Sukses

Entertainment

Film Ali & Ratu Ratu Queens dan Dalamnya Makna Kehidupan

Fimela.com, Jakarta Ali & Ratu Ratu Queens film garapan sutradara Lucky Kuswandi dengan latar kota New York ini hadir dengan kisah yang hangat. Menariknya tak seperti kebanyakan film berlatar New York yang menghadirkan gemerlapnya kota, film Ali & Ratu Ratu Queens justru begitu 'Indonesia'.

Bukan tanpa alasan, ternyata hal itu memang menjadi ide awal kisah dalam film Ali & Ratu Ratu Queens, "Ide ini pertama kali muncul pada akhir 2014 atau awal 2015 ketika Gina (penulis naskah) dan saya berbicara mengenai pengalaman saya tinggal di New York," ujar produser Muhammad Zaidyy yang akrab disapa Eddy itu.

"Enam bulan pertama di sana, saya tinggal di sebuah apartemen sederhana di daerah Queens yang dipenuhi banyakimigran. Saya pun bertemu dengan beraneka ragam orang yang kehidupannya berbeda dengan saya - termasuk empat wanita Indonesia berusia 40-an yang unik dan larger than life. Mulai dari yang keibuan dan overprotective hingga yang hobi berjudi, pertemuan dengan mereka menyadarkan saya bahwa Anda bisa mendapatkan pengalaman yang benar-benar baru saat berjumpa dengan orang-orang yang berada di luar zona nyaman Anda," tuturnya.

Empat tahun setelah cerita itu muncul, bersama Lucky Kuswandi dan penulis naskah Ginatri S. Noer, Eddy menggarap film Ali & Ratu Ratu Queens yang menceritakan kisah seorang anak laki-laki yang mencari ibunya ke New York. Namun bukan ibunya yang ditemui, melainkan empat perempuan unik asal Indonesia yang berbaik hati membatunya mencari sang ibu.

 

 
 

New York Tanpa Gemerlapnya

New York telah menjadi salah satu pelabuhan bagi banyak orang di dunia, bahkan disebut-sebut sebagai salah satu simbol mengejar mimpi. Hal itu pula yang menjadi alasan mengapa memilih New York sebagai latar film ini, karena dianggap turut menggambarkan visi para karakter.

"Sisi New York yang inspiring ini menjadi daya tarik bagi banyak orang, termasuk para karakter di film ini yang datang dengan tujuan masing-masing: Party yang senang berpindah-pindah negara akhirnya memilih New York sebagai tempat terakhir untuk ditaklukkan," jelas Eddy.

Di film ini gemerlapnya New York pun bukan menjadi pemandangan utama untuk memanjakan penonton, melainkan kehangatan hubungan antar tokoh yang ditonjolkan.

"Kami tidak ingin menggambarkan keindahan New York layaknya kartu pos karena tujuan utama film ini memang untuk menangkap perjalanan Ali di New York - bagaimana dirinya tersesat dan bertemu dengan beraneka ragam orang, bagaimana kota ini menginspirasi dia, serta hubungannya dengan sang ibu," kata Eddy.

"Ali tidak pergi ke sana untuk liburan, sehingga saya, Lucky, dan sinematografer Batara Goempar berdiskusi mengenai cara menangkap New York secara otentik dari kaca mata perantau. Kami merasa keindahan New York ada dalam energi kota itu sendiri, jadi kami ingin tetap fokus pada orang-orang yang ada di dalamnya.," lanjutnya menjelaskan.

Di sisi lain, Iqbaal Ramadan menyebut salah satu alasannya bergabung dengan proyek film ini adalah karena penggambaran New York yang berbeda. "Film ini menggambarkan New York yang autentik dan raw menjadi salah satudaya tarik utamanya, sekaligus salah satu alasan saya mengambil proyek ini," akunya.

"Ketika pertama kali saya datang ke Amerika untuk sekolah, awalnya saya pikir negara ini dipenuhi oleh hiruk-pikuk, glamor, dan tempat untuk mengejar mimpi, namun ternyata ada sisi lain yang terlewatkan. Saya rasa Queens adalah tempat yang membuat New York menjadi autentik, dan ini sesuatu yang mungkin belum banyak orang Indonesia ketahui," tuturnya.

Karakter yang Beragam

Film Ali & Ratu Ratu Queens menghadirkan karakter yang beragam. Sosok Ali yang cerdas dan keempat karakter 'Ratu' pun berpadu begitu apik mengisi satu sama lain dengan segala keunikan dan latar belakangnya.

Tak sampai di situ, melalui empat karakter 'Ratu' yaitu Party (Nirina Zubir), Ance (Tika Pangabean), Biyah (Asri Welas), dan Chinta (Happy Salma), film ini menggambarkan para imigran Indonesia di Queens dengan mimpi sederhana yaitu bisa menjadi sukses dan mampu menafkahi keluarganya.

Namun ada hal menarik lain yang tak boleh luput dari perhatian penonton, yaitu karakter Mia yang diperankan Marissa Anita, ibu dari Ali yang rela meninggalkan keluarga demi mengejar cita-citanya di New York.

Sekilas, karakter Mia akan dilihat sebagai seorang yang salah karena meninggalkan anak dan suaminya selama bertahun-tahun untuk mengejar mimpi dan tak kembali untuk memeluk mereka.

Di balik asa dan citanya yang digambarkan, tanpa disadari Mia adalah gambaran perempuan yang kerap dikucilkan oleh aturan di masyarakat, karena dianggap egois yang melangkah jauh demi menggapai mimpinya.

Bagi Lucky, Mia adalah karakter favoritnya. Menurutnya sosok perempuan seperti Mia begitu perlu mendapatkan simpati.

"Mia adalah karakter favorit saya pribadi. Saya tidak melihatnya sebagai antagonis dan berharapsiapa saja yang menyaksikannya dapat bersimpati dengan karakter ini - terlepas dari pilihan-pilihanyang dibuatnya. Di Indonesia, perempuan sering dikelompokkan dalam kotak-kotak yang diatur olehmasyarakat. Mia melihat dirinya lebih dari sekadar seorang ibu, namun sayangnya hal ini seringdijadikan sebagai guilt trip untuk perempuan," jelasnya.

Mia dan Dilema

Bicara tentang sosok Mia, ia adalah karakter yang rumit. Sekilas ia pun hanya dilihat sebagai perempuan yang meninggalkan anak dan suaminya demi menggapai cita-cita. Namun dibalik pandangan tersebut, Mia adalah gambaran sosok perempuan yang ingin mencoba mengejar mimpinya.

"Dia menikah muda dan memiliki anak, namun juga ingin mencoba mengejar mimpinya. Mia kesulitan dengan konflik batin ini karena ia melihat dirinya sebagai lebih dari sekadar seorang ibu - dia adalah perempuan yangpunya mimpi," kata Marissa Anita menggambarkan sosok Mia yang ia perankan.

Marissa pun menjelaskan keputusan Mia menikah dengan pria yang berasal dari keluarga konservatif membuatnya dianggap sebagai perempuan 'liar' dan terasing.

 

Permasalahan dan nilai yang melekat di masyarakat itu pun kerap menghantui banyak perempuan untuk terus bisa berdaya, dan menurut Marissa memiliki support system akan membantu para perempuan untuk terus maju, meski telah berkeluarga.

"Menurut saya kita harus memiliki support system yang mendukung untuk menjalankan apa yang kita mau. Perempuan punya banyak aspirasi ya, dia ingin berkeluarga juga punya anak, tapi di saat yang sama peran dia itu tidak hanya seorang ibu saja, atau menjadi istri saja, tetapi ada kecintaannya terhadap sesuatu juga harus jalan. Kalau itu tidak jalan, biasanya akan tidak seimbang dan nggak happy. AKhirnya akan lebih banyak mumetnya. So, support system itu sangat membantu," tutur Marissa Anita.

Selain support system, menurut Marissa hal penting lain yang membantu perempuan untuk mantap melangkah adalah mengurangi rasa bersalah dan kompromi.

"Kita (perempuan) kan suka merasa kayak mau maju mundur, maju mundur, terus akhirnya mundur karena ya udahlah daripada nanti ngerepotin yang lain. Terlalu banyak kompromi. Kompromi nggak papa tapi ketika hidup kita itu 60% atau 70% itu penuh dengan kompromi akhirnya 30% yang merupakan apa yang sebetulnya membuat kita merasa damai, keluarnya pasti nggak bagus," tandasnya.

Dari sosok Mia, perempuan pun bisa belajar bahwa berdaya bukanlah sesuatu yang mustahil, dengan memiliki support system yang mendukung.

Ali & Ratu Ratu Queen dikemas apik dan lengkap dengan menghadirkan kisah hangat, serta menyoroti berbagai sisi kehidupan di masyarakat. jangan lewatkan keseruan kisahnya yang hanya bisa disaksikan di Netflix.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading