Sukses

Entertainment

Eksklusif Monty Tiwa, Tak Mau Disebut Sutradara Tapi Penonton Pertama

Fimela.com, Jakarta Industri perfilman Indonesia bisa dibilang semaki maju dan menjanjikan. Kita punya banyak sineas berbakat yang termasuk produktif berkarya. Salah satunya adalah Monty Tiwa yang baru saja merilis karya terbarunya, Rompis (Roman Picisan).

***

Film yang diadaptasi dari novel dan sinetron, serta film dari tahun 1980 dengan judul yang sama tersebut, disutradarai oleh Monty Tiwa. Rompis yang diproduksi MNC Pictures ini dibintangi Arbani Yasiz, Adinda Azani, Umay Shahab dan Beby Tsabina.

Selain kekuatan cerita, akting dari para pemain, serta tata visual yang apik, film Rompis diakui para pemainnya juga memiliki kekuatan dialog yang mampu membuat penonton terbawa perasaan alias baper karena banyak kata-kata puitis di dalamnya.

Film yang sudah tayang mulai 16 Agustus lalu ini bercerita tentang Roman (Arbani Yasiz) yang melanjutkan kuliah di Belanda bersama Sam (Umay Shahab) dan terpaksa terpisah jarak dengan kekasihnya, Wulan (Adinda Azani).

“Film Rompis ini berbeda dari versi serial maupun novelnya. Ini bisa dibilang lanjutannya. Tapi tiga pemain utamanya sama dengan versi sinetronnya,” tutur Monty Tiwa saat berkunjung ke redaksi Bintang.com di Jakarta Pusat, beberapa hari lalu. Monty yang lahir di Jakarta, 41 tahun lalu ini juga dikenal sebagai penulis skenario, produser dan pencipta lagu.

Saat kuliah di Kansas, Amerika Serikat, bersama teman-temannya ia membuat website yang isinya berita-berita tentang Indonesia. Karya-karya Monty Tiwa ternyata menarik perhatian Indra Yudhistira, seorang produser di salah satu televisi swasta Indonesia. Tulisannya dinilai punya kreatifitas tinggi.

Monty Tiwa langsung ditawari jabatan Creative Writer di televisi swasta dan ia pun menerimanya. Proyek pertamanya di dunia film adalah Andai Ia Tahu (2002) yang diproduksi Transinema. Film lain yang ditulis oleh Monty dantaranya adalah Biarkan Bintang Menari, Vina Bilang Cinta, Pocong 3, Otomatis Romantis, Laskar Pemimpi, Sabtu Bersama Bapak dan masih banyak lagi.

Sedangkan debutnya sebagai sutradara dimulai lewat film Maaf, Saya Menghamili Istri Anda (2007).  Beberapa penghargaan sudah permah diraihnya antara lain, menjadi Penulis Skenario Cerita Asli Terbaik di FFI 2006 lewat film Senandung di Atas Awan

Dengan sudah banyak film yang disutradarai dan ditulis, apa lagi yang ingin dicapai seorang Monty Tiwa? Apa pengamana berharga di film Rompis yang membuatnya merasa seperti ‘ditampar’? Simak hasil wawancaranya berikut ini.

Monty Tiwa Merasa ‘Ditampar’

Film Rompis yang dibintangi sejumlah pemain muda sebagai pemeran utamanya ternyata membawa kesan khusus bagi Monty Tiwa. Terbiasa mengarahkan pemain yang sudah matang dalam hal akting, Monty mendapatkan pengalaman yang sangat berharga.

Ada kesamaan film Rompis dengan versi sinetron atau novelnya?

Kalau di novel sama serialnya kan ceritanya tentang anak SMA, kalau versi filmnya setelah mereka SMA jadi pas mereka kuliah. Jadi ini mulai dari nol. Karena ini kan film layar lebar, penonton tak bukan mau nonton sinetron, dan penggemar sinetronnya ingin lihat sinetronnya dalam versi film. Jadi kita pilih jalan tengah, kita mulai dari nol, dari awal.

Pemain utamanya tetap dari versi sinetronnya?

Iya tiga pemain utamanya memang dari serialnya, ya karena tiga tokoh utamanya ini sama dengan yang di sinetron. Tapi di sini ada karakter baru yang diperankan Beby Tsabina yang menurut saya mainnya bagus dan berbakat.

Kenapa pilih lokasi syuting di Belanda?

Ya karena unsur estetika. Dari beberapa negara Eropa yang rata-rata punya nilai estetika lebih, Belanda kita anggap paling pas untuk memenuhi unsur estetika dan kita merasa nyaman di sana. Secara teknis kita juga lebih dimudahkan .Yang nggak kalah penting di sana kita punya banyak kenalan SDM yang mumpuni, ya ada banyak koneksi.

Kita kenal beberapa kru film di sana. Jadi saat syuting sebagian kita memakai tenaga kru di Belanda karena mereka kan lebih paham situasi di sana. Mungkin bisa saja kita pilih di Estonia atau Bulgaria, tapi kita nggak punya koneksi di sana, kita nggak punya kenalan orang-orang di bidang film. Jadi kita pilih Belanda tepatnya di Amsterdam.

Ada hambatan selama syuting?

Kita kan sebagian besar, bahkan 90 persen lokasi syutingnya di Belanda. Syutingnya berjalan lancar dan sesuai rencana. Hambatan paling soal cuaca aja. Pas kita syuting cuacanya lagi labil, kadang dingin banget terus tiba-tiba panas. Jadi ada beberapa kru yang sempat sakit. Tapu ya untungnya nggak terlalu berpengaruh dan syuting berjalan sesuai rencana.

Apa yang menarik dari film Rompis?

Ini pertanyaan yang sebetulnya mendasar banget tapi selalu menarik dijawab. Kenapa kita harus nonton film Rompis, ya nggak ada kewajiban harus nonton film ini. Tapi kalau nggak nonton, rasanya rugi banget ya, hahaha. Menurut saya, Rompis adalah sebuah contoh hasil kerja kolektif yang bagus.

Bukan karena sutradaranya, produsernya, pemainnya atau siapa yang terlibat di dalamnya, tapi ini merupakan kerja kolektif yang hasilnya maksimal. Bahkan istri saya sampai berkomentar ‘Tumben film kamu bagus,” begitu katanya. Saya sendri nggak menyangka hasilnya bisa bagus seperti ini. Hasilnya kita serahkan ke penonton.

Di film Rompis Anda mengarahkan pemain-pemain muda, apa komen Anda?

Saya kan selama ini dimanja sama pemain-pemain yang sudah ‘jadi’ kayak Reza Rahadian, Acha Septriasa, Adinia Wirasti. Nah, di film ini saya menuntut pemain-pemain muda ini seperti saya mengarahkan pemain yang sudah matang itu, dan ternyata mereka bisa. Mereka bisa ‘menampar’ muka saya dengan kemampuan akting mereka yang ternyata bagus. Saya jadi kagum sekaligus iri sama mereka, karena mereka masih muda, sangat berbakat dan saya jauh lebih tua dari mereka tapi ternyata mereka lebih pintar dari saya.

Apa karena pemain-pemain muda jarang diberi kesempatan?

Bisa jadi. Ya itu tadi karena saya dan sineas lain sudah banyak dimanja dengan aktor yang sudah jadi. Kita malah jadi rebutan pemain, Reza Rahadian misalnya direbutin banyak produser dan sutradara. Makanya kesannya yang main film Indonesia itu jadi itu-itu saja pemainnya. Itu karena produser dan sutradara film kita maunya dimanja tinggal pakai pemain yang sudah jadi, nggak mau bersusah-payah. Di film Rompis ini saya seperti disadarkan dari situasi itu.

Seperti apa seorang Monty Tiwa dalam men-direct pemain?

Saya dalam beberapa tahun terakhir ini termasuk di film Rompis, tidak mau berada dalam posisi sutradara di depan para pemain. Apalagi karena saya penulis yang jadi sutradara, saya merasa bukan apa-apa dibanding sutradara lain yang lebih mumpuni dan berpengalaman. Saya memilih menjadi teman mereka. Saya lebih menyebut diri saya sebagai penonton pertama di depan monitor kamera. Kalau saya bicara pada mereka saat syuting, saya bilang itu bukan kata sutradara tapi kata penonton.

Cara itu berhasil?

Sejauh ini berhasil dan berjalan baik. Saat dinding pemisah antara sutradara dan pemain itu dibongkar, para pemain ini justru lebih bisa terbuka dan memberikan yang terbaik. Karena mereka menganggap saya sebagai teman dan begitu juga sebaliknya.

Pengalaman dan Harapan Monty Tiwa

Monty Tiwa yang sudah berkiprah di dunia film dan televisi sejak sekitar 17 tahun tentu sudah banyak mendapatkan pengalaman. Siapa artis yang menurut Monty paling cemerlang aktingnya dan hal apa yang ia sesali selama berkarier di dunia film?

Sedikit flashback, Anda dulu kuliah di bidang teknik, kenapa akhirnya ke dunia hiburan?

Iya dulu kan saya kuliah di bagian teknik. Kebetulan saya juga suka menulis. Dari karya saya sebagai penulis itu, saya diajak Indra Yudhistira buat jadi tenaga kreatif di televisi. Dari situ saya diajak bikin film, bikin skenario film Andai Ia Tahu. Setelah itu mulai bikin skenario film Biarkan Bintang Menari, Vina Bilang Cinta dan sampai sekarang.

Anda juga membuat lagu di film Biarkan Bintang Menari, memang suka mencipta lagu?

Dulu jauh sebelum berkiprah di film, gue memang suka musik. Dari sekolah udah suka nge band. Pas di film, sering kebawa juga jadi pas di Biarkan Bintang Menari, jadi kebawa juga pengalaman waktu nge band. Mungkin karena nggak di film atau televisi, saya berkarir di dunia musik dan jadi rocker, hahaha.

Berminat bikin film musikal?

Saya sebenarnya sudah bikin film musikal bareng Tepan Cobain. Itu yang main om Tio Pakusadewo, Sinta Nursanti, Marthino Lio, Samo Rafael. Syutingnya sudah 3 tahun lalu, kita post-pro nya kita agak ribet dan nggak buru-buru. Tapi setelah selesai malah susah dapat jadwal karena tahu sendiri kan film kita dua tahun belakangan ini makin banyak. Ya karena proyek idealis jadi kita santai aja ngerjainnya.

Awal jadi sutradara?

Karena saya kan memang penulis, tiba-tiba ditunjuk jadi sutradara. Awalnya pas di PH saya sama Rudi (Soedjarwo) lagi bikin dua proyek film dalam waktu hampir bersamaan. Ya karena Rudi kan nggak bisa dibagi dua, jadi dia minta saya yang jadi sutradara. Ya saya kayak didorong ke kawah candradimuka, hahaha. Ya sejak itu keterusan sampai sekarang.

Apa yang dirasakan saat pertama jadi sutradara?

Kebingungan yang amat sangat. Pas sampai di lokasi saya sempat bingung, ini mau ngapain ya saya disini. Terkadang sampai sekarang masih kebawa perasaan itu. Ya masih terus belajar lah, klise tapi memang seperti itu apalagi pendidikan saya bukan di bidang film.

Siapa aktor atau aktris yang aktingnya paling Anda apresiasi?

Kalau menurut saya saat ini untuk aktris saya pilih Acha Septriasa. Buat saya dia artis papan atas di atas dari yang paling teratas saat ini. Kasihan, dia sendirian di sana. Jangan tanya kenapa, ya tonton aja aktingnya di film-filmnya.

Ada yang Anda sesali sepanjang karir di dunia film?

Penyesalan saya, adalah pernah ada di fase lima tahun pertama jadi sutradara. Waktu itu saya punya paradigma, kalau sutradara suka marah-marah, ditakuti pemain dan kru berarti itu makin jago. Dan ternyata paradigma itu salah besar, malah jadi punya banyak musuh karena sering marah-marah. Sutradara itu harus jadi teman buat semua orang di lokasi sehingga mereka merasa nyaman. Kalau mereka nyaman, tentu mereka bisa mengeluarkan kemampuan terbaik mereka.

Siapa yang paling berjasa dalam karir Anda?

Ada dua nama, Indra Yudhistira dan Rudi Soedjarwo.

Rencana yang ingin diwujudkan?

Saya ingin bikin film musikal, film musikal yang paripurna dan benar-benar menunjukkan ciri khas Indonesia. Kalau film musikal Bollywood kita kan sudah tahu ciri khasnya, begitu juga dengan musikal Hollywood. Kita memang sudah punya beberapa film musikal yang bagus dan sukses banget, tapi yang benar-benar menunjukkan khas Indonesia yang belum pernah ada. Saya ingin jadi yang pertama untuk itu. Tapi yang lebih utama, ingin selalu membuat film yang lebih baik dan menarik.

Sudah lama berkiprah di dunia film dan televisi serta meraih beragam penghargaan tidak membuat Monty Tiwa berpuas diri. Ia merasa masih harus terus belajar terutama sebagai sutradara, terutama belajar membuat film yang lebih bagus lagi. Kita akan terus menantikan karya-karya Monty Tiwa selanjutnya di dunia hiburan Indonesia.

 

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading