Sukses

Lifestyle

Tsunami Aceh Membangkitkan Mimpi Baru dalam Hidupku

Fimela.com, Jakarta Kenangan pada masa kecil takkan pernah terlupakan. Hari-hari dan waktu yang kita lewati saat masih anak-anak akan selalu membekas di hati. Masing-masing dari kita pun pasti punya kisah atau cerita paling membekas soal masa kecil itu, seperti pengalaman yang dituliskan Sahabat Fimela dalam Lomba My Childhood Story: Berbagi Cerita Masa Kecil yang Menyenangkan ini.

***

Oleh:  Ira

Pagi itu, aku bermain di pinggir sawah kami. Aku memanjat pohon seri yang kokoh dan rindang. Aku bermain sendirian sebab di ladang ini tidak ada anak oranglain selain keluargaku. Aku, Ayah dan Ibu tinggal di belakang SD Inpres yang menjadi sekolahku sejak kelas 3 SD. Kami pindah kesini sebab kata Ayah di sini kesempatan mencari nafkah bagi orangtuaku lebih besar daripada di kampung sebelumnya.

Bosan memanjat pohon aku bermain ayunan yang dibuat Ayah di dahan pohon seri. Aku menghentakkan kaki ke tanah dan mengayunkan badan, semilir angin menerbangkan rambutku yang hitam kemerahan khas anak-anak yang terlalu sering bermain di teriknya matahari. Sesaat kemudian aku berhenti berayun dan merasa ada yang aneh, bumi berayun!

Aku terheran, lama-lama ayunannya semakin kuat. Aku kemudian berlari ke Ibu, dan Ibu bilang itu gempa. Ya, hari itu Minggu, 26 Desember 2004 telah terjadi Tsunami di sebagian besar wilayah Aceh.

Beruntung aku yang tinggal dipinggiran provinsi Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan Nanggroe Aceh Darussalam hanya terkena gempa yang lumayan keras saja. Semua berlangsung begitu cepat, yang saya ingat banyak orang baik yang turun tangan saat itu. Salah satunya adalah seorang pengusaha dan juga pilantropis yang membuat sebuah yayasan untuk menampung anak-anak korban bencana alam Aceh.

Pindah Sekolah

Suatu hari, Ayah baru pulang dari Kota Medan, beliau berdiskusi dengan Ibu. Kulihat Ibu berurai air mata, kemudian Ayah memanggilku. "Nak, kamu mau kan sekolah di Medan? Sekolahnya bagus dan ada pelajaran Agama, gratis lagi," ujar Ayah saat itu.

Sebagai gambaran kami memang tinggal di daerah mayoritas non muslim, di kelasku hanya ada 2 orang murid muslim. Pada saat itu aku sudah kelas 5 SD, dan sama sekali belum bisa mengaji bahkan mengenal huruf hijaiyah.

Ayah sangat ingin aku masuk pesantren, agar pengetahuan agamaku bisa lebih berkembang. Beliau berharap aku bisa mengenyam pendidikan yang lebih baik dari beliau. Aku diam saja, tak tahu harus merespons bagaimana. Ibu bilang tidak tega untuk memasukkanku ke asrama sebab masih SD. Akan tetapi, Ayah bilang ini adalah kesempatan besar yang belum tentu selalu ada. 

Beberapa bulan kemudian dengan berat hati aku dan Ibu berangkat ke Kota Medan, mengikuti tes akademik dan kesehatan untuk masuk ke Yayasan Wisma Anak Korban Bencana Alam dan Tsunami Aceh.

Mungkin memang sudah suratan takdir, aku kemudian lulus dan diterima di sana. Ibu dan kakak sepupuku mengantarku kesana, ke sebuah tempat yang lebih layak dari rumahku. Lemari dan ranjang tidur bertingkat sudah disiapkan untuk masing-masing anak.

Baju seragam lengkap dengan perlatan sekolah sudah lengkap tersedia. Hanya datang membawa beberapa pakaian sehari-hari, semua kebutuhan sudah tersedia. Semuanya baru, gedung baru, kasur baru, pakaian baru, buku baru dan teman baru. Perasaanku saat itu sulit digambarkan, sebagai anak perempuan umur 10 tahun ditinggal pertama kalinya oleh orangtua di tempat yang sangat asing. Aku menangis setiap malam, saat mau tidur dan bahkan ketika teman lain bermain, aku menyendiri dan menangis. Hal tersebut terjadi berminggu-minggu. 

"Anak-anak Ummi, hari ini kita belajar bahasa Arab ya," seorang wanita lembut yang adalah wali asrama kami berdiri di depan papan tulis sambil memegang spidol. Kemudian beliau menuliskan tulisan Arab yang aku tidak tahu sama sekali cara membacanya.

Ummi membaca kosakata bahasa Arab tersebut dan menyuruh kami mengikutinya, kemudian secara acak memilih anak untuk membaca kata tersebut satu per satu. Waktu itu aku sangat takut ditunjuk, sebab aku malu hanya aku yang tidak bisa membaca huruf hijaiyah. Teman-teman yang lain yang berasal dari Aceh hampir semua sudah lancar dan familier dengan huruf-huruf tersebut.

Hal ini tidak bisa dibiarkan! Pikirku saat itu. Dengan berbekal Buku Iqro' dan Buku Juz Amma aku mulai belajar huruf hijaiyah.

Pengalaman-Pengalaman yang Menempaku jadi Lebih Kuat

Setiap selesai Salat Maghrib kami memang ada kelompok mengaji yang dibimbing oleh Umi dan Abi, namun menurutku itu tidak cukup untuk mengejar ketertinggalanku yang sangat jauh dari teman-temanku. Setiap sepulang sekolah umum, sebelum les sore untuk pelajaran agama, aku belajar mengaji sendiri. Sebelum tidur aku juga belajar mengaji.

Sampai wali asramaku memberi predikat "the best student" waktu itu. Sebab aku dinilai sangat rajin belajar. Hal yang sangat membuatku bangga hingga saat ini pada diriku adalah dalam waktu tiga bulan aku sudah bisa lancar mengaji Al-Qur'an dan menyamai teman-temanku.

Kemudian bulan-bulan selanjutnya pada perayaan Isra' Mi'raj aku menjadi Juara 1 dalam lomba Baca Al-Qur'an tingkat SD. Sungguh tak pernah terbayangkan aku yang beberapa bulan sebelumnya belum mengenal satu huruf hijaiyah pun bisa menjadi juara di lomba baca Alquran. Juara tersebut menjadi pintu gerbang juara-juara selanjutnya dalam hidupku. Aku menjadi juara Pidato bahasa Arab, juara Pidato bahasa Inggris, juara umum seangkatan, juara cerdas cermat, juara olimpiade, dan banyak juara lainnya. 

Kemenangan-kemenangan tersebut membuatku berani bermimpi yang lebih besar. Aku yang awalnya hanya anak bungsu dari seorang petani miskin berani bermimpi untuk bisa kuliah di Pulau Jawa.

Sekarang aku sudah lulus dari salah satu universitas negeri terbaik di Indonesia melalui program beasiswa penuh. Kemudian diterima sebagai management trainee di salah satu perusahaan retail terbesar di negeri ini.

Sesekali aku merenungkan kembali, jika saja bencana Tsunami tidak pernah terjadi, maka yayasan ini tidak pernah ada, aku tidak akan punya kesempatan untuk bisa mengenyam pendidikan tinggi.

Aku sebelum ini tidak pernah sekali pun membayangkan bahwa cerita hidupku akan seindah ini, walau bukan berarti selalu mulus. kerikil-kerikil kecil dalam perjalan hidupku sudah menjadi hal yang biasa.

Tantangan demi tantangan sudah berhasil kulewati hingga titik ini. Semua kepedihan selalu disembuhkan oleh waktu, dan aku masih berdiri hingga kini. Begitu banyak hikmah dan cerita yang terjadi dari bencana Tsunami Aceh, salah satu hikmah tersebut menyentuh hidupku, membentuk diriku, dan menjadi jati diriku. Berkali-kali aku mengingatkan diri sendiri dengan berkata, "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"

#ElevateWomen

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading