Sukses

Lifestyle

Menyikapi Toxic Positivity: Merasakan Kesedihan Bukan Pertanda Perempuan Lemah

Fimela.com, Jakarta Di bulan Oktober yang istimewa kali ini, FIMELA mengajakmu untuk berbagi semangat untuk perempuan lainnya. Setiap perempuan pasti memiliki kisah perjuangannya masing-masing. Kamu sebagai perempuan single, ibu, istri, anak, ibu pekerja, ibu rumah tangga, dan siapa pun kamu tetaplah istimewa. Setiap perempuan memiliki pergulatannya sendiri, dan selalu ada inspirasi dan hal paling berkesan dari setiap peran perempuan seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Elevate Women: Berbagi Semangat Sesama Perempuan di Share Your Stories Bulan Oktober ini.

***

Oleh:  Imelda Rahma

Sudah bukan rahasia umum, jika dalam lingkungan patriarki, perempuan selalu dipertemukan pada situasi yang rawan akan tekanan. Bahkan, dalam kondisi tertentu, terkadang kebebasan perempuan dalam berekspresi sering dibatasi. Jika perempuan menangis, tandanya ia semakin memperlihatkan kelemahannya dan ketika mereka gagal, maknanya mereka tidak mampu membuktikan kapasitasnya.

Menurut saya, selama ini perempuan sudah terlalu banyak mendapatkan ‘julukan’ atau labelling yang negatif sehingga mereka tidak bisa dengan leluasa meluapkan emosinya. Perempuan nampaknya lekat dengan istilah lemah, tidak berdaya, nomor dua, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa mereka tidak lemah, perempuan terpaksa menyembunyikan apa yang sebenarnya mereka rasakan.

Meskipun sering dianggap sebagai tanda pendewasaan diri, namun berpura-pura tegar dengan menutupi rasa sakit adalah bagian dari toxic positivity yang seharusnya tidak dibudayakan. Hal ini karena sebagai manusia biasa, kita tidak selalu bisa berada dalam posisi yang baik-baik saja. Mungkin istilah kekiniannya adalah ‘it's okay not to be okay’ dan hal ini juga amat berlaku bagi perempuan.

Dulu, saya adalah tipe orang yang pantang menunjukkan kesedihan di hadapan orang lain karena takut dianggap cengeng, lemah, dan manja. Akhirnya semua emosi itu saya pendam dan tidak jarang juga saya mengutuk diri atas kegagalan yang saya terima. Rasanya sakit dan hampa, namun saya kira ini adalah cara terbaik yang bisa saya lakukan untuk menjaga harga diri sebagai seorang perempuan. Mengingat orang terdekat saya juga selalu mengatakan bahwa masalah yang saya hadapi tidak begitu berat sehingga saya diminta untuk terus berpikir positif.

 

Perempuan adalah Sosok Kuat dengan Segala Keistimewaannya

Sampai pada akhirnya, saya menyadari bahwa ada hal yang salah dengan terus mengedepankan pikiran positif dan menyembunyikan emosi yang tengah saya rasakan. Hal ini bukan berarti saya tidak setuju untuk memiliki mindset yang positif, hanya saja saya merasa seperti sedang membohongi diri sendiri dan mengabaikan fakta bahwa sebenarnya saya sedang tidak baik-baik saja. Dampak dari toxic positivity ini membuat saya mati rasa dan tidak peka terhadap diri sendiri.

Melalui pengalaman di atas, saya ingin menekankan bahwa rasa sakit dan kegagalan adalah jenis emosi yang sama dengan senang atau bahagia, keduanya patut untuk mendapatkan apresiasi. Mengakui dan mengapresiasi rasa sakit atau kegagalan bukan tanda bahwa perempuan semakin terlihat tidak berdaya, justru itulah yang membentuk mereka menjadi sosok yang kuat dan hebat.

Tidak peduli dengan apa yang orang lain katakan pada kamu sebagai perempuan, sudah saatnya budaya toxic positivity ditinggalkan. Jika kamu ingin menangis karena mendapatkan hal-hal yang buruk, maka menangislah. Jika kamu mengalami kegagalan setelah berusaha keras untuk mencapai sesuatu dan itu membuatmu sakit, bersedihlah secukupnya dan kamu berhak mengambil waktu untuk menenangkan diri. Tidak ada yang salah dengan itu semua.

Saya percaya bahwa perempuan adalah sosok yang kuat dengan segala keistimewaannya. Meskipun harus menangis dan bersedih, ia akan kembali dengan sosok yang lebih tegar dari sebelumnya.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading