Sukses

Lifestyle

Sempat Insecure setelah Resign, Kuambil Pilihan Ini untuk Kembali Bahagia

Fimela.com, Jakarta Kita semua pasti pernah merasakan perasaan tak nyaman seperti rendah diri, sedih, kecewa, gelisah, dan tidak tenang dalam hidup. Kehilangan rasa percaya diri hingga kehilangan harapan hidup memang sangat menyakitkan. Meskipun begitu, selalu ada cara untuk kembali kuat menjalani hidup dan lebih menyayangi diri sendiri dengan utuh. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Bye Insecurities Berbagi Cerita untuk Lebih Mencintai dan Menerima Diri Sendiri ini.

***

Oleh: Meliana Aryuni

Mengawali resign dengan niat menjadi ibu rumah tangga seutuhnya adalah keputusan yang sulit bagiku. Apalagi tempat tinggalku jauh dari keluarga tercinta. Tanah rantau akhirnya membuat aku menyadari bahwa Dia memang menyayangiku. 

Akhirnya pada tahun 2015, kuputuskan untuk berhenti dari tempat kerja setelah 9 tahun lebih mengabdikan diri di sana. Rasanya sedih sekali meninggalkan tempat kerja yang kusayangi. Namun, semuanya aku lakukan karena aku mencintai keluargaku. Pengabdianku pun beralih pada keluarga tercinta.  

 

 

 

 

 

 

Mengatasi Rasa Insecure

Aku pikir, resign adalah akhir dari kisahku. Rutinitasku saat itu hanya sebatas pekerjaan rumah. Aku belum percaya diri untuk berkontribusi kepada masyarakat baru yang aku temui sekarang.

Sementara itu, di jauh di lubuk hati, aku ingin memberikan sesuatu untuk masyarakat di sekitarku sekaligus mengabdikan diri dengan ilmu yang aku miliki. Namun, ada ketakutan di dalam diriku. Aku takut 'bergerak' karena belum mengenal pribadi dan budaya masyarakat di tempat tinggalku kini.

Aku banyak melihat dan menimbang semua perilaku masyarakat di sini. Aku belajar dari interaksi yang kutemui. Hingga akhirnya aku dan suami melihat celah untuk ikut berkontribusi, yaitu dengan membentuk Taman Pendidikan Al Quran (TPA) di desa ini.

Kami ingin anak-anak desa ini memiliki kegiatan positif untuk mengisi kegiatan harian mereka. Kebanyakan anak di sini hanya menggunakan waktu mereka dengan bermain ponsel atau menonton televisi. Harapanku, dengan adanya TPA, aku berharap mereka mau mengisi waktu mereka dengan mengaji al Quran.

TPA di sini berjalan seadanya. Isinya hanya anak-anak saya dan dua anak tetangga. Aku sedih melihat TPA di sini sepi, padahal pemberitahuan kegiatan TPA sudah dimulai dan disampaikan kepada warga desa. Namun, anak yang datang mengaji tetap saja sedikit. Seketika aku merasa kegiatan kami tidak didukung. Nyaliku langsung ciut.

Berjuang dalam Kebaikan

Perasaanku pasang surut untuk menjalankan TPA. Namun, aku mengembalikan niat pembentukan TPA ini, yaitu membentuk generasi cinta Al Quran pada anak-anak desa, terkhusus anak-anakku. Oleh karena itu, aku dan suami tetap menjalankan tugas kami sebagai pengajar. 

Perasaan sedih ketika resign dulu, kini berubah saat aku melihat senyum ceria para santri yang datang ke musala desa. Mereka telah mewarnai kehidupanku. Seketika hatiku merasakan suka cita yang sangat besar.

Tanpa disangka, jumlah santri TPA terus bertambah. Bahkan beberapa santri datang dari desa sebelah untuk mengaji di TPA kami. Tentu saja kami menyambut kedatangan mereka dengan senang hati. Rasa tidak percaya diri, tidak berani, dan kecewa seketika hilang saat melihat semangat para santri untuk datang mengaji meskipun hujan.

Seiring bertambahnya jumlah santri, bertambah juga cobaan untuk kami. Selentingan ucapan negatif terhadap TPA sempat kudengar dari salah seorang teman. Tentu saja ucapan itu membuat hatiku teriris. Niatku yang tulus dinilai negatif oleh warga.

Para warga hanya berani menyampaikan ucapan-ucapan  toxic itu di belakangku. Tidak ada yang berani terang-terangan mengatakan keluhan itu kepada kami. Untuk menghadapi cobaan itu, pertama, aku dan suami mencoba untuk beristigfar dan membiarkan semua ucapan negatif itu. Toh, itu tidak menyakiti kami.

Kedua, kami tetap menjalankan peran kami di sini. Kami tetap berpegang teguh dengan niat awal pembentukan TPA ini. Oleh karena itu, ucapan itu tidak kami gubris. Bahkan kami terus berusaha memperbaiki diri dan TPA ini. Kami menjadikan ucapan toxic itu sebagai penyemangat untuk menguatkan diri. 

Ketiga, kami meyakini bahwa di mana pun para pejuang kebaikan menjalankan tugasnya, mereka akan  diberikan cobaan dan ini berlaku untuk kami. Kami sadar bahwa setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda, termasuk pemikiran pada TPA ini. Kami menganggap ucapan toxic itu adalah cobaan untuk diterima dan disyukuri.

Keempat, jangan pernah menyerah bila yakin dengan perbuatan yang dilakukan itu baik. Berhenti berjuang hanya karena ingin mengikuti ucapan yang tidak baik dari seseorang bukanlah keputusan yang tepat. Perjuangan masih panjang dan kami tidak ingin dikalahkan oleh ucapan yang bertujuan menghancurkan perjuangan ini. Oleh karena itu, kami harus menyingkirkan ucapan itu dari pikiran dan hati kami.

Tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan. Kadang, kita harus mengorbankan perasaan dalam perjuangan. Berjuang yang sesungguhnya ibarat mempertahankan kebaikan melawan keburukan. Dengan begitu, melawan keburukan adalah sesuatu yang mutlak untuk dilakukan.

 

 

#WomenforWomen

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading