lampu sama simbah diberi baskom gede yang diberi air. Semua laron akan masuk ke baskom. Esoknya tinggal dikubur di tanah.

Purnama

Ketiadaan listrik membuatku bisa melihat bulan dan bintang. Walaupun tertututp pepohonan dan dedaunan, cahayanya masih bisa dinikmati. Purnama membuat langit terang. Aku tidak perlu lagi membawa senter atau ting ketika keluar rumah. Cahaya rembulan sudah menerangi seluruh bumi. Biasanya di malam 13-15. Selebihnya aku tetap mengandalkan lampu senter kalau keluar rumah.

Menonton TV Ramai-ramai di Tetangga

Masa kecilku belum banyak orang punya TV. Hanya orang kaya yang punya TV. Seingatku yang punya TV berwarna di desaku hanya satu orang. TV hitam putih pun masih jarang. Jadi, kalau ingin nonton TV, aku harus ke rumah tetangga. Itu pun hanya bisa di siang hari Minggu. Biasanya yang kutonton film boneka si unyil dan panggung hiburan anak-anak.

Zaman itu, kalau mau menonton TV, masih memakai accu. Kalau accu habis, otomatis tidak bisa menonton TV lagi. Aku harus menunggu pemilik TV mengisikan air accu dulu ke kota. Saat itu baru ada siaran TVRI. Otomatis aku hanya menonton satu chanel saja. Acara-acara TVRI pun kuhafal di luar kepala. Terutama acara untuk anak-anak.

Nonton TV ramai-ramai itu seru banget. Kalau ada adegan lucu semua tertawa. Sebaliknya kalau adegannya sedih, semua menangis. Nah, pas nangis itu, aku biasanya diledekin sama teman-temanku. Aku memang gampang nangis kalau lihat adegan yang bikin sedih.

Aku juga takut kalau lihat adegan horor. Biasanya aku tutup mata atau bersembunyi di belakang punggung teman. Padahal aku penasaran dengan akhir ceritanya.

Itulah keseruan hidup masa kecilku tanpa listrik. Hikmahnya aku jadi menghargai keberadaan listrik yang sangat bermanfaat bagi kehidupanku. Caranya dengan hemat menggunakan listrik. Karena masih banyak di daerah lain di Indonesia  yang belum ada listrik.

 

#ElevateWomen

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading